Tante Seksi Itu Istriku

Ketapang Yang Berserakan



Ketapang Yang Berserakan

"Apa ... apa yang akan kamu lakukan? Jangan lepas di sini! Aku malu!" tolak Usman ketika Farisha mencoba untuk melepaskan kaosnya. Padahal dirinya sudah merasakan kedinginan. Udara di sore hari yang mulai berhembus dengan sepoi-sepoi. Membuat rasa dingin menjalar ke seluruh tubuh.     

"Lah, kamu pikirannya malah gitu, sih? Ini lepas kaosmu untuk wadah ketapangnya. Aku juga pernah lihat di tivi. Mereka bilang, rasanya kayak kacang tanah. Kulitnya juga tebal dan harus dibuka dengan batu atau palu. Ini, banyak yang berserakan di sini," pungkas Farisha. Ia menggelengkan kepalanya, saat tahu pikiran Usman ke arah yang lain.     

"Oh, jadi begitu? Maaf, maaf ...." Usman merasa sangat malu karena telah salah sangka. "Ya sudah, aku lepaskan sekarang, yah? Tapi apa ini boleh diambil begitu saja?" tanyanya bingung, sambil mengetuk kepalanya sendiri sembari berpikir.     

"Ya nggak apa-apa, kayaknya. Lagian ini banyak banget, jauh dari pemukiman juga. Ambil beberapa saja, lah. Tapi kita jangan berisik," bisik Farisha sambil mengatupkan bibirnya dengan jari telunjuknya. Lantas, ia membantu sang suami untuk membuka kaos itu.     

Hari yang mulai gelap, membuat mereka merasa lebih aman. Disamping kemungkinan tidak ketahuan, kalaupun ketahuan, mereka bisa cepat lari dengan sepeda motor. Dengan cepat, mereka memunguti ketapang yang kulitnya sudah mengering. Tidak butuh waktu lama, mereka sudah mendapat cukup banyak. Farisha segera menaiki sepeda motornya dan menstarternya. Sementara sang suami, duduk di belakang tanpa menggunakan kaosnya karena sudah digunakan untuk wadah ketapang-ketapang yang dipungut mereka.     

Semakin lama, semakin mereka dekat dengan rumah yang dituju. Farisha sebenarnya memang tahu ke mana arah kembali ke rumah. Akan tetapi, ia sengaja menunggu hari semakin gelap. Tapi ia sudah merasa dingin. Saat melihat rumah kediaman Kasmiyah dan Tohari, ia tidak menghentikan sepeda motornya. Sementara Usman yang di belakang pun baru mengingat kalau mereka tidak tahu jalan pulang. Hanya desahan Usman yang terdengar dari belakang, membuat Farisha menengok ke belakang.     

"Ada apa, hemm? Apa kamu kedinginan? Sebentar lagi kita segera sampai, kok. Kamu tahan saja dulu!" Farisha kembali fokus ke depan dan mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan sedang. Tak jauh dari sana, sudah terlihat rumah kecil yang ditempati olehnya dan suaminya.     

"Tapi kan kita nggak tahu jalan. Kapan sampainya?" balas Usman dengan nada bingung. Ia menengok ke kiri dan ke kanan, hanya ada sebuah rumah yang gelap. Namun ia merasa tidak asing dengan rumah itu. Lantas ia hanya menoleh sejenak lalu mengalihkan pandangan ke arah lain.     

Farisha menghentikan laju sepeda motornya, membuat Usman bingung tapi tetap turun. Ia mengira kalau sepeda motornya mogok tapi sekarang ia berada di depan rumah. Ia ingin membantu mendorong tapi Farisha dengan cepat, memarkirkan kendaraan itu ke dekat tembok. Membuat Usman bingung dan tidak tahu mengapa Farisha melakukan itu.     

"Heh, ini kan rumah orang. Kita mau ngapain ke sini? Apa kamu kenal dengan orang sini? Atau mau ngapain?" tanya Usman dengan ekspresi bingung. Tapi jelas tidak terlihat ekspresi bingung karena mereka di dalam kegelapan.     

"Ngapain tanya seperti itu? Ayo masuk ke dalam! Aku lupa kalau kita disuruh untuk mampir ke rumah bu Kasmiyah. Tapi ya sudahlah ... aku masih punya mie instan. Ku pikir di dekat sini ada supermarket. Tapi aku lupa kalau kita ada di pesisir pantai. Apalagi di sini jauh dari perkotaan. Yah, sudah malam juga."     

