Tante Seksi Itu Istriku

Perjalanan Pulang



Perjalanan Pulang

Farisha setuju dengan ucapan anak itu. Memang benar kalau mereka berdua, tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Tentu akan membuat rasa malu kalau ketahuan sedang melakukan hal tidak biasa. Hari semakin siang dan ikan yang dibakar pun sudah matang dan hangat. Anak-anak itu sudah mencoba memakannya. Kini tinggal bagian untuk Usman dan Farisha. Maka anak-anak mempersilahkan Usman dan Farisha untuk makan ikan bakar.     

"Pelan-pelan makannya, yah! Kalau butuh minum, di sini ada air untuk minum." Anak itu menyerahkan botol minumab kepada Usman. "Kalau begitu, aku mau main lagi sama teman-teman, yah!" Anak itu pun meninggalkan tempat itu. Sudah saatnya bagi mereka bermain kembali.     

Jiwa anak-anak selalu memikirkan untuk bermain. Tidak perduli kalau mereka sedang di tempat yang jarang dikunjungi. Yang penting bisa senang-senang bersama teman-teman. Tidak seberapa lama, mereka menghabiskan ikan yang rasanya hanya asin karena tidak memakai bumbu lain. Hanya mengandalkan air laut untuk mencuci ikan.     

"Anak-anak, sekarang kita pulang! Hari sudah mulai terik. Kalian juga perlu makan siang ke rumah masing-masing, yah!" Tiba-tiba pria paruh baya itu membawa beberapa ekor kepiting dan mengajak mereka untuk pulang ke pulau mereka tinggali. Pria itu mengangguk dan tersenyum pada Usman dan Farisha. Ia sudah menduga, kenapa mereka lama tidak kembali dari hutan.     

"Ah, Paman ... kita kan masih mau main. Kenapa harus pulang sekarang? Nanti sore aja, deh! Kalau tahu begitu, kami bawa nasi ke sini dan akan kembali sore hari." Anak-anak protes karena masih mau bermain-main lagi. Tapi tidak ada kompromi karena memang perut mereka sudah mulai keroncongan.     

"Nggak boleh gitu. Kita juga harus pulang ke rumah. Kalau main kan bisa di mana saja, kan? Nanti sore kan kalian bisa bermain lagi di pantai belakang rumah," celetuk Usman yang mencoba membujuk anak-anak itu.     

"Benar kata masnya ini. Kalian bisa bermain lagi nanti sore. Paman harus memastikan kalau kepiting dan udang ini sampai dengan hidup. Kalau terlalu panas di sini, nanti bisa mati dan saya tidak dapat duit."     

"Ya sudah, deh. Kalau begitu, kita mengalah saja." Akhirnya mereka pun menerima keputusan untuk kembali ke pulau. Anak-anak itu membereskan perlengkapan dan membawa ikan yang belum dimasak.     

Farisha dan Usman turut membantu mereka untuk berkemas dan membawa bawaan ke perahu. Perahu itu sudah menggunakan mesin untuk menjalankannya. Maka tidak menunggu datangnya angin berhembus. Kapan saja ada waktu, dengan perahu mesin, akan lebih mudah digunakan. Namun tetap waspada dengan cuaca buruk sekalipun.     

"Ayo cepat bawa semuanya. Kalau ada yang tertinggal, paman nggak mau datang lagi. Kan datangnya seminggu sekali. Jadi jangan sampai ada yang ketinggalan."     

"Aman, Paman. Kita sudah bereskan semuanya. Mari kita segera berangkat!" seru anak itu dengan lantang sambil menunjuk ke arah depan.     

Nelayan itu pun menghidupkan mesin perahu dan tak lama mereka sudah berada di tengah-tengah laut. Kedalaman laut tidak menyurutkan semangat anak-anak. Bahkan mereka menceburkan diri ke dalam sambil mengikuti perahu. Kadang sesekali mereka menyelam untuk hanya bermodalkan kacamata renang agar bisa melihat terumbu karang dan ikan.     

"Inilah anak-anak kalau sudah seperti ini. Mereka bisanya main-main saja. Maklumlah, anak-anak di sini hidup di pantai dan lautan. Jadi sudah terbiasa, bukankah ini wajar, Mas? Mbak?" ujar pria paruh baya yang berprofesi sebagai nelayan itu.     

"Eh, eh ... iya, sih. Mereka juga hebat-hebat semuanya. Bisa berenang di sini. Ngomong-ngomong, di sini dalamnya apakah ada dua meter?" tanya Farisha penasaran.     

