Tante Seksi Itu Istriku

Kasih Seorang Ibu



Kasih Seorang Ibu

"Huueeekkk! Huueeekk! Huekkkkh! Ohhh ... ke-kenapa muntah mulu gini? Huuuuu ... eeekkkk!" Pagi-pagi sekali, Farisha berada di depan wastafel kamar mandi. Tidak tahu kenapa, rasanya ia ingin muntah. Namun tidak ada yang keluar dari mulutnya kecuali rasa mual yang mendadak muncul saat bangun pagi.     

Azhari meraba ke samping tempatnya tidur. Ia semalam tidur bersama dengan Farisha. Namun ia tidak merasakan kehadiran anaknya. Malahan ia mendengar orang di kamar mandi yang seperti muntah-muntah. Karena penasaran, ia bangkit dari tempat tidurnya.     

"Apa Farisha masuk angin? Kenapa pagi-pagi sekali muntah-muntah di kamar mandi? Atau jangan-jangan–" Azhari menutup mulutnya, matanya melotot ketika sebuah pikiran terlintas dalam benaknya.     

Azhari menyingkap selimutnya lalu bangkit dari tempat tidurnya. Ia berjalan menuju ke kamar mandi dan mendengarkan dari balik pintu, menunggu anaknya keluar. Di dalam kamar mandi, Farisha masih saja mengalami muntah-muntah.     

"Huekkk ... huueeekkk! Kenapa nggak ... ke-lu-ar!" Rasanya tersiksa karena selama ia berada di kamar mandi, muntahannya belum juga keluar. Kepalanya terasa pusing dan perutnya melilit. Selang beberapa menit kemudian, ia merasa lebih baik dan keluar dari kamar mandi dengan penampilan yang acak-acakan.     

"Kamu kenapa, Sha? Apa kamu sedang sakit atau kamu hamil, hemm?" goda Azhari. Namun ia masih belum yakin akan pemikirannya itu. Walau ia tetap akan berharap pikirannya memang benar adanya. "Sebentar lagi, ibu akan menjadi seorang nenek."     

"Iihh, apaan sih, Bu? Mungkin cuma masuk angin saja, kok. Sudahlah ... aku mau mandi duluan. Aku harus bekerja lagi dan mencari keberadaan Usman." Farisha sebenarnya berharap apa yang dikatakan oleh Azhari benar. Akan tetapi, ia tidak bisa berharap banyak karena bisa saja itu bukan yang sebenarnya. Dirinya takut kecewa dengan angan-angan palsu tersebut.     

"Katanya hari ini sakit. Kalau begitu, kamu istirahat saja di rumah, yah! Ibu juga akan memasakan sesuatu untuk kamu. Nanti kita panggil dokter saja ke rumah, yah! Makanya, kamu juga harus cari karyawan untuk swalayanmu. Jadi kamu tidak perlu tiap hari bolak-balik ke sana."     

Mendengar saran dari sang ibu, malah membuat Farisha menggelengkan kepalanya. Lantas ia melewati Azhari dengan kepala pusing. Ia duduk di atas tempat tidur yang semalam mereka tempati.     

"Tuh, kan. Kamu saja seperti sakit seperti ini," ujar Azhari. Melihat keadaan putrinya, ia mendekat dan memijat kepalanya. "Umurmu sudah bukan lagi anak remaja yang sikapnya kekanakan seperti ini. Ayo ibu bantu untuk cuci muka! Nanti akan ku hubungi dokter untuk memeriksa kamu."     

Akhirnya Farisha menyerah juga. Keegoannya yang akan membuat dirinya rugi sendiri. Apalagi dirinya juga penasaran dengan apa yang terjadi pada dirinya. Azhari menuntun anaknya untuk membersihkan diri di kamar mandi. Tidak untuk mandi, melainkan membasuh wajah dan merapikan rambut yang berantakan.     

"Nah, kan kamu sudah tidak apa-apa, kan? Sekarang kamu istirahat saja dulu. Ibu akan panggil dokter. Lalu akan ku masakkan untuk anak dan calon cuci ibu di dalam perutmu, hihihihi."     

"Jangan terlalu berharap, Bu. Mungkin saja ini hanya masuk angin. Lagian mana mungkin aku hamil dalam keadaan seperti ini. Aku akan istirahat saja, sebentar. Antar aku ke kamarku saja, Bu," pinta Farisha. Merasa tidak betah dengan kamar yang semalam ia tempati untuk tidur.     

