Tante Seksi Itu Istriku

Bantuan Dari Kasmiyah



Bantuan Dari Kasmiyah

"Biar saya saja yang bereskan ini semua. Non Farisha sama Mas Usman biar saja lanjutkan yang lainnya. Sebenarnya saya juga ingin bertanya, jam berapa saya bisa datang ke sini? Dan masakan apa yang bisa kumasak untuk menunya? Terus terang saya belum tahu selera kalian berdua."     

"Kalau begitu, Bu Kasmiyah datangnya jam sepuluh saja. Atau bisa jam berapa, yang penting bisa meluangkan waktu sebentar. Yah, untuk memasak juga kan bisa mengandalkan suami. Walau rasanya biasa saja, yang penting bisa dimakan, hehe. Maafkan aku, Suamiku Sayang." Farisha tersenyum melihat ke arah Usman. Tidak tahu apa ekspresi wajah sang suami. Karena Usman sudah berlalu pergi.     

Farisha pada akhirnya membantu Kasmiyah untuk melakukan pembersihan peralatan makan. Sementara Usman belum berani berkata apapun dengan Farisha lagi. Rasanya sangat malu ketika mengingat kejadian tadi siang sampai sore. Tapi justru dengan mengingat itu, rasanya sangat bahagia.     

'Yah, hidup ini memang harus dijalani dengan baik. Jangan karena hal yang tidak perlu, menjadi hal yang tidak pantas. Tapi apakah aku masih memiliki muka untuk berhadapan dengan Farisha? Ya Tuhan, tolonglah aku yang tidak tahu harus bagaimana." Pemuda dua puluh tahun itu, lantas memutuskan untuk kembali ke kamar.     

Saat berada di kamar, ia melihat ke arah sprei yang terdapat noda darah. Sudah dipastikan itu adalah noda darah yang keluar dari kemaluan sang istri. Karena sudah seperti itu, tidak bisa kembali seperti dulu. Lagipula itu mungkin saja berlanjut lagi. Ia berharap kalau di lain kesempatan, akan ada lagi. Itu adalah hal yang paling nyata di dunia. Entah ia harus bangga diri karena sudah menjadi seorang pria dewasa yang sah, atau ia merasa minder dengan statusnya. Dirinya hanya seorang pemuda yang tidak punya apapun di kota. Dinikahi oleh wanita paling cantik sedunia dan bahkan sudah tidur dan menjalankan pernikahan secara hampir sempurna.     

"Malam ini apakah aku bisa tidur nyenyak? Hari ini aku dan dia sudah melakukan itu." Usman melihat noda darah dan mendekatinya. Kehidupannya akan dimulai mulai saat ini. Tidak akan ada yang bisa membuat dirinya baik atau buruk. Itu tergantung pada diri sendiri dalam menyikapi.     

Hidup harus tetap dijalani sebagai mana mestinya. Meskipun dalam hidup ini akan ada jalan terjal yang harus dilewati. Jalan yang panjang nan berliku, kan ia lalui. Entah bersama dengan sang istri atau seorang diri. Kadang pikiran dan tenaga juga lelah. Langkah kaki semakin lama semakin dekat dengan jendela. Semakin banyak nyamuk yang muncul di kamar itu. Niatnya ia akan memasang kelambu pada siang hari. Namun ini sudah terlanjur malam. Ia memperhatikan juga, spreinya sudah dipenuhi dengan peluh keringat dan darah keperawanan Farisha. Tempat tidur yang sebagai saksi hubungkan pertama mereka. Jelas sebagai seorang yang pertama, masih terlalu kaku dan belum bisa dikatakan berhasil.     

Setelah membereskan semuanya, Farisha dan Kasmiyah melanjutkan dengan mengobrol. Hari ini mereka terlihat akrab karena sesama wanita. Bukan hanya itu saja, orang tua Farisha juga teman baik Kasmiyah. Kasmiyah sering dibantu oleh Azhari beberapa kali ketika dulu memiliki banyak masalah.     

"Kalau begitu, saya sepertinya harus pulang dulu. Besok saya akan datang tepat waktu kalau begitu." Kasmiyah berpamitan karena sudah tidak ada pembicaraan lainnya. Karena semua telah dikatakan oleh Farisha."     

