Tante Seksi Itu Istriku

Kartu Nama



Kartu Nama

"Terima kasih sudah menolong istriku. Lalu, ini sebagai ucapan terima kasih saya." Rinto menyerahkan sebuah amplop tebal pada lelaki di sampingnya. Ia letakan benda itu di meja yang dekat dengan makanan.     

"Eh, ini apa, Pak? Maaf , aku menolong dengan ikhlas. Lagipula ini hanya kebetulan saya lewat. Sebenarnya saya juga bukan yang membawa istri Bapak ke sini. Ada orang yang bantu. Tapi nggak tahu siapa," elak Usman. Ia bisa yakin isi di dalamnya adalah uang. Namun ia tidak butuh uang untuk saat ini. Yang ia perlukan adalah pekerjaan dan tempat tinggal.     

"Oh, saya juga ikhlas, kok. Ini tidak seberapa dibandingkan dengan nyawa istri saya. Mungkin saya juga tidak tahu siapa yang mengantar ke rumah sakit. Tapi saya dengar, kamu yang nungguin di depan kamar istriku. Kamu juga yang membantu istriku untuk keluar dari mobilku."     

Rinto mengetahui keadaan sebenarnya saat ia mendapatkan panggilan dari sopirnya yang juga dirawat di rumah sakit. Nasib baik buat sang sopir karena bisa bangun terlebih dahulu dan menceritakan semuanya lewat telepon. Bahwa seorang anak muda berusia dua puluh tahunan yang menolongnya juga nyonya majikannya.     

Walaupun Rinto berharap uang itu diterima, nyatanya Usman tetap menolak secara halus dan membiarkan pria paruh baya itu menyimpannya. Ia tidak bertanya lebih lanjut dan mengeluarkan sebuah kartu nama dari dompetnya. Di sana ada informasi tentang Rinto dan berharap bisa membalas jasa Usman.     

"Kalau memang tidak mau, ya sudah ... begini saja, bukannya kamu habis meninggalkan pekerjaanmu? Kalau begitu, besok bisa bekerja di kantorku. Kalau boleh tahu, pendidikan terakhir kamu apa?" tanya Rinto. Walaupun tidak melihat Usman terlalu pintar atau orang yang tidak berpendidikan, minimal ia berharap Usman bisa menjadi salah satu staf atau karyawan.     

"Saya hanya sampai SD, Pak," ungkap Usman dengan suara lirih. Ia tahu lulusan sekolah dasar tidak berguna sekali kalau dipekerjakan di tempat yang tinggi. "Jadi tukang bersih-bersih, Pak. Apa ada lowongan untuk saya?"     

Terlihat raut kecewa dari Rinto, setelah mendengar ungkapan Usman. Bagaimana mungkin ia merekrut seorang office boy? Setidaknya ia berharap Usman adalah lulusan sekolah menengah atas atau yang sederajat. Kalau lulusan sekolah dasar seperti itu, tidak ada harapan bagi pemuda itu. Yang awalnya ingin merekrut menjadi karyawan, tidak mungkin lagi.     

"Hemmm ... bagaimana, yah?" Rinto mengetukkan jari telunjuknya ke dagunya. "Saya butuh karyawan untuk kantor cabangku. Karena ada posisi yang kosong di sana. Namun mendengar kualifikasimu, mohon maaf tapi sepertinya saya tarik kembali. Kalau begitu, besok kamu bisa datang ke rumah, kan? Bisa bekerja di rumahku saja," pungkas Rinto. Meskipun bekerja di kantornya, ia merasa Usman tidak akan tahu apapun. Dengan memperkerjakan di rumah, mungkin saja bisa menjadikannya sebagai tukang kebun atau apapun itu.     

Antara ingin dan bingung, Usman tidak tahu harus menerima atau menolaknya. Ia menerima kartu nama yang diberikan oleh Rinto. Di sana tertulis biodata tentang pria paruh baya itu. Sebuah keberuntungan jika ia menerima tawaran bekerja. Entah apa pekerjaan yang ia jalani, ia akan melakukan dengan sebaik-baiknya.     

"Kamu bisa hubungi nomor saya dan bisa mengeceknya sekarang. Saya akan membayar terlebih dahulu." Rinto berdiri dari tempat duduk hendak meninggalkan Usman. "Dan satu lagi ... di rumah sudah disiapkan tempat tidur. Jadi kalau mau membawa barang-barangmu juga silahkan."     

