Tante Seksi Itu Istriku

Masa Lalu Rani



Masa Lalu Rani

Bagi Rani, Usman seperti anak sendiri. Walaupun ia memiliki seorang anak perempuan yang tinggal di desa. Namun ia tetap mengingatnya. Dari dulu ia menginginkan seorang anak lelaki. Sayangnya ia harus kehilangan sosok pria yang ia cintai untuk selamanya. Itu karena kecelakaan yang membuat mereka mengalami luka yang cukup parah. Rani dan sang suami tengah melakukan perjalanan jauh menggunakan sepeda motor. Namun dari arah berlawanan, truk tronton keluar jalur. Sehingga mereka berhadapan dengan truk yang melawan arus itu. Sang suami meninggal dunia. Dan saat itu, anaknya juga masih kecil. Ia memutuskan untuk bekerja sebagai seorang asisten rumah tangga.     

"Sayang ... ibu pergi ke kota untuk bekerja, yah? Kamu di sini sama kakek dsn nenek, yah? Ibu janji akan pulang setiap lebaran dan tahun baru. Ibu akan menghidupi kamu dengan kerja keras ibu. Jadi kamu jangan rewel sama kakek dan nenek, yah." Teringat kata-kata yang diucapkan waktu itu, membuat batin Rani menangis.     

Anak kecil itu menjawab, "Kenapa ibu tidak mengajak aku bersamamu? Aku mau sama ibu dan bekerja juga agar ibu tidak kerja berat lagi." Anak yang masih sekolah di sekolah dasar dan kelas satu itu pun tahu, setiap ibunya pergi, akan lama pulangnya.     

"Ibu juga ingin mengajak kamu, Nak. Tapi ini tidak mungkin mengajak kamu karena ibu pasti akan dimarahi karena membawa anak. Kalau ibu kerja, kamu tidak punya teman bermain. Di rumah kan ada teman-teman kamu. Juga ada kakek dan nenek yang menjagamu."     

Air mata tidak bisa ditahan saat ia akan berangkat ke kota untuk kesekian kalinya. Selalu ada drama saat Rani meninggalkan rumah demi menghidupi keluarganya. Orang tuanya juga semakin tua dan tubuh renta membuat mereka kesulitan bekerja. Apalagi penyakit tua yang selalu dihadapi setiap lansia.     

Hal yang tidak bisa ia lupakan selanjutnya adalah meninggalnya kedua orang tuanya. Anak Rani saat itu sudah sekolah di sekolah menengah pertama di desanya. Rani pulang satu minggu setelah kepergian mereka karena informasi lama datangnya. Karena mereka tidak memiliki alat komunikasi. Yang mereka andalkan adalah telepon umum yang letaknya berada di kecamatan. Rani juga sudah meninggalkan nomor telepon rumah majikannya. Jadi anak perempuan Rani harus berjalan kaki sampai ke kecamatan. Ia juga sudah bisa mencari uang sendiri dengan berjualan makanan.     

"Ibu ... kakek dan nenek sudah meninggal empat hari yang lalu. Maafkan aku karena baru bisa mengabari. Karena aku tidak sanggup memberitahu ibu. Maafkan aku, Bu. Tapi sekarang aku tidak punya apapun lagi. Ibu, pulang sekarang! Aku ingin ibu melihat kuburan mereka. Jangan khawatir dengan hidupku dan sekolahku. Aku dapat beasiswa dan juga sudah bisa mencari uang dengan berjualan."     

Sungguh miris hidup Rani tatkala mendengar ucapan anak semata wayangnya. Ia tidak bisa menahan air matanya ketika kehilangan kedua orangtuanya. Dan yang membuat semakin miris adalah anaknya yang sampai berjualan untuk biaya hidupnya. Rani sendiri baru bisa mengirimkan uang kepada anaknya lewat orang desa yang dipercaya. Namun apa yang telah terjadi, orang itu tidak menyerahkan sepenuhnya uang itu kepada anaknya. Sebagian besar ia gunakan sendiri dan yang anaknya tahu, hanya sedikit yang dikirimkan oleh Rani.     

