Tante Seksi Itu Istriku

Isi Dalam Tas



Isi Dalam Tas

Usman kembali ke depan kamar di mana seorang wanita dirawat. Sebenarnya ada juga kamar di mana seorang pria yang kecelakaan bersama wanita itu. Namun di depan kamar tidak ada tempat duduk. Ia duduk di tempat itu untuk menikmati makanannya. Sebenarnya ia hendak membayar tagihan rumah sakit. Namun tagihan sudah lunas yang membuatnya senang. Setidaknya uangnya masih banyak di dalam tasnya. Ia akan mengembalikan uang itu kepada Farisha suatu hari nanti. Namun ia saat ini bingung mau ke mana. Karena tidak memiliki pekerjaan dan tidak ada tempat berteduh, Usman menjadi bingung.     

"Mas, aku ingin berterima kasih pada orang yang telah menolongku. Bawa dia ke sini, Mas!" pinta Menik kepada Rinto. Ditatapnya sang suami seraya menggenggam tangan besar itu. Bagaimana pun juga, ia telah ditolong oleh orang itu. Entah bagaimana caranya, wanita paruh baya itu harus mengucapkan terima kasih kepada penolongnya, yang telah menyelamatkan nyawanya.     

"Iya, kamu tenang saja! Aku akan mencari anak muda itu. Tadi tidak ketemu karena aku buru-buru datang ke sini. Kalau begitu, aku keluar dulu, yah," pamit Rinto seraya melepaskan genggaman tangan istrinya.     

Wanita paruh baya itu pun menyunggingkan senyum dan mengangguk. Perasaan lega menghampiri dirinya yang sudah dalam kondisi lebih baik. Walaupun tidak terlalu mengingat, ia pernah melihat anak muda yang telah menyelamatkan dirinya. Ada perasaan yang aneh terhadap pemuda itu. Hatinya teriris pilu saat berada di dekatnya. Perasaan bersalah yang tidak berdasar dan tidak menentu.     

Sementara Rinto telah meninggalkan istrinya yang masih terbaring di ranjang rumah sakit. Saat ia membuka pintu ia menengok ke kiri dan ke kanan. Terlihat seorang pemuda duduk sedang makan di sebuah bangku. Di sampingnya ada tas gendong yang terlihat berat dan penuh. Hal itu membuat lelaki itu bingung.     

'Kenapa anak itu bawa tas sebesar itu? Apa ada keluarganya yang sakit juga? Ah, mungkin kah anak itu yang menyelamatkan istriku? Tapi lebih baik bertanya saja secara langsung,' pikir Rinto dengan menyimpan segala pertanyaan di dalam hatinya.     

Tidak tahu harus ke mana, Usman hanya bisa duduk sambil makan. Pikirannya dipenuhi dengan bagaimana caranya agar bisa mendapatkan tempat tinggal. Selama hidupnya, ia tidak pernah tidur di kontrakan atau apapun itu. Namun ia sudah terbiasa tidur di manapun. Akan tetapi, ia tidak mungkin tidur di rumah sakit. Ia ingin bangkit dan mencari tempat yang lain. Bisa tidur di masjid walaupun tidak melaksanakan kewajiban. Atau tidur di depan ruko dan sebagainya.     

Rinto menepuk pundak Usman dan menyapa, "Hei, Nak. Bisa kita bicara sebentar? Kurasa ada yang perlu dijelaskan untuk semua yang telah terjadi." Rinto hanya menebak, anak muda di sampingnya adalah orang yang sama, yang telah menyelamatkan istri tercintanya.     

Usman pun terhenyak kaget dan menengok ke samping. Rinto sadar telah membuat anak orang kaget, terlihat dari raut wajah lelaki itu. Melihat pemuda yang kaget dan dari postur dan perawakan, terlihat seperti orang dari desa. Walau demikian, ia merasa pemuda dua puluh tahun itu adalah orang baik dan dapat dipercaya.     

"Oh, maafkan saya, Nak." Setelah mengetahui orang di sebelahnya kaget, ia lepaskan tangannya dari pundaknya. "Sekali maafkan saya! Aku tidak tahu pasti tapi aku menebak, kamu yang telah menyelamatkan istriku. Bagaimana saya bisa membalas budi kepadamu?"     

"Eh, eng-eng-nggak ... aku ... anu, Pak," kata Usman gelagapan. Hal itu membuatnya menumpahkan makanan yang tersisa. "Aduh, aduh ... ehhh!" Walau makanan itu tinggal sedikit, tetap saja ia masih merasa lapar. Segera saja Usman bereskan dan kumpulkan sisa makanan yang telah tumpah.     

