Tante Seksi Itu Istriku

Bantuan Yang Berharga



Bantuan Yang Berharga

Setelah menjelaskan hal yang membuat mereka harus kembali ke kota, Farisha dan Usman meninggalkan rumah Kasmiyah dan suaminya. Meninggalkan anak itu dengan perasaan bersalah. Kalau tidak terjadi apapun, mungkin mereka tidak akan kembali ke kota. Keadaannya berbeda dan sangat tidak mungkin untuk menghentikan niat mereka itu.     

"Apa keputusan kita tepat untuk kembali ke kota, yah? Malah kita tidak pamit langsung pada Bu Kasmiyah dan pak Tohari." Membawa sepeda motornya dengan kecepatan sedang, tidak ingin terjadi kecelakaan. Apalagi jika ia panik, bisa-bisa terjadi kecelakaan. Farisha harus profesional dalam berkendara.     

"Iya, ia kan semua ini demi ibu. Jadi ini nggak apa-apa. Semoga beliau-beliau mau mengerti keadaan kita. Bukankah kamu sudah memberi surat pada anak itu? Seharusnya itu sudah cukup untuk memberitahu mereka."     

Farisha mengerti dengan keadaannya. Ia merasa tenang, ada yang bisa diajak bicara disaat-saat seperti ini. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan jika ada Usman yang menemani. Beberapa jam lagi, mereka akan datang dan esoknya akan dihadapkan dengan masalah yang ia hadapi. Entah itu ibunya yang dikhawatirkan terjadi apa-apa ataupun masalah dengan Vania. Yah, wanita itu adalah orang yang harus ia hadapi selanjutnya. Ia tidak tahu bagaimana cara untuk menghadapi wanita itu. Otaknya terasa kosong untuk berpikir. Terlalu pusing dan terlalu banyak yang harus ia harus pikirkan.     

Farisha langsung menuju ke tempat mereka makan sebelumnya. Saat sampai di sana, ada beberapa orang yang sedang menikmati makanan di dalam rumah makan tersebut. Setelah Usman turun dari motor, Farisha memarkirkan sepeda motornya. Segera keduanya masuk ke dalam untuk menemui pemilik rumah makan tersebut. Farisha dan Usman yabg yang sudah sampai, disambut dengan senyuman oleh beberapa orang yang sedang menikmati makannya. Kali ini bukan dari golongan pekerja keras. Namun beberapa dari mereka nampak berpakaian rapih dan ada juga yang berdasi.     

"Yah, kalian sudah datang? Kalau begitu, kalian bisa masuk ke dalam dulu! Nanti istri saya yang akan membantu kalian!" pungkas pria paruh baya pemilik rumah makan yang berada di dekat jalan raya. Jalan itu merupakan jalan besar yang biasa dilewati kendaraan bepergian jauh. Tidak heran kalau rumah makan tersebut juga melayani pemesanan tiket bus.     

"Iya, terima kasih banyak, Pak. Kami masuk dulu, yah! Maaf kalau kami mengganggu dan merepotkan," tutur Farisha, merasa tidak enak telah menjadi beban bagi mereka. Namun ia sebagai sesama manusia, ia sudah seharusnya membayar lebih untuk bantuan mereka. Bantuan mereka sangat berarti bagi Farisha. Walau tidak tahu ke depannya bagaimana.     

Pria paruh baya itu hanya mengangguk dan mempersilahkan Farisha dan Usman untuk masuk ke dalam. Di sana ada wanita istri pemilik rumah makan. Wanita paruh baya itu membawa keduanya ke ruang belakang. Di sana adalah dapur yang biasa untuk tempat memasak. Ada seorang wanita muda dan seorang anak lelaki yang sedang bekerja. Masing-masing sedang mengupas kentang dan bawang.     

"Ini anak-anak kami yang kebetulan bisa membantu bekerja. Yah, warung ini memang terlalu kecil. Tapi di sana ada tempat istirahat. Kalian bisa istirahat dahulu di tikar sana. Sambil menunggu busnya lewat, ini baru jam tiga sore. Nanti busnya akan datang jam lima. Jadi bisa menunggu saja di sini. Nanti kalau sudah ada bisnya, kami kasih tahu," pungkas wanita pemilik warung makan.     

"Terima kasih banyak, Bu. Kami terbantu sekali kalau begitu. Oh iya, nama kami Farisha. Dan ini suamiku bernama Usman. Maaf, sekali lagi, apakah bisa bantu kami lagi?" tanya Farisha.     