"Lah, hahaha! Nggak gitu, Tante!" sahut seorang anak yang masih di atas perahu. Setidaknya ia tahu kedalaman laut kalau dilihat dari jauhnya pantai. Lalu ia melanjutkan, "Ini kedalamannya ada lima sampai tujuh meter, lah."     

"A-apa?" tanya Usman tergagap. Ia tidak mungkin bisa berenang kalau kedalam sampai segitu. Apalagi lima meter, dua meter saja dirinya akan tenggelam. Namun tentu ini karena keadaan yang berbeda. Anak-anak itu sudah terbiasa. Berbeda dengannya yang tidak pernah berenang.     

"Apa? Apa Masnya juga bisa berenang? Kalau bisa, boleh lihat terumbu karang, loh. Dijamin di bawah sana, banyak spesies langka juga. Untungnya masih belum ada orang luar yang datang menjamah tempat ini. Hanya kalian berdua semenjak dua tahun terakhir. Tapi kita tahu, kalian ke sini karena bulan madu, kan? Ahaha! Kurasa kalian juga harus tahu, informasi di desa akan cepat menyebar. Mungkin sudah hampir semua orang tahu kalau ada orang yang datang ke desa kami."     

Usman tidak menjawab pria itu. Karena bingung harus menjawab apa. Lagipula orang itu terus mengoceh tiada henti. Seharusnya rasa lelah telah membuat dirinya diam. Tapi sekarang ketahuan sifat aslinya yang suka berbicara banyak. Tidak seperti saat berangkat pagi, yang terlihat seperti orang berwibawa dan cool. Karena bingung mau menjawab apa, pada akhirnya Usman dan Farisha hanya bisa tersenyum. Mereka hanya bisa mendengar celotehan orang itu sampai mulutnya berhenti dulu.     

Butuh waktu lima belas menit lebih untuk sampai ke pantai. Itupun mereka tidak sampai di tempat mereka tinggalkan tadi pagi. Tapi cukup ada tempat untuk menaruh perahu dan bisa ditinggalkan dan diikat dengan tambang. Ada sebuah teluk yang digunakan untuk parkir perahu.     

"Horee! Waktunya pulang! Ayo kita pulang! Aku sudah sangat lapar, nih!" Anak-anak pun meninggalkan perahu begitu saja. Tidak seperti tadinya saat di pulau yang tidak berpenghuni. Mereka malah terlihat senang dan terasa lapar.     

"Itulah anak-anak. Kalau sudah sampai ke daratan, mereka juga akan senang lagi." Pria itu melirik ke arah Farisha dan Usman yang sudah turun dan hendak membawa barang-barang. "Kalian nggak perlu bawa barang-barang ini. Nanti ada yang ambil, kok. Lebih baik kalian juga segera pulang! Maaf, bukannya mengusir. Tapi kalian juga harus istirahat. Apalagi kalian masih muda dan tentu ingin segera dapat momongan, kan?"     

"Aduh, Pak. Kalau gitu sih nggak perlu ditanya lagi, hihi." Farisha melirik ke arah Usman dan melanjutkan, "Bukankah seperti itu, Sayang? Kita akan segera dapat momongan dan menjadi orang tua segera."     

"Eh, anu ... iya-iya. Nanti kita akan dapat momongan." Karena kaget dan gugup, Usman menjawab pertanyaan sang istri dengan tergagap dan sulit untuk bernafas. Ia memegang dadanya dan mengatur nafasnya.     

"Hahaha! Di sini ada juga suami yang malu-malu. Ah, mungkin karena masnya masih terlalu muda. Apalagi menikah dengan wanita yang lebih tua. Sebenarnya itu bagus juga karena bisa jadi lebih bahagia begitu, kan?" tanya pria itu kepada Farisha.     

"Iya, bener banget, Pak. Ngomong-ngomong, terima kasih karena sudah mengizinkan kami ikut hari ini. Sekali lagi, kuucapkan terima kasih banyak," pungkas Farisha sembari mengulurkan uang berwarna merah ke nelayan itu.     

Pria itu menolak dan menghentikan niat Farisha. "Ini apaan? Nggak usah pakai beginian segala, Mbak. Lagian saya juga senang karena ada yang menemani. Jadi tidak sendirian ke pulau itu. Lagian kalian juga mengawasi anak-anak. Jadi bisa lebih tenang. Baiklah, kalau begitu, saya pamit duluan! Nanti ada orang yang ambil ini barang. Saya sudah mau makan ke warung."     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.