Tante Seksi Itu Istriku

Pemetik Kelapa



Pemetik Kelapa

Anak-anak itu terlihat senang ketika kelapa-kelapa sudah turun ke pasir putih di dekat pantai. Mereka menunggu sampai orang yang dimintai untuk memetik buah kelapa itu selesai. Dengan sebilah parang, lelaki itu menjatuhkan satu tandan kelapa yang jumlahnya delapan buah. Setelah itu, ia memasukan kembali parangnya ke dalam sarung parangnya.     

"Horee! Ayo ambil kelapa mudanya! Siapa cepat, dia dapat!" teriak anak-anak itu dengan riang. Mereka pun berlari dan berebutan kelapa muda yang sudah terjatuh semua. Karena tahu pemetik kelapanya sudah akan turun.     

"Huhh ... dasar anak-anak." Ahmad, pria paruh baya yang telah memetik buah kepapa pun turun dari pohon setinggi dua puluh meter itu. Ia mendekati merka yang sudah memegang masing-masing satu buah kelapa. "Mana nih, yang mau dikupas duluan!" Ia mengeluarkan parangnya kembali, bersiap untuk mengupas kelapa.     

"Itu saja, Pak. Kita akan membawa dua kelapa muda untuk dibawa ke orang yang di batu di pinggir pantai! Si masnya di sana habis tenggelam dan diselamatkan tante-tante. Jadi kami akan membawakan dua kelapa ke sana." Seorang anak lelaki menunjuk ke arah Usman dan Farisha berada.     

Lelaki paruh baya itu melihat seorang wanita dan seorang lelaki sedang duduk. Jarak mereka hanya lima puluh meter saja. Tidak terlalu jauh dan segera pria itu membawa tiga kelapa ke arah Farisha dan Usman yang sedang duduk-duduk di batu besar.     

"Hei, sepertinya kalian bukan orang sini? Apakah kalian orang dari kota?" tanya Ahmad pada Usman dan Farisha yang tengah berjemur. Ia duduk di dekat mereka dan menaruh kelapa di depannya.     

"Iya, Pak. Kami sedang liburan di sini. Ini kami tadi habis main-main sama anak-anak," balas Farisha sopan. "Saya Farisha dan ini suami saya Usman. Maafkan kami yang menggangu Bapak. Anak-anak itu malah meminta anda untuk memetik kelapa."     

"Iya nggak apa-apa, Mbak. Ini lagian kelapa ini tidak ada di yang akan memarahinya. Karena tanah di sini sudah ditinggal oleh yang punya. Nggak apa-apa kalau dipetik. Oh iya, namaku Ahmad. Biasa anak-anak di sini suka main-main. Mohon maaf kalau mereka kadang tidak sopan. Tapi mereka anak-anak baik. Kalau begitu, mari saya kupaskan kelapa muda untuk kalian."     

"Terima kasih banyak, Pak. Kalau begini jadi enak, hehehe," kekeh Farisha. Ia baru mengingat ponselnya yang ia tinggalkan di pasir. "Eh, kok lupa kalau tadi melempar hape, yah? Anak-anak, ada yang melihat hapeku, tidak?" tanyanya pada anak-anak. Ia melihat satu per satu.     

"Tidak masalah ..." balas Ahmad sambil mengupas kelapanya. Ia melihat ke arah Farisha dan Usman sejenak. Dilihat dari wajah keduanya, memang tidak terlihat serasi karena yang satunya cantik dan seksi. Sedangkan yang satunya lelaki yang terlihat biasa-biasa saja.     

"Eh, hape yang gede itu, yah? Kalau nggak salah, tadi kan dipegang sama si Sita. Sita, di mana kamu simpan hapenya? Sama tasnya juga, kamu kan yang tadi pegang?" tanya salah satu anak lelaki.     

Anak perempuan yang bernama Sita langsung menyahut, "Oh, itu ada di tempat yang aman, kok. Kalau begitu, aku akan mengambilnya, deh." Perempuan itu pun pergi tapi tetap membawa buah kelapanya. Karena tidak ingin kelapanya diganti dengan yang lain."     

Setelah keergian Sita, anak-anak itu terdiam sambil memperhatikan pria paruh baya itu memengupas satu persatu kelapa muda. Sekarang matahari lebih hangat dan pakaian basah Farisha dan Usman membuat mereka tidak merasa hangat. Setelah kelapa sudah satu persatu dikupas, mereka segera menikmatinya.     

