Tante Seksi Itu Istriku

Naik Ke Atas Bukit



Naik Ke Atas Bukit

Matahari semakin terlihat meninggi. Membuat bumi semakin panas. Apalagi mereka berjalan di atas batu yang licin. Banyak burung terbang dan berbagai tanaman liar yang tumbuh di bebatuan. Daun-daun melambai, seakan memanggil mereka untuk datang. Jalan setapak yang dipenuhi dengan berbagai tanaman, dilewati oleh Farisha dan Usman.     

"Tante ... apa kita nggak akan tersesat? Kita sekarang sudah ada di mana?" Usman tidak yakin kalau mengingat jalan. Tapi mereka sudah jauh dari rumah yang ditempati. "Apa kita kembali saja ke rumah? Besok kita pergi lagi sama anaknya bu Kasmiyah. Mungkin dia akan memandu kita agar tidak tersesat," ujar Usman, memberi saran.     

"Lah, tanggung ... kita di sini kan lagi bulan madu. Seharusnya kita senang-senang, dong! Nggak perlu dipikirkan kalau kita tersesat! Lihatlah ... kita sudah sampai di tebing yang tinggi. Apa kamu masih mau mencari rumah yang kita tinggali? Kita bisa naik ke ata sana untuk melihat, di mana letak rumah itu. Ayo, kita naik ke atas!" ajak Farisha.     

Tebing itu memiliki jalan memutar, Farisha menarik tangan Usman untuk mengitari tebing itu. Jalan terjal yang cukup curam, membuat mereka harus berhati-hati saat berjalan. Usman mengikuti langkah Farisha yang terlihat pinggulnya berlenggak-lenggok. Membuat pikiran Usman menjadi kalut.     

"Ini jalannya lebih sulit dari yang kita duga. Bantu aku naik, Suamiku! Ayo angkat aku!" perintah Farisha kepada Usman. Karena ia harus melewati tempat yang lebih tinggi untuk mencapai ke puncak bukit..     

Sebenarnya Usman juga merasa tidak enak dari tadi. Apalagi dirinya harus mengangkat badan Farisha untuk naik ke atas. Sekarang ia sudah mengangkat istrinya dengan kedua tangannya. Ia terpaksa harus menyentuh pantat bahenol itu.     

"Ayo angkat lagi, Usman! Bukankah kamu itu lelaki yang kuat? Harusnya bisa lebih tinggi lagi. Ini sedikit lagi aku sampai ke atas!" seru Farisha. Tidak ingin terlalu memberi beban berat, ia meraih batang pohon yang berada di tebing itu.     

Akhirnya setelah berusaha dengan lebih keras, mereka sudah sampai di atas. Setelah Farisha mencapai ke atas, ia melihat jalan yang lain dan tidak terlalu jauh. Hal itu membuat Usman berdecak kecil. Bisa-bisanya lelaki itu harus mengangkat wanita yang sudah menjadi istri pura-puranya itu.     

"Hei, kenapa malah cemberut gitu? Yang penting kan kita sudah sampai di sini. Jadi kamu harusnya merasa beruntung karena sudah menemukan jalan yang lebih mudah. Lagian nggak apa-apa kalau berkorban sedikit. Nah, lihatlah ... di sini pemandangannya sangat bagus. Apakah kamu menyesal telah sampai di sini? Kamu menyesal karena kita sudah mencapai tujuan kita, hemm?"     

"Iya, Tante ... aku tidak apa-apa, kok. Ya sudah kalau begitu, aku tidak akan mengeluh." Usman mendongakkan kepalanya dan melihat pemandangan di sekitar cukup indah. Tidak sia-sia dirinya akan sampai di tempat yang dikelilingi lautan dan pegunungan di atas bukit yang cukup tinggi.     

Jauh mata memandang, terlihat luasnya lautan biru. Pohon-pohon yang sangat kecil terlihat di mata kepala sendiri. Tidak ada yang menyangkal, keindahan itu memang membuat mereka segan. Keduanya menatap ke lautan luas. Dimana mereka bisa memanjakan matanya.     

"Lihat! Di sana ada burung-burung yang kita lihat tadi, kan? Sekarang terlihat jelas, kita bisa melihat dengan lebih mudah. Apalagi ini adalah pemandangan yang sangat indah. Huahhh!" teriak Farisha, merentangkan kedua tangannya ke kanan dan ke kiri. Merasakan semilir angin menerpa tubuhnya.     

