Tante Seksi Itu Istriku

Pertemuan Pahit



Pertemuan Pahit

Usman mencoba mengeluarkan semua pakaiannya. Ia sangat khawatir kalau sampai ketahuan dirinya memiliki banyak uang di dalam tasnya. Saat sedang panik, sesuatu jatuh dari saku Usman. Sebuah kartu nama yang diberikan oleh Rinto saat berada di dalam kantin.     

"Eh, itu apa yang jatuh?" Salah satu petugas keamanan mengambil kartu yang jatuh dan ada nama orang yang tidak begitu asing baginya. "Ini ... kamu ada hubungan apa dengan pak Rinto? Saya pernah menjadi security di kantornya. Karena letaknya lebih jauh dari rumah, kebetulan di sini juga butuh security, saya jadi kerja di sini. Walau bayarannya tidak terlalu besar di sini."     

"Lah, kalau nggak terlalu besar, ngapain milih kerja di sini? Eh, beneran itu punya pak Rinto? Beliau itu orang kaya, loh. Jadi apa hubungannya dengan pak Rinto?" tanya satu petugas lain yang penasaran. Sebagai rekan seorang yang pernah bekerja di tempat orang terkenal, ia juga sudah sering diceritakan soal itu semua. Jadi tidak ada rahasia umum lagi kalau orang yang dimaksud adalah satu orang yang sama.     

"Pak Rinto yang istrinya kecelakaan. Kebetulan saya yang menolongnya dan dibawa seorang ke sini. Jadi saya nunggu keluarganya datang dari tadi pagi," terang Usman kepada dua orang yang terbengong setelah mendengar penjelasan singkatnya.     

"Tunggu, tunggu! Ini beneran atau tidak? Jadi kamu menyelamatkan bu Menik? Beliau adalah istrinya pak Rinto. Jadi kamar itu adalah kamar bu Menik? Kalau begitu, kami akan mengantar kamu ke sana. Tapi sebelum itu, sebaiknya kamu mandi dulu, deh! Badan kamu bau kecut. Biar nanti saya antar ke ruangan bu Menik. Kebetulan saya juga ingin ketemu sama beliau. Beliau orang yang baik."     

"Nah, kalau begitu memang benar. Kamu lebih baik mandi duluan! Di situ ada kamar kecil dan bisa dipakai. Ini pakaian yang dibawa juga banyak. Kayak mau pindahan saja, yah! Ini kartu namanya ambil lagi. Dasar anak muda, masa letak pintu keluar saja tidak tahu. Lebih baik menginap saja di sini bareng kita."     

"Iya, betul. Nanti kita bisa ngecengin suster-suster semok. Kalau malam itu yang muda-muda biasanya. Kan sekalian bisa cuci mata. Semoga saja tidak ketemu sama mbak kunti atau suster terbang atau ngesot, ihhh, serem."     

Usman merasa dua orang tersebut bisa diajak bekerja sama. Kebetulan ia juga tidak tahu harus ke mana malam ini. Setidaknya ia ada tempat berteduh dan ada yang menemaninya malam ini. Semua akan berjalan lancar sampai Usman sampai ke rumah Rinto dan isrinya.     

"Terima kasih ... kalau begitu, saya boleh numpang mandi? Saya bereskan ini dulu semua, yah." Untungnya Usman belum sampai pada pakaian terakhir yang berisi uang berjumlah jutaan rupiah. Kalau ia kehilangan banyak, ia tidak bisa mengembalikan semuanya pada Farisha. Ia rasa istrinya sekarang akan baik-baik saja dan ada di swalayan.     

Setelah Usman membereskan barang-barang miliknya, segera ia menuju ke kamar mandi. Untuk membersihkan badan, anak muda itu sudah membawa sabun mandi. Jadi tidak perlu khawatir lagi. Karena dari desa, ia mendapat cukup sisa sabun yang belum dibuka.     

Malam hari adalah waktu di mana dua orang itu bertugas. Dari jam lima sore sampai jam satu malam. Setelah itu mereka akan kembali ke rumah masing-masing. Usman mandi sementara itu berdatangan para security lainnya. Setiap beberapa jam sekali, mereka akan berkeliling dan kadang ada pergantian untuk menjaga wilayah masing-masing.     

Hingga pada akhirnya dua orang satpam bersama Usman pergi ke kamar Menik. Wanita yang merupakan istri dari Rinto. Usman menceritakan juga kejadian tadi pagi. Walaupun tidak diceritakan bagaimana pertengkaran antara dirinya dan sang istri. Yang membuat luka lebam di pipinya.     