Farisha membuka pintu rumah itu dengan penerangan dari telepon genggamnya. Walaupun di tempat itu sama sekali tidak ada jaringan dan sinyal, ia masih perlu menggunakannya untuk mengerti waktu. Sekarang sudah pukul setengah tujuh malam dan perut mereka sudah membutuhkan asupan makanan kembali.     

"Ah, rasanya pegel banget hari ini." Farisha menarik Usman yang hanya terdiam sendiri di luar rumah. "Kenapa masih bengong? Ini sudah petang, loh. Jangan berdiri di luar terus! Nanti kesambet setan, loh. Kalaupun tidak, bisa masuk angin karena tidak pakai baju.     

"Eh eh eh ... ke-napa tarik-tarik?" Sontak saja karena kaget di tarik oleh Farisha, membuat kaos yang ia pegang terjatuh ke lantai. "Aduh, ini jadi jatuh, kan!" protesnya kemudian. Ia melihat Farisha yang sudah masuk ke dalam rumah.     

"Kenapa malah dijatuhkan? Ayo kita masuk, Usman! Ini sudah malam, jangan hanya di luar!" ajak Farisha kembali. Ia tidak lagi menarik Usman karena lampu masih belum dinyalakan, membuatnya menggunakan senter dari telepon genggamnya agar bisa sampai ke stop kontak untuk menyalakan lampu.     

Setelah lampu dinyalakan, membuat Usman tersadar kalau dirinya seperti di tempat tinggal mereka. Ia pun kaget dan dengan rasa kegagetannya, dengan bingung, ia bertanya, "Eh, ini kenapa sepertinya tidak asing? Apa ini sedang bermimpi?"     

Ini tidak mimpi, lah. Orang kita sudah ada di rumah. Masa kamu nggak sadar, atau gimana?" Farisha tidak menyangka kalau Usman tidak sadar kalau mereka sudah pulang ke rumah. Hanya saja malam ini cukup lelah.     

Farisha langsung menuju ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya. Lalu keluar dan kembali duduk di sofa yang di ruang depan. Terlihat Usman sedang memunguti ketapang yang berserakan di lantai. Kaosnya juga kotor dengan pasir dan tanah yang menempel di ketapang-ketapang tersebut. Biarpun sudah masuk ke dalam rumah, tidak membuat rasa dingin itu hilang.     

"Ah, nyamuknya banyak banget." Farisha menuju ke kamarnya karena sudah lelah dan ingin berganti pakaian. "Emm ... untungnya kelambunya sudah dipasang. Jadi nggak perlu pusing untuk pasang-pasang lagi."     

Direbahkan tubuhnya ke kasur yang empuk itu. Walau tidak seempuk yang di rumah, ia sudah terbiasa dengan itu. Sebagai seorang yang memiliki orang tua berpunya, ia tidak pernah merasa kekurangan. Hanya saja tubuhnya sudah kebal akan siksaan dari Benny. Bahkan untuk tinggal di tempat yang bukan semestinya untuk orang kaya pun ia sanggup.     

Usman yang selesai mengumpulkan ketapang, langsung menaruhnya di dapur. Hari sudah semakin malam dan ia melihat tutup saji di meja. Ia ingat kalau dirinya belum makan malam. Meskipun ia sudah terbiasa menahan lapar, perutnya juga sudah terbiasa makan, sejak bertemu dengan Farisha. Perutnya keroncongan dan segera ia membuka tutup saji, berharap akan menemui makanan.     

"Syukurlah, kalau masih ada makanan yang tersisa di sini. Jadi nggak perlu kelaparan lagi. Alhamdulillah Ya Allah. Aku tapi tante belum makan juga. Eh, di sini ada tulisan." Usman melihat selembar kertas yang berisi tulisan dan membaca, "Ini untuk makan malam. Maaf, hanya bisa menyediakan ini saja."     

Farisha keluar dari kamarnya dan menemui sang suami yang tengah duduk di kursi, tempat ia akan makan. Kini dengan pekaian yang lebih tebal karena merasakan dingin di sekujur tubuhnya. Apalagi hari ini dirinya dan sang suami sudah jalan-jalan dengan motor. Dengan tidak ada hasil. Ia menemukan beberapa toko kecil yang tutup karena hari sudah sore. Sama dengan swalayan miliknya yang sudah tutup ketika sudah menjelang sore hari.     

"Eh, ayo kita makan, malam ini. Ini ada makanan enak banget." Usman menunggu wanita itu datang mendekat. Karena ini saatnya mereka mengisi perut sebelum tidur.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.