Pakaian Farisha berkibar karena angin yang cukup kencang. Usman bisa melihat kebahagiaan yang terpancar dari auranya. Tentu wanita itu akan merasa tenang dan senang saat berada di posisi seperti itu. Tidak jauh berbeda dengan Usman yang tidak pernah liburan ke pantai atau ke bukit sekaligus. Sekarang ia sudah merasa liburan yang sebenarnya. Lelaki itu pun mengikuti apa yang dilakukan oleh sang istri. Menghirup udara yang berhembus dengan sepoi-sepoi.     

"Ahhh ... biarkan aku merasakan ini semua. Rasakan semilir angin merasuk ke dalam dirimu, Usman. Membelai dan memelukmu dengan kehangatan serta kesejukan bersamaan. Hari ini adalah salah satu hari yang membuatku bahagia," tutur Farisha perlahan. Ia melebarkan tangannya ke samping kanan dan samping kiri.     

"Iya, kalau begitu aku juga akan mengikuti kamu, Tante," pungkas Usman. Ia membentangkan kedua tangannya ke kanan dan ke kiri. Ia mulai melakukan hal yang membuat dirinya rileks.     

Beberapa menit mereka merentangkan tangannya di puncak bukit itu. Udara semakin kencang dan terdengar suara-suara seperti akan terjadi hujan. Pohon-pohon kelapa melambai-lambai bagaikan mengajak kedua manusia yang berdiri di sana untuk mendekat.     

Selain lautan dan pantai, Farisha dan Usman melihat rumah yang mereka tempati. Terlihat juga anak-anak yang sedang berlarian ke sana ke mari. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena mereka sudah terbiasa bermain di pantai bahkan berenang di laut sampai kedalaman dua meter.     

"Jadi anak-anak terus, mungkin akan membuat kita senang, yah? Dulu saat aku masih anak-anak, aku berharap agar cepat dewasa. Kini usiaku bahkan sudah lebih dari dewasa. Dan aku menyadari, hidup sebagai orang dewasa juga tidak mudah. Harus merasakan pahit dalam hidup. Dan saat sudah seperti ini, rasanya aku ingin kembali menjadi anak-anak. Tapi menjadi anak-anak pun tidak menjamin apapun. Hidupku tetap seperti ini. Hari ini, pikiranku terbuka dengan benar."     

Usman mendengar ucapan dari Farisha. Memang yang dialami wanita itu, dialami juga oleh pemuda itu. Bisa dikatakan, mereka memiliki kesulitannya sendiri. Setelah melihat ke arah pantai, mereka saling menatap satu sama lain.     

"Kita duduk saja di batu ini, yah! Kayaknya tempat ini sudah biasa didatangi orang-orang. Rasanya lelah banget setelah jalan ke sini. Kamu pijitin aku, dong!" pinta Farisha yang duduk di atas batu.     

"Iya sudah, Tante. Tante duduk saja dengan tenang di sini. Biarkan saja aku akan pijitin." Usman mulai dengan menggerakkan tangannya ke punggung wanita itu. Ia mengambil rambut dan memindahkannya ke depan. Ia mulai memijat dari sekitar leher dan pundak.     

"Uhh, enak banget pijatan kamu, Man. Ohh, terusin yang lebih kenceng sedikit, dong!" Farisha merasa pijatan Usman membuat dirinyalah lebih rileks. Rasanya nyaman walau kadang ia merasa geli karena memijat di bagian leher. "Ughhh ... nikmatnya, Sayang." Bahkan ia mengerang kenikmatan ketika ia dipijat punggungnya.     

Usman terus memijat Farisha sesuai yang dipinta. Ia memijat ke bagian kepala dan rambutnya terasa halus dan tebal. Aroma wangi rambut dan parfum yang bercampur dengan keringat, membuat Usman terus mencium aroma badan Farisha, sang istri pura-pura. Usman tidak pernah menyangka kalau Farisha akan menimbulkan suara yang seperti orang sedang bercinta. Tapi lelaki itu sebisa mungkin menahan gejolaknya.     

"Man, pijitan kamu ke depan juga, dong! Kan kalau sampai di depan, akunya enak, kamu juga dapat untuk juga, kan?" Farisha ingin menggoda keteguhan hati Usman. Walaupun ia tidak perduli hasilnya. Kalau lelaki itu tergoda, ia akan memanfaatkannya. Jika pun tidak, ia tetap senang karena memiliki pendirian yang teguh.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.