"Iya, Pak. Terima kasih atas semuanya. Tapi saya masih banyak uang dari kerja sebelumnya." Usman ingin menolak tapi mendapat gelengan kepala dari Rinto dan menandakan agar tidak menolak.     

Sementara Rinto membayar makanan, Usman membaca data diri Rinto yang memiliki nama yang cukup panjang. Dengan gelar pendidikan dan di bawajnya ada juga nama panggilan 'Rinto' dengan huruf besar. Usman tidak menyangka, telah menolong istri dari seorang yang kaya. Mungkin saja kekayaannya tidak jauh seperti mertuanya. Yang ia juga tidak tahu ada di mana. Sebenarnya kasihan juga terhadap Farisha yang telah ditinggalkan ibunya dan kini hanya sendirian saja.     

Wajah Usman mengkerut karena mendapati tulisan yang tidak diketahui olehnya. Apalagi dengan nama akun-akun yang tidak tahu itu apa. Namun ia tahu ada alamat rumah dan ada nomor seperti nomor telepon. Walau ia tidak punya telepon genggam, ia tahu itu nomor telepon milik orang yang memberi kartu nama padanya.     

"Mus Rinto Sudarman ... ini nama orang itu? Wah, namanya kayak penyanyi jaman dulu yang pernah diputar sama orang tua di desa. Tapi ini agak beda sedikit. Apa memang anaknya atau bukan, yah?" Sejenak ia mengingat nama yang muncul di benaknya. Teringat sebuah lagu yang pernah ia dengarkan bersama orang tua yang bernyanyi di dalam bus dan berbagai tempat ia jualan.     

Tak seberapa lama kemudian, Rinto kembali ke meja dan bertanya, "Eh, tadi lupa tidak tanya nama dulu. Siapa namamu?" tanya Rinto terhadap Usman. Ia akan memberitahu petugas keamanan di komplek perumahannya dan juga orang rumah. Maka ia perlu tahu siapa nama pemuda itu.     

"Aku Usman Sayuti, Pak. Panggil saja Usman. Besok pasti saya datang ke rumah dan bekerja dengan baik." Lalu Usman mengulurkan tangannya pada pria paruh baya tersebut. Juga tidak lupa sebagai tanda hormatnya, ia mencium tangan Rinto.     

"Oh, selamat datang, Usman. Semoga bisa bekerja dengan baik. Nanti saya akan bilang ke rumah agar tahu kamu akan bekerja di rumahku. Saya pamit dulu kalau begitu!" tandas Rinto. Ia pun meninggalkan Usman seorang diri. Ia ingin bertemu dengan istrinya sebelum pulang ke rumah.     

Usman terdiam di tempatnya duduk. Ia tidak bertanya tentang Rinto dan tidak tahu bagaimana ia bisa datang ke rumah orang kaya itu. Namun ia akan memikirkan itu esok hari. Dirinya harus bersiap-siap bekerja esok hari dan berharap bisa pulang ke desanya dalam keadaan sudah sukses dan memiliki cukup uang untuk memulai usaha. Namun pikirannya juga ada Farisha yang malang. Ia tidak tahu bagaimana keadaan istrinya itu. Entah sudah makan atau belum. Lalu bagaimana wanita yang lebih tua sepuluh tahun darinya itu hidup seorang diri.     

Rinto pergi ke ruang rawat di mana istrinya berada. Ia juga baru memberitahu orang rumah seperti asisten rumah tangganya saat akan ke rumah sakit. Itu yang membuat para asisten rumah tangga itu panik dan menyiapkan barang-barang yang harus di bawa. Di ruang rawat inap itu sudah ada dua wanita paruh baya. Yang satunya adalah seorang perawat dan satunya lagi merupakan seorang asisten rumah tangga.     

"Bagaimana keadaan istri saya, Sus?" tanya Rinto terhadap sang perawat. Melihat perawat menengok ke arahnya, ia menambahkan, "Apa dia baik-baik saja atau bagaimana?"     

"Oh, ibu tidak apa-apa, Pak. Ini hanya perlu pengecekan secara berkala dan kurasa keadaan normal. Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak," pamit sang perawat yang meninggalkan ruangan itu.     

Rinto mendekat ke arah istrinya dan menggenggam tangan wanita itu. Meskipun tangan diperban, ia merasa lebih baik daripada kehilangan sesuatu. Perlahan ia duduk di kursi dan mencium tangan sang istri.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.