Tante Seksi Itu Istriku

Sebuah Pertolongan



Sebuah Pertolongan

Akhirnya terjawab sudah, mengapa rumah itu bisa sampai ke tangan orang lain yang tidak berhak. Farisha sangat marah ketika ia mengetahui bahwa rumah itu telah diambil alih oleh wanita itu. Ini semua karena ulah Benny yang terpikat oleh wanita itu. Setelah wanita itu tahu yang menelpon itu adalah anak dari Benny, wanita itu pun merasa senang dan terus menggoda. Yang membuat Farisha geram dan memaki-maki wanita itu di teleponnya.     

Farisha sangat kesal sampai membanting ponselnya. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Tak kuasa menahan air mata yang keluar. Bram tidak tahu apa yang terjadi pada wanita yang terlihat tertunduk lesu itu. Namun ia mendengar beberapa kata yang diucapkan oleh Farisha. Terdengar amarah dan juga kekecewaan yang mendera.     

"Farisha ... aku memang tidak tahu apa yang terjadi. Tapi kuharap aku bisa mengobati lukamu. Aku ada di belakangmu untuk mendukung apa yang akan kamu lakukan. Janganlah kamu memendam semuanya seorang diri!" ungkap Bram, menepuk pundak Farisha.     

Mendengar perkataan Bram, Farisha menengok ke belakang. Tidak ada tenaga lagi untuk sekedar berbicara. Ingin rasanya ia merobek mulut wanita yang merebut rumah mendiang kakek dan neneknya itu. Juga memendam kebencian terhadap ayah yang tidak pernah ia anggap. Jika ia bertemu dengan Benny, bisa dipastikan ia akan berbuat kejam padanya.     

'Benny keparat! Bagaimana bisa kamu menguras semua harta kami? Kurang ajar kamu, Benny! Aku tidak akan memaafkan kamu dan juga para selingkuhan kamu! Ku akan menuntut balas untuk semua yang kalian lakukan!' Ia meratap dalam diam, menggenggam rumput liar di pinggiran jalan. "Awas kalian! Ku pastikan kalian semua akan mendapatkan neraka di dunia ini! Hahhhh!"     

Luka di hati Farisha kembali bergejolak. Belum juga ia bisa menerima sikap Benny selama ini. Sudah dipastikan harta milik mendiang kakek dan nenek serta milik ibunya, telah diambil alih. Ia tidak akan terima semua ini. Juga ia mengingat wanita yang ia hubungi sedang bersama seorang pria dan tengah memadu kasih. Itu jelas bukan Benny karena suara itu sangat berbeda.     

"Kamu yang sabar, Farisha! Mari aku bantu kamu berdiri," lirih Bram yang mencoba membantu Farisha berdiri. Namun ia mendapat penolakan dari wanita di depannya.     

"Pergi ..." lirih Farisha. Ia mengusap air matanya. Kali ini tidak boleh ada air mata untuk manusia kejam seperti mereka. "Kubilang pergi! Kalau tidak, biar kubunuh juga kamu!" Dengan tegas, Farisha mengatakan itu. Lalu membalikan badan dan mengepalkan tangan. Sebuah bogem melayang ke arah lelaki itu.     

Pukulan Farisha mengenai rahang bawah Bram. Lelaki itu mengalami memar dan sedikit mengeluarkan darah. Pukulan dari orang yang ia pedulikan, tidak ada apa-apanya buatnya. Karena ia adalah seorang lelaki. Pantang untuk membalas pukulan wanita dengan tangannya. Ia tahu apa yang dirasakan oleh Farisha. Membuatnya tidak mempermasalahkan semua itu. Malah ia bisa tersenyum karena Farisha masih peduli padanya. Walau tidak diungkapkan secara langsung, pukulan itu lebih seperti pukulan cinta baginya.     

"Bwah ... ti-dak a-pa ... a-pa ... yang penting kamu pu-ashh." Bram memegang rahang bawah yang terasa sangat nyeri. Ia lalu tertawa terkekeh. Namun kembali rasa sakit yang dirasa.     

"Kenapa? Kenapa? Kamu pergi saja, Bram! Maafkan aku karena memukul kamu. Sebaliknya kamu tinggalkan aku, ahhh!" Farisha memegangi kepalanya. Tiba-tiba kepalanya terasa berat dan mengalami kesakitan. Dari hatinya yang sakit, sampai ke otaknya. Membuat rasa sakit di kepalanya.     

