Tante Seksi Itu Istriku

Hari Berkebun



Hari Berkebun

Sudah beberapa hari dirawat di rumah, membuat kesehatan Menik semakin membaik. Mungkin beda lain kalau berada di rumah sakit. Pagi ini Rinto memutuskan untuk berlibur. Ia tidak bekerja karena ingin menghabiskan waktu bersama sang istri. Mereka akan mengurus kebun bersama di belakang rumah.     

"Apa kamu benar-benar sudah sehat, hemm? Kalau tidak, kita bisa menyuruh tukang kebun saja. Lagian kita bisa menyewa tukang kebun, kan?" ujar Rinto, memeluk tubuh sang istri dari belakang. Ia merasakan hangat di perut rata istrinya. Tentu itu karena dirinya merupakan seorang pria yang cacat. Ia tidak akan pernah membuat istrinya hamil. Dan usia mereka juga sudah tidak pantas lagi jika menginginkan seorang anak.     

"Apakah kamu mau aku terbaring di kamar terus, hemm? Lagian kan kamu katanya mau bantuin. Sekalian ... katamu kamu sudah menemukan orang yang akan menjadi tukang kebun di rumah ini. Kenapa kamu tidak bawa saja orangnya ke rumah ini, Mas?" tanya Menik dengan membelai tangan suami yang ada di perutnya.     

"Kan memang sudah ada di rumah ini, Istriku Sayang ... kamu jangan pura-pura tidak tahu kalau Usman sudah aku putuskan untuk membantu kamu. Bukankah dia anak yang baik, eemm? Anak muda baik hati seperti dia, jangan sampai disia-siakan. Bukankah kamu bilang, punya anak dua puluh tahun yang lalu? Mungkin anak kamu sudah seumuran dengan dia. Atau kita angkat dia sebagai anak, bagaimana? Kamu tenang saja, kalau ada anak kandung kamu ketemu, kita tetapi menjadi orang tua untuk dia, bagaimana?"     

Menik kaget dengan rencana Rinto yang ingin mengadopsi anak itu. Meski ia juga sudah mendengar langsung kalau Usman tidak tahu di mana orang tuanya. Bagi Menik, itu adakah sebuah ide yang buruk. Meskipun ia merasa sangat familiar dan berharap Usman adalah anak kandungnya, tetap saja ia masih harus berpikir ribuan kali. Takutnya anak muda itu memanfaatkan kesempatan untuk merebut harta mereka. Tidak tahu pasti, bagaimana aslinya Usman di dalam hatinya.     

"Eh ... enggak lah, Mas! Aku nggak mau mengangkat dia jadi anak. Kurasa anak itu berbahaya. Bagaimana kalau ternyata anak muda itu hanya menipu kita? Dia mungkin ada komplotan atau apanya untuk mengambil harta kamu. Bagaimana mungkin aku rela jika kamu kehilangan semuanya karena ulah orang yang dianggap sebagai anak?"     

"Pikiran kamu terlalu jauh, Sayang. Coba kamu tidak usah berpikir macam-macam. Apa kalau aku jatuh miskin, kamu akan meninggalkan aku, hemm?" tanya Rinto yang meraba tubuh bagian depan istri dari perut ke atas.     

"Ah, aku geli, Mas. Ya enggak, lah. Aku tidak apa-apa jika tidak melahirkan lagi. Kalau kamu meragukan kesetianku, aku sudah meninggalkan kamu, Mas. Kalaupun aku menikah denganmu karena harta, mungkin aku sudah mengambil semua harta kamu, Mas. Tapi ligatlah aku ... aku masih setia kepadamu. Aku cinta padamu karena kepribadianmu. Aku tidak perduli jika kamu mandul atau apa itu. Yang penting aku bahagia hidup denganmu."     

Menik menghalau tangan nakal suaminya yang sudah menaikan tangannya ke dadanya. Waktu menunjukan pukul setengah sembilan pagi. Sebenarnya ini telat jika mereka berkebun kesiangan seperti ini. Namun karena aktifitas semalam, Rinto bahkan belum cukup. Sampai mereka bangun kesiangan karena jam lima pagi, mereka baru tidur dengan tubuh lengket dan cairan kenikmatan membasahi sprei. Aktifitas hubungan suami-istri itu masih terbilang panas walau usia merka sudah tidak muda lagi.     

