Tante Seksi Itu Istriku

Restoran Ayam Geprek



Restoran Ayam Geprek

Halaman depan rumah yang akan mereka diami adalah sebuah hunian indah yang dikelola oleh sebuah perusahaan properti. Setiap orang bisa membeli saham dengan memegang satu rumah atau lebih untuk dikelola. Mereka bisa menyewakan rumah itu dan bekerja sama dengan perusahaan tersebut. Pemilik rumah akan membayar uang listrik, air, keamanan dan uang sampah yang dikeluarkan setiap bulannya. Sehingga mau tidak mau mereka minimal membayar uang keamanan dan sampah walau tidak ada penghuni sekalipun. Untuk listrik dan air, tergantung daya yang dikeluarkan atau debit air yang dipakai.     

Setelah menemukan kuncinya, Farisha membuka pintunya. Ia melihat ibunya sejenak yang memandangi bunga-bunga milik tetangga. Karena mulai hari ini mereka akan tinggal di rumah itu, membuat Azhari harus membiasakan diri. Apalagi para tetangga itu menempatkan tanaman di depan rumah dengan tatanan yang lebih indah darinya. Itu yang membuat daya tarik tersendiri bagi para penyewa.     

"Ibu ngapain lihatin rumah tetangga terus? Sekarang kita masuk ke dalam, yuk! Hemm, di sini hanya ada dua kamar. Dan untuk sementara, aku tidur sama ibu saja, gimana? Kangen tidur sama ibu."     

"Loh, kenapa anak ibu yang sudah berumur tiga puluh tahun ini, masih manja seperti gadis belasan tahun, sih? Coba lihat, kamu ini ..." ujar Azhari. Ia melihat putrinya yang cantik dan memiliki tubuh yang sangat proposional. Tentu dirinya juga sama sewaktu seumuran anaknya itu.     

"Nggak apa-apa, lah. Namanya juga anak perempuan. Ya kalau tidur sama ibunya nggak apa-apa, kan? Tidak akan terjadi apa-apa juga. Kecuali kalau aku tidur sama Usman, aku bisa hamil, deh. Hehehe," kekeh Farisha. Ia menuntun ibunya setelah menutup pintu depan.     

Mereka menuju ke kamar dan meletakan tas Azhari ke dalamnya. Setelah itu, Farisha tiduran di paha orang tuanya itu. Ini bisa mengenang masa lalu saat mereka bersama. Di dalam rumah yang besar mereka, keduanya saling berbagi tempat tidur yang sama dengan saling memeluk.     

"Apa Ibu ingat, katamu aku bisa menjadi apa saja. Menikah di usia dua puluh tahun. Tapi waktu dua puluh tahun itu sudah lewat. Aku tidak muda lagi dan sekarang aku seperti berumur belasan tahun. Tapi aku tidak menyesal dilahirkan sebagai anakmu. Yang pasti lahir dari rahimmu, aku tahu kasih sayang seorang ibu. Dan aku akan memperlakukan anakku kelak jika aku memilikinya. Aku harap diberi kesempatan untuk sepertimu. Namun aku tidak mau bernasib sama sepertimu. Apakah boleh?"     

"Tentu saja boleh, Farisha. Ibu juga akan bahagia saat kamu baik pada anakmu kelak. Maka dari itu, kamu harus berusaha mencari ke mana suamimu! Dia tidak tahu jalan di kota besar ini. Juga terlihat bodoh seperti itu. Tapi lebih baik punya suami yang bodoh seperti dia daripada orang sok pintar tapi tingkahnya buruk."     

Azhari mengusap rambut Farisha yang halus dan panjang. Ia mencium aroma wangi yang membuat tenang. Ia mengetahu aroma yang khas dari anaknya itu. Hari masih pagi dan belum ada aktifitas lain di rumah yang akan mereka huni kedepannya.     

"Apa kamu tidak makan, hemm? Kamu sudah mengisi kulkas atau belum, Nak?" tanya Azhari. Ia belum sempat makan di kontrakan. Karena ia mengurus Benny terlebih dahulu. Sebelum ia makan, Farisha sudah datang dan menjemputnya.     

