Tante Seksi Itu Istriku

Rasa Sakit Karena Terjatuh



Rasa Sakit Karena Terjatuh

Pikiran Farisha sedang tidak tenang memikirkan ibunya. Entah mengapa ia kepikiran tentang Azhari. Apakah terjadi sesuatu pada wanita yang telah melahirkannya atau apa, dari semalam pun tidak bisa tidur nyenyak. Siang itu dirinya bersama sang suami sedang berada di sebuah batu besar. Melihat sekeliling pantai tapi perasaannya tidak enak.     

"Dari pagi, kenapa kamu seperti ini, Tante? Eh, apa aku katakan saja, Farisha? Maaf kalau aku tidak sopan. Aku bingung harus memanggil kamu apa." Usman masih melihat istrinya seperti tidak mendengar. "Hei, sebenarnya ada apa denganmu? Apa kamu sakit? Katakan padaku, apa yang sedang dipikirkan." Karena penasaran, ia memegang kening Farisha. Namun kening itu tidak terasa panas. Hanya terasa hangat seperti orang normal.     

Farisha menoleh ke arah lelaki yang didu di sampingnya lalu menyahuti, "Eh, kamu bilang apa tadi? Maaf, aku tidak mendengar, Usman. Sebenarnya aku kepikiran sama ibu. Apakah dia baik-baik saja sekarang? Apa si lelaki tidak tahu diri itu menyakiti ibu lagi atau tidak." Ia lalu menyandarkan kepalanya di pundak Usman.     

Usman hanya diam, membiarkan kepala wanita itu di berada di pundaknya. Apalagi bau wangi yang tercium dari rambut panjang yang mengenai wajahnya karena siang itu udara berhembus cukup kencang. Walau tidak bisa menenangkan mereka. Tapi dilihat, banyak anak-anak bermain layangan. Rasa sejuk menyelimuti tubuh mereka. Hangat karena Usman yang berinisiatif untuk memeluk wanita di sebelahnya. Perlahan ia sentuh pinggang Farisha dan semakin mendekatkan tubuh mereka.     

"Iya, begini saja, Usman ... kamu mau panggil aku apa, terserah kamu saja, Man. Tapi aku tetap suka kamu panggil aku tante, hehehehe," kekeh Farisha. Sekuat hati ia mencoba untuk menghibur diri yang sedang pilu. Tapi ia hanya bisa terkekeh bodoh, tanpa bisa menghilangkan kekhawatirannya. Maka ia penasaran, bagaimana kabar wanita yang telah melahirkannya tiga puluh tahun lalu. Wanita yang merawat seorang diri tanpa sosok lelaki yang membantu. Untungnya masih ada pembantu rumah tangga yang sering menemaninya selama ini.     

"Baiklah ... di sini anginnya terlalu kenceng. Apa kalau di pantai, selalu seperti ini, yah? Oh, ini sudah siang juga, harusnya kan kalau di pantai panas. Sekarang malah dingin." Usman menghirup aroma wangi yang tercium dari tubuh Farisha. Ia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk dekat-dekat seperti saat ini.     

"Hooh ... tapi ada kamu, jadi anget. Emm ... aku lapar, Man. Enaknya kita makan apa, yah? Seertinya kali ini kita tunda ke air terjunnya, yah? Soalnya perasan aku tidak enak. Kita ke air terjun besok saja, yah? Cari makanan saja, yuk!" Farisha membalas memeluk Usman yang lebih pendek darinya. Ia pegangi tangan lelaki yang telah sah menjadi suaminya.     

Angin berhembus lebih kencang dari hari kemarin. Mereka juga takut akan tertimpa pohon besar di samping. Karena di sekeliling mereka banyak pohon besar yang terbawa angin. Daun-daun kelapa melambai-lambai, daun-daun ketapang dan daun waru di dekat mereka mulai berhamburan setelah terlepas dari ranting karena sudah menguning. Keduanya berdiri dari atas batu. Rasa laparnya menyeruak namun saat mereka akan pergi pulang, ada seorang pemuda yang membawa banyak ikan.     

"Kayaknya makan ikan, enak yah? Orang itu mau menjual ikannya pada kita atau tidak, yah? Kalau mau, kita beli saja ikannya. Lumayan kalau bisa untuk dibikin ikan bakar atau ikan goreng, hehehe. Kamu bisa bakar ikan, kan?" tanya Farisha, tersenyum dan menatap ke arah Usman.     