"Iya sudah, terima kasih, Bu Kasmi, hari ini sudah membantu kami. Dan ini ada sedikit rezeki, tolong diterima." Meskipun ibunya sudah pasti memberi uang kepada Kasmiyah, menurutnya, ia harus memberi juga. Farisha ingin sekali membantu kehidupan wanita paruh baya. Apalagi ia tahu kalau hidup seperti Kasmiyah, tidak mudah.     

"Eng-enggak usah, Non. Lagian kan saya sudah dikasih sama ibunya Non Farisha. Jadi sudah tidak perlu lagi. Nggak usah, nggak perlu Non. Terima kasih," tolak Kasmiyah. Ia tidak ingin merepotkan lagi. Baginya uang yang ditransfer oleh Azhari setiap bulan, sudah sangat membantunya dan keluarga.     

Walau uang itu tidak terlalu banyak, cukup untuk menghidupi anak-anaknya. Jadi tidak terlalu mengandalkan pekerjaannya sebagai pembuat tikar. Apalagi di zaman sekarang, sudah tidak terlalu laku lagi, tikar di pasaran. Kebanyakan orang-orang sudah memakai tikar plastik atau yang lainya. Jarang yang memesan tikar dari daun pandan. Untuk itu, ia dan keluarganya sangat mengandalkan uang pemberian dari Azhari. Walau mereka tetap bekerja yang lain, sehari-harinya.     

"Sudah, diterima saja, Bu. Ini aku juga sudah dibantu-bantu. Jadi nggak ada salahnya jika aku memberikan ini, kan? Iya, mohon untuk menerimanya, Bu. Kalau nggak mau terima, maka saya juga tidak bisa biarkan Ibu untuk memasak di sini. Nggak boleh lagi datang ke sini untuk membantu. Kan Ibu Kasmiyah juga kerja. Jadi harus dibayar, kan?"     

"Iya deh, Non. Kalau Non Farisha memaksa. Ya saya akan terima, yah. Kalau begitu, ini aku terima." Kasmiyah menerima uang pemberian dari Farisha dan mengucap, "Terima kasih banyak. Kalau begitu, saya akan datang pagi, besok."     

"Nah gitu, dong. Kalau gini kan sama-sama enak. Ibu sudah bekerja di sini. Saya juga senang karena ada yang membantuku. Karena tidak mungkin, kan, aku makan, makanan dari suamiku sendiri. Kalau perlu, aku juga bisa minta diajarin memasak, kan?"     

Wanita paruh baya itu mengangguk. Memang seharusnya sebagai seorang wanita, bisa memasak agar bisa melayani suami. "Baiklah ... saya akan datang besok untuk mengajari Non Farisha. Tenang saja, yah. Saya harus pulang hari ini dan selamat malam."     

Farisha mengantar Kasmiyah ke depan. Mereka berjalan bersebelahan sampai wanita paruh baya itu melambaikan tangan dan menyalakak senternya. Ia berjalan melalui jalan setapak. Setelah yakin Kasmiyah jauh, Farisha menutup pintunya. Ia duduk di sofa yang pas kalau ingin menonton televisi. Dari kemarin ponsenya tidak diaktifkan karena perintah dari ibunya. Jadi sampai sekarang pun ia belum menghidupkan data seluler. Hal itu ia juga lakukan untuk menghindar dari Vania.     

"Vania ... apa kamu akan marah padaku? Semoga saja tidak, yah. Mungkin aku yang salah karena tidak izin padamu kalau aku ke sini untuk bulan madu. Dan aku akan mencari solusi agar kamu tidak marah pada Usman. Kamu tidak boleh tahu kalau Usman yang sudah membuatku menjadi seorang istri secara utuh. Kuharap kau juga akan menemukan lelaki lainnya. Kita bisa saling berteman di masa yang akan datang."     

Tindakan salahnya terhadap hubungan sesama jenis, membuat dirinya tidak bisa lepas. Walau ia juga seorang wanita yang menyukai lawan jenis, ia juga masih menyukai sesama jenis. Tidak bisa dipungkiri, selama ini, hanya ada Vania yang bercinta dengannya. Walau kadang ada juga wanita lain yang turut serta. Tapi mereka harus bersama dalam hubungan percintaan sesama jenis itu.     

Farisha mematung, membayangkan bagaimana nantinya. Tidak tahu akan jadi seperti apa kedepannya. Yang pasti mereka akan mengalami hal yang berbeda sama sekali. Mereka akan memiliki masa depan dan melahirkan anak dari pasangan masing-masing. Itulah tekad Farisha untuk Vania di masa depan.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.