Tante Seksi Itu Istriku

Menjadi Stres



Menjadi Stres

Betapa hancur hati Farisha, melihat keadaan rumah yang selama tiga puluh tahun lamanya ia tinggali bersama ibunya. Bukan karena rumah itu, melainkan ketidaktahuannya. Tidak tahu apa yang terjadi saat mereka pergi. Entah apa yang terjadi saat mereka meninggalkan rumah itu untuk berbulan madu.     

"Iihh ... pasti semua ini gara-gara kamu!" hardik Farisha pada Usman. Karena kalap dan tidak bisa menerima, wanita itu mengacungkan telunjuknya kepada Usman dengan emosi. "Kalau bukan karena kamu, mungkin tidak akan seperti ini! Andai kita tidak menikah, mungkin tidak akan seperti ini! Pergi kamu dari sini! Pergi!" usir Farisha dengan emosi meledak-ledak.     

Namun Usman masih bergeming. Ke mana ia harus pergi? Sementara ia tidak tahu apapun di kota yang tidak ia ketahui. Kabarnya di luaran sana, banyak gelandang atau preman yang mungkin bisa menyakitinya. Bagaimana mungkin ia pergi sendirian? Usman semakin bingung, apa yang harus dilakukan saat ini.     

"Tch! Kenapa kamu masih di sini? Huh, kamu hanya akan menjadi beban dalam hidupku kalau masih berada di sini! Pergi kamu!" Farisha bangkit lalu menendang suaminya dengan keras. Membuat lelaki itu kembali tersungkur ke belakang.     

Keadaan masih sepi ketika mereka sampai di kediamannya. Bagaikan tersambar petir melihat keadaan rumah yang berantakan dengan dipenuhi sampah dari daun serta banyaknya bungkus makanan tercecer di manapun. Biasanya akan ada tukang kebun yang menyirami tanaman. Ada penjaga gerbang yang membukakan pintu rumah itu. Bahkan ada pembantu yang selalu melayani dengan baik. Yang tersisa sekarang hanyalah kehampaan. Salah baginya karena telah membuat keputusan untuk menikah dengan seorang pemuda desa yang bodoh. Karena itu, ia yakin kalau lekaki itu juga hanya akan menjadi beban dalam hidupnya.     

Selama setengah jam Farisha melampiaskan semuanya pada Usman. Ia menendang dan memukul pemuda itu sampai babak belur. Namun lelaki itu tetap bersikukuh untuk tinggal. Dirinya yakin bisa membantunya. Walau dengan apa yang ia punya dan itu hal yang sangat mustahil baginya.     

"Huhuhu ... kenapa kamu tetap tidak mau pergi, hemm? Apa kamu bodoh seperti orang yang tidak tahu malu? Apa kamu butuh uang? Oh, aku lupa ... kamu belum aku bayar, kan? Hohoho." Farisha mengambil uang di dompetnya. Terdapat banyak uang ratusan ribu. Ia hanya menyisakan uang seratus ribu di dompetnya dan mengambil semua yang lain untuk diberikan pada Usman.     

"Aku tidak ingin uang. Aku mau menemanimu mencari ibumu. Mungkin beliau masih berada di sekitar sini atau mungkin sudah pindah rumah. Aku tidak mau meninggalkan kamu. Bukankah kamu sendiri yang memintaku untuk melakukan ini, heh?"     

"Hehh, orang bodoh seperti kamu, mana tahu apa yang harus dilakukan? Mulut besarmu ini sungguh tajam, Usman! Kamu lebih baik pergi atau aku yang pergi!" usir Farisha sambil melemparkan uang ke wajah Usman. "Eh, aku lupa, aku juga akan memberikan sesuatu sebagai perpisahan. Ini aku kasih kalung ke kamu! Kalung ini harganya lima puluh juta! Dan kamu bisa menjualnya dengan harga itu. Oh, aku juga membawa surat-suratnya. Jadi mereka akan percaya sama kamu!"     

Farisha melepaskan kalung itu lalu dilemparkan pada Usman yang masih bergeming. Tidak ada reaksi apapun dari pemuda itu. Setelah melempar kalung itu, Farisha lalu mengambil tas yang ada pada Usman. Lalu ia mencari surat-surat penting yang ia bawa.     

"Hari ini aku putuskan untuk mengakhiri semua ini! Mari kita tidak bertemu lagi ke depannya! Aku tidak ingin kesialan ini terjadi lagi. Bagaimanapun kamu sudah bekerja untukku. Tapi aku juga membencimu!"     