"Enggak bisa, Tante ... maaf," balas Usman menyesal. "Aku belum pernah bikin ayam bakar. Tapi sering lihat orang bakar-bakar ikan. Mungkin akan sama dengan bumbu ayam atau gimana." Usman berjalan mengikuti langkah sang istri. Ia dan Farisha kini tidak sungkan untuk saling berpegangan tangan. Walau perasaan Usman masih deg-degan karena berjajar dengan wanita paling cantik sedunia.     

"Oh, ya sudahlah ... kita bisa bakar sama-sama orang atau kita bisa mengajak orang untuk adakan acara bakar-bakar nanti malam. Kamu setuju kan, Sayang?" panggil Farisha kepada Usman. Ia memanggil dengan embel-embel sayang, memang ia sudah terlanjur sayang pada lelaki di sampingnya.     

Ucapan sayang itu membuat Usman tersipu malu. Walau bukan yang pertama kali, tetap saja itu diucapkan tanpa ada orang lain di sekitar mereka. Hanya ada dua orang itu saja saat ini. Sementara pemuda yang membawa ikan dimaksud, dalam posisi jarak yang jauh. Mereka sedang di atas bukit, sementara lelaki itu sedang di pinggir pantai. Setelah tahu jalan, mereka pun menuruni bukit yang tidak terlalu tinggi itu. Tapi cukup untuk melihat ke sekeliling pantai dan beberapa pegunungan atau perbukitan.     

"Ayo, Sayang ... kenapa kamu masih bengong saja? Harusnya kamu senang karena aku panggil sayang, hemm? Kalau begitu, aku panggil kamu 'Sayang' saja ke depannya, yah? Apa aku panggil 'Beb' atau aku panggil apa, hemm? Kayaknya kita makin mesra kalau begini. Kamu baiknya kalau seperti ini terus, Man. Jangan pernah berubah padaku, yah! Ayo kita turun ke sana! Kita ke sana, ke orang yang bawa ikan banyak itu!" ujar Farisha yang mulai berjalan cepat bersama dengan Usman.     

Saling bergandengan tangan saat mereka berjalan melalui jalan setapak. Bebatuan yang mereka lewati cukup licin dan ada lumutnya. Membuat mereka harus lebih hati-hati. Dan itu yang terjadi, karena kurang hati-hati, Usman sampai terjatuh dan membawa Farisha yang juga terjerembab.     

"Ahhh! Aduhh, bokongku sakit, Usman! Tolong aku, ohhhh ..." lenguh Farisha memegangi pantatnya yang sakit karena mengenai bebatuan. "Aduhh ... ini kenapa jalannya licin banget, sih?" protesnya dengan kesal.     

Usman juga kaget karena ia tiba-tiba kehilangan kendali dan sekarang pun ia susah untuk berdiri. "Ya, maafkan aku, Tante ... sekarang kita berdiri lagi, yah? Mana yang sakit? Mau aku pijit yang sakit? Eh, anu–" ucapnya terhenti karena ia baru ngeh kalau Farisha berkata bokongnya yang sakit. Masa ia harus memijatnya? Maka hanya akan membuat dirinya menjadi resah. Tapi ucapannya sudah keluar dari mulutnya dan tidak bisa ditarik kembali.     

"Iya, Man. Bokong aku sakit. Nanti kamu pijat juga, yah! Liatin juga, ada memar atau tidak. Soalnya aku jarang ke alam terbuka. Jadi nggak tahu kalau terjatuh karena terpeleset itu bikin bokong semokku jadi sakit, hehehe," kekeh Farisha, bermaksud menggoda Usman. Karena ia tahu, lelaki itu akan suka dengan hal-hal seperti itu.     

Meskipun suka, Usman masih tetap tidak ingin memanfaatkan kesempatan. Ia hanya ingin tidak terjadi apapun pada Farisha. Ia bangkit dari duduknya lalu membantu sang istri untuk berdiri. Tentu Farisha bisa melihat ada sesuatu yang berdiri di balik celana Usman. Lantas membuat Farisha tersenyum dan melirik ke arah itu dengan berjongkok.     

"Lihat itu, Man. Anu, burung kamu sudah mau terbang, tuh, hehehe," kekeh Farisha menggoda. "Sudahlah ... kalau mau masuk ke sarang, kita pulang secepatnya saja, yuk!" anaknya, menarik sang suami.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.