Azhari mengikuti Farisha dari belakang. Di rumah yang lebih kecil dari rumah yang mereka tempati sebelumnya, membuat jarak satu ruangan dengan ruangan lain lebih dekat. Walaupun mereka hanya tinggal berdua saja. Karena pekerjanya yang dulu, sudah berpindah ke tuan yang baru. Seperti asisten rumah tangga mereka yang sudah menemukan pekerjaan baru. Sopir Azhari yang memutuskan untuk menjadi sopir taksi. Sedangkan satpam rumah mereka sudah kembali ke desanya untuk berkebun. Namun mereka yang mendapat kabar baik dari Azhari, turut bahagia karena mereka sudah mendapatkan bayaran atas kerja mereka. Dan mereka juga berniat akan kembali ke mereka suatu saat nanti.     

Sebelum datangnya dokter, Azhari merawat anaknya dengan baik. Walaupun Farisha berulang kali mengulangi perkataan yang sama dengan keadaannya saat ini. Namun wanita itu sudah tidak perduli lagi. Malah bertanya balik kepada Farisha, apakah anaknya sudah seutuhnya menjadi seorang istri?     

"Kan sudah ku bilang, aku tidak bisa dikatakan hamil. Nanti Ibu kecewa kalau dokter mengatakan ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Nanti aku juga yang disalahkan!" ketua Farisha. Ia memegangi perutnya yang merasa mual di pagi hari.     

"Enggak apa-apa, Sayang. Kalau begitu, ibu akan ke dapur untuk memasak. Oh iya, kan kamu juga sudah bilang, kamu sudah berusaha untuk bikin anak, kan? Kalau kamu dan Usman sudah melakukan itu, bukankah itu wajar kalau kamu hamil? Atau kamu belum pernah melakukan itu sama suamimu?"     

"Duh, kenapa harus bahas itu terus, sih? Aku ah, gelap!" ketus Farisha. Ia menarik selimutnya dan menutupi seluruh tubuhnya di atas tempat tidurnya. "Sebaiknya Ibu cepatan ke dapur. Nggak mau cucunya ngileran karena tidak dikasih makan, apa? Cucumu minta dibuatkan nasi goreng spesial dari neneknya."     

Azhari tersenyum mendengar ucapan anaknya itu. Ia mengelus kepala Farisha di balik selimut lalu meninggalkan kemar itu. Tentu ia akan memasak seperti apa yang diinginkan oleh anaknya. Jika pun tidak benar-benar sedang mengandung, tetap saja ia merasa bahagia. Kebahagian Farisha adalah yang paling utama. Ia berharap suami dari anaknya bisa cepat ditemukan. Namun sudah beberapa minggu sejak saat ia di rumah ini, belum melihat wajah lelaki itu.     

Sementara Farisha merasa malu telah mengatakan hal barusan. Tapi ia benar-benar menginginkan makanan itu. Ia ingin menikmati nasi goreng yang jarang ia makan. Apalagi ia sudah lupa kalau ibunya pernah memasak nasi goreng. Terakhir saat dirinya masih kecil. Tapi sekarang ia seperti anak kecil lagi.     

"Aduh ... kenapa aku mengatakan itu pafa ibu, sih? Ah, sudahlah ... lagian tidak apa-apa kalau minta nasi goreng pada ibu. Kira-kira enak seperti dulu enggak, yah?" tutur Farisha yang membuka selimutnya.     

Azhari membuat nasi goreng dan membawanya ke kamar Farisha. Saat ia sampai, terlihat anak perempuannya sedang berada di meja rias. Ia tidak tahu mengapa pagi-pagi sekali ia sudah ingin berias. Sementara mereka masih berada di rumah.     

"Ayo makan dulu, Sha. Ibu juga sudah bikinin susu untuk kamu. Kalau kamu beneran hamil, nanti ibu belikan susu khusus orang hamil. Tapi kalau belum hamil, kita akan mencari Usman. Biar dia harus bertanggung jawab untuk membuat kamu segera hamil."     

"Aduh, kenapa ibu terus-terusan menggodaku? Pasti aku akan menemukan orang itu. Aku juga ingin meminta maaf padanya. Tapi kalau dia nanti tidak mau memaafkan aku, bagaimana, yah? Apa dia tidak mau kembali padaku lagi?"     

"Kamu jangan pesimis begitu, dong! Lagian kamu pasti akan bertemu dengan dia lagi. Ayo kamu makan dulu! Nanti biar dokter yang periksa kamu." Azhari menyuapi Farisha dengan kasih sayangnya terhadap anak semata wayangnya.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.