"Oh iya, apa kalian yang tinggal di rumah itu? Sudah lima tahun rumah itu hanya diurus oleh bu Kasmiyah. Nggak tahu dia menyewakan tempat itu. Sebelumnya tidak ada orang yang menginap di rumah itu. Tapi seminggu yang lalu, ada truk yang membawa barang-barang. Apakah itu milik kalian?" tanya Ahmad, melirik ke arah Farisha sejenak.     

Rambut panjang Farisha masih basah. Apalagi pakaiannya yang masih mencetak bentuk badannya. Membuat Ahmad selalu menghindari tatapannya kepada Farisha. Ia lebih banyak menunduk dan kadang melihat Usman. Sementara Usman juga sudah menyangka akan seperti itu. Dirinya juga merasa tidak suka kalau ada orang lain melihat Farisha. Untungnya lelaki paruh baya itu mampu menjaga pandangannya.     

"Itu pasti ibuku yang menyuruh orang untuk membereskannya. Yah, aku dan suamiku baru saja menikah beberapa hari yang lalu. Jadi ibuku yang menyiapkan tempat untuk kami liburan," pungkas Farisha.     

"Ooh ... jadi kalian pengantin baru, toh? Pantas saja." Ahmad melihat sejenak ke arah pasangan unik itu. Yang satunya seorang wanita yang terlihat lebih dewasa dan cantik. Sementara ia melihat yang lelaki, lebih muda dengan tampang biasa saja juga lebih pendek.     

"Iya, Pak, hehehe," kekeh Usman. Tangannya kemudian ia letakan di tangan sang istri agar meyakinkan orang itu kalau mereka adalah pasangan yang romantis. Ia tidak ingin orang lain menyangka kalau dirinya adalah seorang pembantu. Walau sebenarnya ia juga bawahan Farisha. "Doakan saja, semoga segera dikasih momongan, hehehe," lanjutnya.     

Ahmad tersenyum, Farisha juga senang mendengar perkataan sang suami. Terkadang mereka harus seperti itu karena sebagai bentuk profesionalisme. Entah itu hanya sebuah bentuk profesionalisme dalam kerjasama atau tidak, mereka sendiri yang merasakan. Keduanya saling tatap dan tersenyum.     

"Wah, kalau begitu, saya ucapkan selamat. Emm ... ibunya Mbak Farisha, sepertinya mengenal baik Kasmiyah?" tebak Ahmad. Entah siapa orang yang dimaksud itu. Tapi ia hanya mengingatkan kalau wanita paruh baya yang menjadi tetatanganya itu tidak kenal orang asing karena selalu di desa. Kecuali kalau orang yang datang beberapa tahun lalu. "Oh, jangan-jangan ... Mbak ini anaknya bu Azhari?"     

"Iya, terima kasih sebelumnya. Dan iya benar, ibuku bernama Azhari. Pak Ahmad juga mengenalnya?" Farisha sudah tahu betul, orang tuanya memang baik dari dulu. Entah apa yang dilakukan wanita itu, biasanya membantu orang yang kesulitan. Tidak bisa dipungkiri kalau nama itu sudah bukan lagi nama yang asing. Walau sudah lama tidak datang ke tempat itu.     

"Kalau begini, maafkan saya ... ini juga pohon kelapa di sini adalah milik Bu Azhari. Tapi tidak apalah ... saya sudah memetik kelapa, sering juga. Daripada nggak dipetik, mubazir, kan?" Tidak pernah ia duga kalau Farisha anak pemilik tempat itu. Tapi ia juga bekerja dan bergantung pada tempat itu.     

"Iya nggak apa-apa, lah. Kalau masih mau petik kelapa atau apa. Hari ini melihat pantai yang indah ini saja sudah cukup membuat kami senang. Anak-anak di sini juga baik-baik."     

Anak perempuan yang bernama Sita telah kembali membawa tas milik Farisha. Tas selempang yang dibawa Farisha berisi ponsel dan peralatan make-up. Serta ada beberapa yang dan ia sengaja tidak membawa surat-surat penting seperti KTP dan lainya karena takut hilang di tempat itu.     

"Tante, ini hapenya sudah aku bawa. Di tas ini, bukan?" tanya Sita, menyerahkan tas berwarna biru muda dan kuning itu pada wanita tiga puluh tahun itu.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.