Bram masih berdiri di depan Farisha. Wanita itu juga sudah berdiri di depannya. Walaupun begitu, Bram tidak berani berbuat lebih jauh. Ia tidak ingin memperburuk keadaan Farisha yang mengalami rasa sakit. Tetap saja Farisha bersikap acuh terhadap semua lelaki. Walau awalnya ia hanya membenci Benny, ia masih trauma di saat kecil. Tidak mungkin bisa luka psikisnya diobati dengan cepat.     

"Aku akan tetap ada untuk kamu, Farisha!" Dengan tegas, Bram mengatakan niatnya untuk membantu. Ia masih berdiri di depan wanita itu. "Kamu tidak perlu merasa berhutang atau ragu. Aku tidak akan meminta atau pun menuntut apapun darimu. Aku hanya berharap kamu baik-baik saja, Farisha. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika aku di dalam posisimu. Maukah kamu berbagi bebanmu denganku?"     

Tidak perduli apa, mau dapat pukulan atau apapun itu, Bram mengulurkan tangannya walau Farisha sudah tidak lagi tertunduk di bawah. Farisha membalikan badannya, membelakangi pria yang hendak menolongnya. Wanita tiga puluh tahun itu, hanya bisa menyesali semuanya. Ia mencari keberadaan ponselnya. Mungkin ponselnya sudah rusak atau apapun itu. Ia tidak perduli dengan ponselnya. Ia masih memiliki data dengan akun yang menyimpan cadangannya. Namun ia memerlukan kartu SIMnya agar bisa digunakan kembali.     

Bram menghidupkan senter di ponselnya agar bisa menemukan ponsel milik sang pujaan hatinya. Karena mereka berada di tempat yang gelap, membuatnya harus mencari dengan mengandalkan cahaya senter di ponsel Bram. Setelah lama mencari, akhirnya Farisha menemukan ponselnya yang mengalami sedikit retakan saja. Beruntung ponsel itu masih menyala walau ada garis-garis berwara biru merah di layarnya.     

"Bram ..." panggil Farisha lirih. Ini adalah kali pertama ia ingin meminta bantuan dari Bram. Karena tidak ada orang lain yang bisa membantunya saat ini kecuali pria di belakangnya. "Maukah kamu membantuku?" tanya Farisha dengan jelas. Yah, ini adalah sebuah permintaan yang tulus dari Farisha terhadap pria yang sebenarnya selalu ada untuknya.     

"Akhirnya ... apapun yang kamu butuhkan, Farisha! Aku akan membantumu. Asalkan kamu jangan memintaku untuk pergi. Aku sungguh tidak sanggup meninggalkan kamu saat ini." Dengan sebuah tekad yang kuat, ia meyakinkan dirinya untuk bisa membantu wanita yang dalam kesulitan. Apalagi ini adalah permintaan yang tidak bisa ia tolak.     

"Oke, aku belum makan malam. Kurasa kita bicarakan ini sambil makan malam saja. Kamu bisa ikuti aku dengan mobilmu, 'kan? Aku yang mentraktir kamu makan. Dan kuharap kamu memang mau menolongku saat ini. Hanya kamu saat ini yang bisa diandalkan."     

Mendengar kalimat terakhir itu, membuat pria itu merasa sangat senang. Siapa orangnya yang tidak senang, mendengar kalimat pujian itu akan membuat bangga. Dengan menepuk dadanya sendiri, ia pun mempertegas apa yang ia katakan.     

"Aku akan selalu ada untuk kamu, Farisha! Dan jika kamu yang memintanya sendiri, aku akan sangat bangga! Dan untuk saat ini, aku yang akan mentraktir kamu. Mari kita jalan ke restoran mana kita akan makan?"     

"Aku mau tempat yang tenang, Bram. Aku tidak ingin ada orang lain mengetahui apa yang aku rencanakan. Maaf sebelumnya, ini mungkin tidak mengenakan untuk kamu. Tapi melihat kamu yang seperti ini, mungkin enak juga untuk kamu. Jadi bersiaplah."     

"Oohhh ... uwoooww! Mengenakan untuk ku? Lalu ... aku sudah tidak sabar untuk itu. Hohoho ...." Bram menggosok tangannya sendiri seraya tersenyum senang. Pikirannya sudah dipenuhi dengan berbagai kejutan manis untuk dirinya. Ia tidak sabar untuk mengetahui apa yang akan diperbuat Farisha terhadapnya.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.