Tante Seksi Itu Istriku

Kesetiaan Sopir Taksi



Kesetiaan Sopir Taksi

Farisha melihat bangunan yang berada di depan matanya. Sepintas terlihat bangunan itu dirancang dengan cukup baik dan kokoh. Tidak tahu apa yang membuat bangunan-bangunan itu tidak laku. Namun inilah yang dinamakan bisnis. Tidak semua berjalan dengan baik dan lancar. Itu sama seperti swalayan milik nya yang tidak begitu ramai. Walau memiliki banyak pelanggan yang hampir setiap hari datang. Karena keterbatasan tenaga dan ada acara mendadak, membuatnya tidak memaksimalkannya.     

'Sepertinya perempuan ini sudah mendingan. Berarti memang ini mirip sekali dengan anakku. Ah, seandainya anakku tidak menikah lagi mungkin aku tidak akan kehilangan dia. Yah, mau bagaimana lagi? Setidaknya dia masih mau menjenguk walau sebulan sekali.'     

Pria tua itu merenung sambil mengingat wajah sang anak. Memang seperti wanita di depannya. Ditatapnya Farisha dari belakang, terlihat wanita dengan rambut panjang serta bentuk tubuhnya, dari postur atau gaya berpakaian pun mirip. Namun itu bukanlah anaknya ataupun cucunya. Karena ia tahu kalau cucunya adalah seorang anak laki-laki. Jika ia masih ada pun umumnya jauh berbeda.     

"Apapun masalahmu pasti akan ada penyelesaiannya. Jangan sampai hanya ego sendiri lah, membuat dirimu larut dalam masalah atau lari dari kenyataan. Lebih baik hadapi apa yang sedang dipermasalahkan," tutur lelaki tua yang masih berdiri di belakang Farisha.     

Farisha menoleh ke belakang, melihat lelaki di belakangnya tersenyum kepadanya. Hari ini seharusnya bertemu dengan ibunya yang sangat ia rindukan dan khawatirkan. Bukannya mencari solusi dan terus bersama dengan suaminya, ia malah mengusirnya. Namun kini dirinya menyesal, menyesal setelah memperlakukan seorang lelaki yang begitu baik padanya. Dan lelaki itu sudah menemaninya selama ini. Namun kendati demikian, ia tidak bisa melakukan apapun untuk membalas kebaikan pria itu. Hanya bisa keras dan membuat keadaan semakin kacau.     

"Antarkan saya ke rumah yang tadi. Di mana saya dan suami saya turun," lirih Farisha. Ia berjalan melewati pria tua itu dan masuk ke dalam mobil. "Kali ini tidak bisa lari begitu saja. Mungkin dia orang bodoh. Tapi dia bisa menemaniku dan memberikan kenyamanan selama ini."     

"Suami? Berarti anak muda itu suaminya?" lirihnya bertanya seraya menggelengkan kepalanya. Pikirannya mendadak lemot karena ucapan Farisha. "Oh, karena sudah tua, mungkin. Ya sudahlah ... apapun itu, tugasku hanya untuk mengantar ke manapun orang yang memakai jasaku pergi."     

Tak banyak berpikir, pria itu langsung membuka pintu mobilnya. Duduk di jok kemudi lalu menutup kembali pintu mobil itu. Segera saja ia menstarter mobilnya dan berbalik arah. Ini adalah jalanan yang cukup sepi. Sehingga tidak perlu mencari tempat untuk berputar arah. Hanya dengan memutar mobil di jalan pun jadi. Pria itu melakukan mobilnya dengan cepat menuju tempat tadi.     

"Semoga kamu masih ada di sana, Usman. Semoga kamu tidak apa-apa sekarang." Harap-harap cemas perasaan Farisha. Memiliki pemikiran yang tidak pasti karena belum menemukan seorang yang dianggap sebagai orang yang sangat penting dan berharga baginya.     

Jalanan mulai ramai dengan kendaraan yang berlalu-lalang. Kendaraan roda dua maupun roda empat masih menjadi biang macet utama. Apalagi para pengguna kendaraan roda empat yang membuat jalan semakin sempit. Berbeda dengan sepeda motor yang saling menyalip dan membuat sulit pengendara lain. Farisha menunggu dengan cemas, berharap Usman masih di sana. Saat sudah berada di lingkungan perumahannya, ia masih berharap banyak.     