"Tangan kamu, Mas. Kita sudah kesiangan, ini. Kalau kamu menginginkannya, kita bisa lakukan itu nanti sore. Kita pergi ke hotel mewah dan aku akan berikan tubuh ini sepuas hatimu," pungkas Menik dengan nada menggoda. Ia membiarkan tangan suaminya masuk ke pakaian tipianya yang tidak memakai pakaian dalam lagi.     

"Iya ... aku sampai lupa kalau istriku sedang ingin berkebun. Baiklah ... makanya kamu ganti baju dulu. Masa mau berkebun pakai yang seperti ini?" ujar Rinto, menarik baju sang istri. Sebenarnya ia tidak tahan untuk melakukan hubungan suami-istri lagi. Walau ia tahu wanita yang dinikahi selama lima belas tahun lalu, sedang dalam proses penyembuhan.     

Setelah beberapa saat kemudian, Menik meninggalkan Rinto dan mengambil baju ganti di dalam lemari pakaian. Ia kini memakai kaos dan celana panjang yang biasa ia gunakan untuk berkebun. Setelah berganti pakaian di depan suami, mereka pun keluar dari kamar. Di luar, mereka bisa melihat pohon pule dan kamboja dari jendela.     

"Lihatlah ... bunga kamboja mulai muncul. Kurasa akan mengambil beberapa untuk pengharum ruangan. Ayo kita cepat-cepat ke kebun belakang. Sudah satu minggu tidak merawat tanamanku lainnya. Tanaman itu ibaratkan anak yang selalu membutuhkan perawatan sang ibu."     

Di hari tuanya, Rinto bersyukur ada seorang wanita yang berada di sisinya. Orang tuanya juga tahu keadaan sang putra yang tidak sempurna itu. Sebagai orang tua, ada kekhawatiran juga jika sampai tua, ia tidak mendapatkan seorang wanita yang tulus mencintainya. Setelah pernikahan yang berantakan, membuatnya frustasi hingga datang Menik sebagai orang ke dua. Namun menjadi wanita yang selalu ada baik di dalam suka ataupun duka.     

Tidak mudah, memang. Mendapatkan restu orang tua memerlukan perjuangan luar biasa dari sosok wanita seperti Menik. Yang juga pernah gagal dalam berumah tangga. Saat Menik menikah dengan Rinto, juga masih belum bercerai dengan suami pertamanya.     

Rinto dan Menik menuruni tangga dengan pakaian yang digunakan untuk berkebun. Keduanya disambut oleh Rani yang sudah siap menemani Menik. Wanita itu akan memastikan sang Nyonya baik-baik saja. Ia selalu dekat dengan majikan wanitanya itu karena sifatnya yang lemah lembut dan penyayang. Walau beberapa kali terlihat sifat bengisnya yang terlihat seram.     

"Rani ... kali ini kamu tidak perlu menemani istriku. Kamu urus saja rumah dengan baik. Kami akan bersama Usman. Ada dia juga saya sudah merasa tenang," perintah Rinto. Ia melihat raut kecewa dari wanita itu. Namun dirinya tahu pasti apa yang terbaik.     

"Iya, Tuan. Saya juga merasa tenang karena ada mas Usman. Dia juga yang menyelamatkan nyawa Nyonya. Jadi tidak ada keraguan lagi." Dalam hati, ia merasa dongkol. Bagaimana bisa ia kalah dengan anak baru kemarin sore? Ia tidak benci anak itu. Namun tidak terima saja dengan keputusan dari tuannya.     

Rani meninggalkan dua orang itu ke dapur. Walau hanya pergi ke kebun belakang yang tidak jauh, kekhawatiran Rani rupanya karena tubuh Menik yang rapuh. Wanita itu mudah terkena gatal karena tanaman tertentu. Maka dari itu, ia memakai celana panjang dan juga kaos lengan panjang.     

Usman berada di kebun sedang mencabuti rumput. Ia sudah menunggu dua orang itu cukup lama. Kini sudah hampir pukul sembilan pagi. Sebentar lagi waktu sudah siang hari. Pemuda itu juga memaklumi keduanya yang sampai kesiangan. Ia juga pernah mengalami bersama Farisha. Namun itu hanya masa lalu yang tidak mungkin terulang kembali.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.