"Maaf-maaf. Akan saya ganti semuanya! Sekali lagi mohon maaf atas tumpahnya makananmu. Sekalian saja kita bisa berbicara sebentar, sambil makan juga? Kebetulan saya juga belum makan," ajak Rinto. Nilai dari sebuah nyawa, melebihi apapun baginya. Ia bersyukur karena masih bisa melihat istrinya dalam keadaan baik-baik saja. Ia bisa memberikan apapun terhadap penolong istrinya. Meski menguras banyak hartanya. Tak lepas dari itu, ia percaya kalau anak muda itu tidak akan banyak menuntutnya.     

Ada banyak golongan orang melakukan apapun untuk mencapai tujuannya. Ada juga yang menerima apa adanya. Apa yang diberikan dan apa yang telah didapatkan. Rinto mengajak Usman bersamanya. Ia tidak berpikir macam-macam tentang anak muda itu. Namun hal itu yang Usman pikirkan. Apakah ia bisa meminta bantuan orang itu atau tidak. Setidaknya ia bisa meminta pekerjaan dan tempat untuk tinggal. Hidup di kota besar memanglah sulit. Tidak tahu apa yang akan dihadapi olehnya. Namun hatinya kini bercabang, antara meminta pertolongan atau tidak. Tapi ia memang harus tahu diri, menolong orang itu harusnya disertai dengan keikhlasan. Tapi sekali lagi, ia juga membutuhkan pertolongan.     

Akhirnya Usman dan Rinto pergi ke kantin rumah sakit. Usman mengikuti pria paruh baya dengan membawa tas besar di gendongannya. Karena tas itu berisi pakaian dan uang yang diberi oleh Farisha, membuatnya harus berhati-hati. Jangan sampai uang sebanyak itu hilang dan membuatnya bingung jika diharuskan mengembalikannya.     

"Silahkan pesan apa saja, nanti saya yang bayar," ujar Rinto yang mempersilahkan Usman. Namun ia hanya melihat pemuda itu terlihat kebingungan. "Tenang, nanti saya yang membayar semuanya, kok. Jadi silahkan pesan apa yang mau dimakan." Kembali ia mempersilakan dengan mendorong punggung Usman.     

"Eh, enggak. Anu ... aku punya uang, kok. Bapak duluan yang pesan. Nanti saya di belakang," ujar Usman yang membalikan badan dan mempersilahkan orang yang lebih tua terlebih dahulu.     

"Ah, sudahlah ... anak muda sepertimu kenapa harus malu-malu begini? Kalau begitu, kita pesan makanan yang sama saja!" putus Rinto. Ia pun mendekati penjual dan memesan makanan di kantin itu.     

Setelah memesan makanan dan mendapatkannya, keduanya duduk di bangku dan menyantap makanan mereka. Baik Usman maupun Rinto, tidak berbicara satu sama lain. Mereka fokus makan dengan tenang. Usman telah meletakkan tasnya di lantai dan di posisi depannya, dijepit dengan kedua kakinya. Rinto melirik tas yang dijaga baik-baik oleh pemuda itu. Hal itu membuatnya penasaran tentang isi dari tas yang diperlakukan hati-hati.     

"Sebenarnya itu tas isinya apaan? Kenapa diperlakukan secara hati-hati begitu?" Karena rasa penasarannya, ia bertanya pada Usman. Karena tidak dijawab, ia meneruskan, "Baiklah ... kalau tidak mau mengatakannya. Kalau begitu jaga baik-baik kalau isi tas itu sangat penting."     

Mendengar ucapan terakhir pria paruh baya itu membuatnya merasa bersalah. Apalah salahnya jika hanya bertanya? Toh ia tahu kalau orang di sampingnya adalah orang kaya. Karena istrinya saja naik mobil dan lelaki yang menyetir sudah dapat dipastikan adalah sopirnya. Maka tidak mungkin orang di sampingnya akan merebut uang di tasnya.     

"Ini isinya uang, Pak. Hari ini hari terakhir aku bekerja. Dan kurasa ini kebanyakan dan aku akan kembalikan ini. Jadi takut nanti hilang semuanya," pungkas Usman.     

"Oh, kalau begitu, jagalah baik-baik uang itu. Kalau begitu, mari lanjutkan makannya." Penjelasan itu sudah cukup bagi Rinto. Ia tidak ingin bertanya lebih lanjut. Namun ia malah menaruh kecurigaan terhadap pemuda itu. Ada sesuatu yang ganjil dalam ucapannya.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.