"Oh, kalau begitu, apa yang bisa kami bantu? Kalau bisa, kami bantu, yah," jawab wanita itu. Lalu ia menambahkan, "Untuk tiketnya, nanti bayar sendiri pada kerneknya, yah. Apa mau minum apa, nanti aku buatkan."     

"Oh, terima kasih, Bu sebelumnya. Kami mau minum es teh manis saja, Bu. Kami juga minta tolong untuk bisa mengantarkan motor ke desa Tapangwaru. Di dekat pantai dan ini alamatnya." Farisha memberikan kunci dan alamat yang dituju. "Maaf, ini juga sebagai ucapan terima kasih pada kami dan untuk membayar makanan dan minuman yang kami pesan."     

"Eh, ini apaan? Nggak perlu banyak-banyak segini. Kalau kami membantu, kami ikhlas saja, kok. Tapi kalau mau membayar, cukup membayar makanan dan minuman serta ongkos antar motor saja. Ini mah, kebanyakan jadinya. Sebentar, saya hitung dulu jumlahnya. Tadi makan, habis tiga puluh ribu. Dan es teh dua, delapan ribu. Untuk mengirim motor, nanti bisa suamiku yang antar. Cukup dua puluh saja, hehehe. Jadi segitu saja, yah. Semua jadi ... emmm ... lima puluh delapan ribu. Ini saya ambil yang seratus ribu dan kembaliannya saya akan ambil."     

"Itu buat Ibu dan bapak. Jadi nggak perlu dikembalikan. Lagian pertolongan kalian berdua sangat kami harapkan. Dan Alhamdulillah kita bertemu dengan baik seperti Ibu dan bapak." Farisha menolak uang yang diserahkan kembali padanya. Karena ia tidak ingin menarik niat baiknya.     

"Ambil saja, Bu. Uang itu tidak seberapa daripada bantuan besar Ibu dan bapak pemilik rumah makan. Kalau tidak ada ibu, mungkin kita akan kebingungan mencari. Apalagi aku yang bodoh ini, tidak tahu apapun untuk membantu." Usman meyakinkan wanita paruh baya itu untuk menerima uang yang diberikan oleh Farisha.     

"Oh, Alhamdulillah ... kalau begitu, saya terima uangnya. Kalau begitu, anak-anak, bilang terima kasih sama kakak yang ganteng dan cantik ini," perintah wanita paruh baya itu.     

"Terima kasih, Kakak Cantik. Terima kasih Kakak tapi nggak ganteng, lah," ungkap keduanya. Ia melihat Usman memang tidak ganteng. Dua anak itu berkata dari dalam hati yang berpikiran sama.     

"Aduh, kenapa bilangnya gitu, sih? Kalian ini ... maafkan dua anak kami yang bandel ini, yah! Anak itu suka bercanda soalnya, hehehe," kekeh wanita pemilik rumah makan dengan rasa sopan.     

"Iya, nggak apa-apa, kok. Suamiku memang tidak ganteng, sih. Tapi dia orangnya baik dan tampan di dalam hati. Yang penting itu, kan Sayang?" ujar Farisha, menatap Usman di sampingnya sambil menggenggam tangan itu.     

Semuanya tertawa cekikikan mendengar ungkapan Farisha. Benar yang di dalam hati mereka, orang tampan memang banyak dan setiap wanita akan menyukai pria tampan untuk dinikahi. Namun berbeda dengan Usman yang termasuk beruntung itu. Walau awalnya mereka hanya pura-pura menikah, walau dengan surat-surat lengkap, tetap saja mereka tidak berencana untuk lebih dalam.     

Akhirnya mereka saling berkenalan dan saling lempar candaan. Dua anak itu juga mudah diajak untuk berbicara. Sedangkan wanita paruh baya itu meninggalkan mereka dan akan memberitahu semua yang didapat pada suaminya. Namun ia akan lakukan ketika sedang sepi. Ia hanya ke depan untuk membuatkan es teh manis untuk Farisha dan Usman. Setelah itu, dibawanya dan diberikan dua gelas es teh manis itu ke dalam dapur yang di sampingnya ada tempat untuk istirahat.     

"Mari, duduk di sini saja! Karena di pinggir kompor nanti jadi gosong, loh. Oh iya, kalau mau mandi, bisa ke sumur belakang. Karena di warung ini tidak ada kamar mandinya. Kalian cukup jalan lewat belakang sini dan ikuti jalan untuk ke WC umum."     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.