"Ah, sepertinya di sini terjadi kecelakaan. Pagi-pagi sudah ada saja kecelakaan seperti ini. Memang berbahaya kalau sopir mobil tidak memperhatikan mesin mobil. Mungkin ini remnya yang blong karena ini kecelakaan tunggal. Kalaupun tidak, bisa saja membawa mobil sambil mabuk atau mengantuk. Keselamatan berkendara pun diabaikan begitu saja," tutur pria tua itu seraya melirik ke samping.     

Tak jauh dari tempat kecelakaan adalah rumah milik orang tua Farisha. Namun saat sampai di sana, tidak ada seorangpun di tempat itu. Jangankan Usman, jejak kakinya juga tidak terlihat. Saat mobil berhenti, Farisha keluar dengan buru-buru. Saat sudah ada di luar, pandangan mata mencari sosok lelaki muda dan pendek miliknya. Tapi itu hanyalah harapan yang entah bisa terwujud atau tidak. Sampai saat ini ia tidak melihat sang suami pergi. Ia sudah terlambat untuk saat ini.     

"Usman ... ke mana kamu? Kenapa tidak ada di sini lagi? Apakah kamu benar-benar mau meninggalkan aku? Maafkan aku yang bersalah ini. Aku tidak bermaksud untuk mengusirmu, huhuhuhu ... Usman ... ke mana kamu sekarang? Kamu benar-benar sudah pergi?"     

Rasa bersalah menyelimuti hati Farisha. Ini adalah konsekuensi yang didapat karena telah menyia-nyiakan orang yang memperdulikan dirinya. Sekarang tidak ada lagi orang yang benar-benar perduli padanya. Ibunya sudah tidak tahu ke mana. Kini giliran sang suami yang sudah tidak ada di sisinya. Sekarang ia benar-benar hidup seorang diri. Tanpa ada orang yang menemaninya saat ini.     

Pria paruh baya itu masih ada di dalam mobil taksi. Tidak ada keinginan untuk ikut campur dengan masalah anak muda seperti mereka. Yang penting ia tahu apa yang harus dilakukan. Hanya bisa menunggu wanita itu kembali tenang. Tidak penting baginya mengejar setoran. Karena ia pemilik taksi yang memang hidup sendirian tanpa keluarga yang menemani di hari tua. Ia memgerti dan tahu apa yang selanjutnya terjadi. Namun terus menatap ke depan tanpa penyesalan.     

"Kenapa disaat seperti ini? Ah, aku memang tidak pantas untuk hidup bahagia. Mungkin karena dosa-dosa yang ku lakukan selama ini. Huhuhu ... di mana kamu, Man? Kamu berjanji akan selalu ada untukku. Tidak akan meninggalkan aku sampai kapanpun. Tapi mana janjimu? Janjiku padamu jiwa dan ragaku. Aku mau mati demi kamu, Usman. Tapi di mana kamu?"     

Wanita itu menggelengkan kepalanya. Lalu ia pegangi kepalanya dengan kedua tangannya. Rasanya sangat berat berpisah dengan orang yang ia cintai. Janji untuk bersama hanyalah perkataan semata dan tidak mutlak. Inilah bukti kalau mereka bukan orang yang harus bersama. Pagi semakin siang dan matahari semakin meninggi. Farisha mencari ke sana ke mari tapi sayangnya tidak ada sosok lelaki itu.     

Pria tua itu hanya menunggu sampai beberapa waktu berlalu. Hingga setengah jam lebih menanti Farisha. Ia tahu rumah yang sekarang berada. Rumah yang sudah ditinggal penghuninya beberapa minggu lalu. Dan keadaannya juga sudah berubah tanpa ada yang merawatnya. Masih tergeletak sampah plastik makanan dan beberapa daun kering berterbangan.     

"Pak, hari ini antar saya ke tempat terakhir." Farisha sudah masuk ke jok belakang lalu mengatakan tujuan selanjutnya adalah swalayan miliknya. Yang harus ia lakukan adalah menjalani hidup yang berat ini. Melakukan yang terbaik sampai akhirnya bertemu kembali dengan orang yang berpisah dengannya.     

"Baik ... baiklah, Neng. Kita akan berangkat sekarang. Apapun yang terjadi, tetap jalani semua ini dengan baik. Jangan menyerah apapun yang terjadi."     

Untuk ke sekian kali, pria itu mengantar Farisha ke berbagai tempat. Pagi ini sudah terkuras untuk hanya mengantar satu orang saja. Namun tetap sabar dan menurut apa yang dikatakan oleh wanita dewasa yang sedang dalam masalah.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.