"Aku belum isi, Bu. Apa Ibu sudah makan?" Farisha berdiri dari renahannya. Ia teringat kalau ibunya bisa saja kena maag karena telat makan. Maka ia harus segera membawa ibumua ke tempat makan sebelum terlambat. "Kita makan di luar dulu, yah! Nanti kita belanja bareng. Aku tidak bisa memasak, jadi nggak tahu harus membeli apa. Sekalian juga mau belajar memasak sama ibu."     

"Ish! Dulu saja, kamu nggak mau belajar masak. Bilangnya, 'Kan ada Ibu. Jadi nggak pelu memasak. Karena tidak mau makan masakan orang lain kecuali masakan ibu.' Tapi kenyataannya?" ujar Azhari yang tahu perangai anaknya dari dulu.     

Memang benar, Farisha lebih senang makan masakan ibunya. Pernah suatu ketika, Farisha masih sekolah menengah dan ikut study tour. Ada pembagian makanan di dalam bus. Namun Farisha tidak mau makan, makanan yang sudah disiapkan panitia. Ia membawa bekal dari ibunya dan di saat ibunya sedang bekerja, ia bisa tidak makan berhari-hari. Membuat Erni kerepotan sehingga harus berbohong kalau Azhari yang memasak. Saat Farisha memakannya, ia memuntahkan kembali karena masakan mereka tidak sama.     

"Non Farisha, kenapa kamu tidak mau makan? Ini masakan dari ibu, loh. Kenapa kamu membuangnya? Kamu nggak suka masakanku?" tanya Erni keceplosan waktu itu. Saat itu Erni juga masih terlalu muda untuk menjadi seorang pembantu. Setelah lulus sekolah yang tidak tinggi itu, ia ikut Azhari untuk bekerja. Sehingga bisa bekerja dengan gaji yang lebih layak daripada di desa. Ia juga bisa membiayai hidup orang tuanya dan bisa menabung.     

***     

Dua wanita itu pun meninggalkan perumahan. Setelah melewati penjagaan ketat dengan menunjukkan kartu tanda pemilik rumah, mereka bisa keluar dengan tenang. Untuk keluar ataupun masuk ke dalam, setiap orang akan diperiksa terlebih dahulu. Jadi itu yang membuat keamanan di perumahan cukup terjamin. Jika pun hanya tamu, mereka wajib meninggalkan kartu tanda penduduk kepada petugas keamanan yang berjaga di gerbang. Setelah melewati semua itu, mereka juga harus masih berputar-putar di area hutan yang banyak pohon besar tertata rapih di bahu jalan.     

"Ibu mau makan apa, hari ini? Kayaknya di sekitaran sini ada restoran enak atau tidak, yah? Hemm, enak kalau makan ayam geprek, nih." Karena melihat restoran ayam geprek tidak jauh dari sana, Farisha menjalankan mobil ke restoran tersebut.     

Azhari diam saja karena sudah diputuskan sendiri ke mana tujuan Farisha. Walau ia tidak suka pedas. Namun ia bisa memesan yang lainnya. Karena namanya saja yang restoran ayam geprek. Nyatanya ada juga menu lainnya seperti tumis capcay, soto, sate dan yang lainnya. Jadi Azhari tidak perlu memakan ayam geprek yang sudah pasti pedas.     

Di dalam sudah banyak orang yang antri. Mereka juga harus antri sebelum makan. Karena menu masakan yang enak dan beragam, membuat restoran yang berdiri dengan gagahnya sendirian itu sangat ramai. Bahkan ada yang rela jauh-jauh dari tempat lain.     

"Ini restoran yang sangat bagus. Kayaknya yang makan di sini merasa puas. Ini banyak yang datang ke sini juga, kan? Itu plat mobil juga bukan dari sini." Farisha memperhatikan beberapa plat mobil yang terparkir di parkiran.     

"Duh, kenapa harus antri segala, sih? Ibu sudah lapar banget, Sha. Tapi ini harus ditahan. Mungkin sepuluh menit lagi kita bisa mengambil makanan," tebak Azhari yang memperhitungkan gerakan orang-orang yang bergerak rata-rata satu atau dua menit satu kali.     

"Iya, maaf Bu. Kita makan di sini nunggu nggak apa-apa, kan? Perut ibu nggak apa-apa kalau kita telat sedikit? Sebenarnya aku juga sudah makan. Jadi nggak apa-apa kalau harus menunggu. Tapi perutku terasa sangat lapar, nih."     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.