Farisha membawa tasnya dan menggendongnya. Setelah menyerahkan surat perhiasan itu, ia lantas meninggalkan tempat itu. Ia tidak ingin hidup dalam keadaan seperti itu. Usman masih terbengong dengan perubahan sikap Farisha padanya. Apakah selama ini mereka hanya seperti ini? Apakah hubungan suami-istri itu hanya sebuah konspirasi? Ataukah ia sudah tidak dibutuhkan lagi karena mereka sudah ada di kota?     

"Bagaimana ini bisa terjadi?" Hanya pertanyaan kecil itu yang keluar dari bibir Usman. Tidak disangka, rasa itu hanya ada di desa itu. Hubungan percintaan yang mereka alami, berakhir sampai di sini. "Apa yang harus kulakukan sekarang?"     

Farisha menghubungi taksi dan berjalan menjauhi rumah itu. Hatinya benar-benar hancur dan tidak tahu harus bagaimana lagi. Bahkan ia menyesal telah berbicara kasar pada Usman. Bagaimana ia bisa kembali menemui lelaki itu? Tapi mukanya sudah malu kalau kembali lagi pada Usman. Hanya karena emosi sesaat, bahkan menyakiti hati orang yang telah mengisi hatinya. Bagaimana pun juga, tidak ada yang perlu dijelaskan. Hanya perlu waktu untuk sendiri saat ini. Sambil berjalan, ia menunggu taksi datang kembali. Sebelumnya ia sudah meminta nomor dari sopir taksi sebelumnya.     

"Kenapa taksinya lama banget? Katanya sudah dekat. Dasar sialan! Bagaimana hidupku hancur seperti ini? Ibu, di mana kamu sebebarnya? Aku harus bagaimana menghubungimu?"     

Terus berjalan entah ke mana. Sampai ia melihat taksi yang ia tumpangi barusan. Tidak disangka ia akan kembali memesan taksi secepat itu. Dalam keadaan kacau seperti itu, dirinya tidak berekspresi apapun kecuali air mata yang ia hapus. Walau tetap kembali lagi air matanya keluar.     

Sopir taksi yang melihat Farisha sendirian, membuat hatinya bertanya, 'Ke mana lelaki yang bersama dengannya?' Namun ia tidak mengatakannya. Hanya bisa menghentikan laju kendaraannya di tepi jalan. Di depan Farisha yang terlihat murung.     

Tanpa berkata apapun, Farisha masuk ke dalam taksi dengan menenteng tasnya. Karena tidak membawa banyak barang kali ini. Uang pun hanya tinggal seratus ribu. Ingin rasanya ia menjauh dari dunia ini. Ingin mencari ibunya saat ini pun tidak ada tenaga. Hanya bisa duduk termenung di dalam taksi yang ia pesan. Walau datangnya terlalu lama baginya.     

"Kita mau ke mana, Mbak? Oh iya, temannya yang tadi, cowok. Ke mana perginya? Apa nggak ikut juga? Tapi kalau ada masalah, jangan pernah lari dari itu semua. Mungkin Mbaknya ada masalah. Namun lihat dulu masalah–"     

"Berisik! Nyetir tinggal nyetir saja! Kenapa pakai berisik segala? Sudah tua, bacot doang berisik!" bentak Farisha dengan suara keras. Ekspresinya saat ini terlihat geram dan panas. Tidak ada yang bisa mengganggunya saat ini. Bahkan orang tua sekalipun ia akan membentaknya.     

'Sayang sekali masih muda. Tapi ya sudahlah ... mungkin masalahnya berat. Lebih baik jangan ikut campur, lah.' Karena tidak ingin menambah emosi Farisha, ia menjalankan taksinya dengan kecepatan perlahan. Ia belum tahu harus ke mana. Jadi hanya melaju ke depan. Tidak berani untuk bertanya lebih lanjut.     

"Ah, leled banget ini taksi! Cepat pergi yang jauh! Jangan hanya jalan pelan kayak siput! Saya juga akan bayar, kok! Orang tua bikin kesel aja!" Farisha melontarkan ungkapan yang menyayat hati. Harusnya taksinya bisa lebih cepat lagi. Ke manapun ia pergi, ia tidak perduli. Yang penting bisa pergi sejauh mungkin. Menjauh dari masalah yang belum tahu ujungnya. Namun ia sudah menyalahkan orang yang bahkan tidak tahu apapun.     

"Sebenarnya mau ke mana? Saya bingung mau pergi ke mana. Tidak tahu tujuan mau ke alamat atau tempat apa." Pria paruh baya itu hanya bisa menggerutu pelan. Hari ini masih pagi tapi direpotkan dengan kehadiran wanita stres seperti Farisha.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.