Mendengar perkataan anaknya tentang yang dikirimkan lewat seseorang tidak sesuai, membuat hati Rani bak diiris-iris lalu disiram dengan air garam. Sangat sakit hatinya dan saat itu ia tidak percaya lagi dengan orang tersebut. Akhirnya Rani meminjam uang dalam jumlah banyak kepada Menik yang saat itu sudah menjadi majikannya. Menik akan menyetujuinya dengan catatan, Rani harus kembali lagi ke rumah itu untuk bekerja.     

Nasib naas kembali menimpa Rani saat di perjalanan. Uang yang ia pakai untuk putrinya di desa, telah dirampas orang tidak dikenal. Karena ia seorang wanita yang sendirian, mereka para pria berbadan besar yang berjumlah empat orang. Selain uang yang dirampas habis, ia juga menjadi korban pemerkosaan dari orang-orang tersebut.     

"Ibu pulang, Nak. Kamu ada di mana sekarang?" tanya Rani yang pulang dalam keadaan berantakan. Rani masuk ke dalam rumahnya, mencari di kamar gadis itu dan menemukan anaknya yang sedang sakit demam tertidur di tempat tidurnya.     

"Ibu ... akhirnya ibu pulang. Maafkan aku yang memaksa untuk pulang. Bagaimana kabar ibu? Eh, maafkan aku, Bu. Sebenarnya aku sedang sakit dan harusnya dirawat di rumah sakit. Kata dokter, aku terkena radang paru-paru. Mungkin hidupku tidak lama lagi. Tapi tidak apa-apa, aku senang, sebelum meninggal, ibu ada di sini."     

Bagai disambar petir di siang bolong. Hidupnya kini sudah benar-benar hancur. Satu-satunya keluarga yang ia miliki adalah anak semata wayangnya. Rani tidak ingin kehilangan lagi. Ia sudah tidak punya harapan lagi. Mendadak pandangannya gelap dan akhirnya tidak sadarkan diri.     

Entah bagaimana Rani sudah ada di tempat tidur anak perempuannya. Dan anak itu sudah terlelap dengan memeluknya. Ia melihat anak itu dengan miris. Di usianya yang dalam masa remaja, penderitaan yang dialaminya membuat seorang ibu menangis.     

Entah pemikiran dari mana, Rani meninggalkan anaknya yang dalam keadaan tidur itu. Dengan rambut yang masih acak-acakan karena perbuatan orang-orang biadab itu. Badan yang memiliki bau sisa-sisa perbuatan para pria yang merampok dan memperkosanya. Rani berjalan hingga berlari kecil menuju ke tempat yang tidak terduga. Ia sampai ke wartel terdekat yang jaraknya tiga puluh kilometer lebih.     

"Nyonya ... hiks ... tolong saya sekali lagi. Saya tidak tahu harus minta pertolongan siapa lagi. Anakku sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Dia mengalami radang paru-paru. Dan aku mengalami perampokan. Aku berjanji, akan menjadi budak Nyonya untuk selamanya jika anakku bisa disembuhkan."     

Benar-benar keputusan sulit yang diambil oleh Rani. Hingga pada akhirnya Menik bertanya di mana rumahnya. Siang itu juga, Menik dan sang suami terbang menuju tempat asal Rani dan membawa Rani dan anaknya ke kota untuk kesembuhan sang anak.     

***     

"Sudah, kamu sudah tidak gatal lagi, kan? Tapi kalau ada gatal di celana kamu, saya nggak bantuin yeh, hehehe. Kamu itu sudah besar dan tidak mungkin kalau sampai terjadi apa-apa nanti orang salah paham." Rani menyudahi memakaikan bedak untuk gatal ke punggung Usman.     

"Terima kasih kalau begitu, Bu. Saya bisa kembali ke kebun untuk melanjutkan pekerjaanku," ujar Usman. Setelah ia merasa badannya tidak terlalu gatal lagi, ia memakai kaosnya kembali. Ia tidak ingin dipecat karena membutuhkan pekerjaan. Agar bisa secepatnya bertemu dengan Farisha karena bisa memiliki penghasilan dari hasil kerjanya sendiri.     

"Iya, sama-sama, Nak. Kamu bersyukur bisa bekerja di sini, Usman. Dan saya berharap kamu orang yang bisa dipercaya. Karena nyonya Menik adalah majikan paling baik di seluruh dunia. Semoga kamu tidak menyerah karena ucapan mbak Maemunah. Kamu harus tahu, ini untuk kebaikan kamu sendiri."     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.