Kedua petugas keamanan membawa Usman ke ruangan di mana Menik berada. Dengan hati-hati, terlebih dahulu Usman mengetuk pintu ruangan. Sebenarnya Usman sudah disuruh untuk meninggalkan tasnya. Namun ia tetap membawanya karena tidak ingin barang-barang miliknya hilang. Apalagi uang yang cukup banyak di dalam tas tersebut.     

Setelah dipersilahkan masuk ke dalam, ada seorang wanita muda yang sedang duduk di samping wanita paruh baya yang berbaring di ranjang. Melihat Usman membuat jantungnya berdegup kencang. Ia tidak tahu siapa lelaki muda yang masuk ke dalam ruangan itu. Namun ia merasa tidak asing dan seperti orang dekat. Begitu juga dengan Usman yang merasa pernah bertemu sebelumnya. Tapi tidak tahu harus bagaimana. Hatinya diselimuti rasa amarah kepada wanita paruh baya itu. Hingga pada akhirnya Usman tidak berani menatap wanita itu. Sekedar mendekat saja ia tidak berani setelah melihat wajah itu.     

"Maafkan kami, Bu Menik. Anak ini yang telah menolong Bu Menik dari kecelakaan. Dan tadinya kami kira orang jahat karena terus mondar-mandir di sekitaran rumah sakit membawa tas. Pada akhirnya kami tahu kalau anak ini adalah orang yang menolong Anda!"     

"Oh, iya? Siapakah anak muda ini? Sepertinya kita pernah bertemu, sebelumnya?" tanya Menik dengan sorot mata yang dipenuhi rasa khawatir. "Tadi suami saya juga sudah mengatakan kalau ada anak muda yang menyelamatkan aku. Dan anak ini juga bawa tas ini. Hemm, bagaimana kalau malam ini kamu tidur di rumah sakit, eemm? Kita bisa pulang bersama. Kamu besok juga akan kerja di rumah kami, kan?"     

Tidak pernah Usman segugup seperti saat ini. Berbeda saat bersama dengan Farisha, ia merasa penuh rasa hormat pada wanita paruh baya yang menatapnya dengan lembut. Suaranya saja sudah membuatnya menaruh rasa hormatnya. Namun ada perasaan lain yang mengganggu dirinya secara bersamaan. Ia sebenarnya tidak ada keinginan untuk bertemu dengan wanita itu. Namun entah mengapa ia malah harus menghadapi semuanya. Dan ia ingat kalau nama wanita di depannya mirip dengan nama ibunya. Itu adalah nama yang diberitahu oleh paman dan bibinya. Namun itu tidak mungkin juga mereka adalah orang yang sama.     

Dengan tubuh bergetar, Usman menjawab, "Iya, Bu. Sebelumnya saya perkenalkan dulu, nama saya Usman." Ia mengulurkan tangannya pada wanita paruh baya di depannya. Terlihat wajah itu masih cantik walau ada beberapa luka. Ia yakin usianya masih muda dan jika itu adalah ibu dari Usman, ini tidak akan pernah benar.     

"Us-man? Usman? Itu ... na-ma-mu?" tanya Menik dengan rasa tidak percaya. Ia tidak tahu ini mimpi atau kenyataan. Tapi tidak ada yang kebetulan seperti itu. Nama anak muda di depannya merupakan anak yang terlihat sama umurnya dengan anak yang pernah ia kandung. Bahkan nama juga dirinya yang memberikan. Tapi ia tidak pernah berpikir anak kandungnya berada di sisinya saat ini. Tapi ia harus meyakinkan dirinya. Ada ribuan bahkan jutaan orang yang bernama Usman. Dan tidak mungkin kalau pemuda di dekatnya adalah anak kandungnya.     

"Iya, namaku Usman, Bu. Memangnya ada apa dengan namaku? Apa ada yang salah?" Sebuah kalimat yang sebenarnya tidak perlu ia katakan untuk mengintimidasi. Namun Usman tidak mengatakan itu secara sadar. Mulutnya seakan mengatakan sendiri kalau dirinya telah mengeluarkan kata-kata itu.     

Satu yang membuat hati sang ibu hancur adalah kalimat itu. Seakan-akan menusuk hingga ke tulang-tulang. Jika itu kalimat dari anak kandungnya, alamgkah menyakitkan hatinya. Tapi ia juga merasa hatinya sangat sakit. Membayangkan dirinya berada di hadapan anak kandunya dan anak itu mengatakan hal serupa seperti yang dikatakan oleh Usman.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.