Tante Seksi Itu Istriku

Cerita Dari Sang Sopir



Cerita Dari Sang Sopir

Farisha menyayangkan sikap Usman kepadanya. Tapi memang ia juga belum yakin. Wanita itu dalam keadaan bingung, harus bagaimana. Untuk hari ini, mereka hanya bisa senang-senang. Tidak usah memikirkan hal-hal yang memberatkan. Biarkan waktu yang akan menjawab dan segera adanya solusi untuk semua permasalahan yang ada.     

"Ya sudah, Usman ... kalau begitu, tidak apalah ... ini juga kita bisa pikiran saja sambil jalan. Kamu jangan tegang seperti itu, dong! Aku tidak akan memakanmu hari ini, hehehee." Walau dirinya sendiri yang juga tegang. Tapi tidak bisa dipungkiri, keduanya sama-sama tidak bisa mengelak. Ia berharap Lukman segera datang membawakan kopi.     

Lukman selesai menyiapkan kopi untuk Farisha dan Usman. Setelah selesai, ia membawa ke depan. Membawa bersama dengan baki yang sudah tersedia di dapur. Ia melihat Usman dan Farisha yang duduk berjauhan. Membuatnya menggelengkan kepalanya karena penasaran, apa yang terjadi dengan keduanya.     

"Non, Mas. Kalian ini kenapa? Apa ada yang salah? Kenapa jauh-jauhan seperti itu? Harusnya ini hari bahagia kalian, kan?" Sambil meletakkan kopi ke atas meja, Lukman kemudian meneruskan, "Ini minum kopinya dulu! Bisa kita bicarakan apa yang terjadi dengan kalian."     

Walau seorang sopir, Lukman sudah menganggap Farisha sebagai anak sendiri. Ia juga tidak terlalu menjauh atau terlalu formal. Karena bersama Azhari pun ia sudah terbiasa. Tapi untuk panggilan yang harus selalu memakai kata 'non' kepada Farisha dan 'Bu' kepada Azhari.     

"Enggak apa-apa, Pak. Orang hanya duduk saja yang agak jauh. Orang biasa seperti ini. Lagian kalau pengantin baru, tidak harus selalu berdekatan terus, kan? Nanti kalau berdekatan terus hari ini. Terus beberapa tahun kemudian, merasa bosan dan apa yang terjadi. Terlalu mesra itu tidak baik. Terlihat seperti ini saja pun sudah cukup, kan? Iya kan, Usman Suamiku?" ujar Farisha, melirik ke arah Usman.     

Usman menganggukan kepalanya dengan mantap. Lalu ia menyahut dengan berkata, "Iya, bener. Kita memang harus membiasakan diri seperti ini." Usman tidak tahu bagaimana orang baru nikah beneran. Sementara dirinya dan Farisha hanya bohongan. Jadi tidak bisa dihitung sebagai pengantin baru.     

"Eh, iya ... mumpung Pak Lukman masih di sini, coba jelaskan pada kami, apa saja yang ada di sini. Mungkin kalau Pak Lukman mau ceritakan, kami jadi punya referensi, harus ke mana kita berlibur." Untuk mengalihkan pemikirannya, Farisha harus memikirkan hal lain. Seperti mengunjungi tempat-tempat yang indah bersama Usman. Akan ada di mana mereka bisa meninggalkan pekerjaan atau masalah dunia yang tiada habisnya.     

Di usianya yang sudah tiga puluh tahun, Farisha masih saja memiliki pikiran yang kacau. Entah itu pekerjaan yang ia tekuni atau apa yang ia hadapi setiap harinya. Hidup di dunia memang tidak selalu seperti yang diinginkan. Tidak mungkin bisa dibandingkan dengan hidup orang lain yang memiliki keluarga harmonis. Memiliki suami yang baik dan anak-anak yang selalu membuat ceria dan meramaikan suasana. Di usia ke tiga puluh tahun itu, bukan usia yang muda lagi. Itu adalah masa-masa di mana sudah bukan hanya memikirkan cinta-cintaan. Tapi lebih kepada hidup yang lebih dewasa dari sebelumnya.     

Tapi sadar dirinya seperti terjebak sebagai seorang wanita muda yang berusia dua puluh tahunan yang masih belum tahu apa-apa, atau baru saja menikmati masa-masa cinta yang semakin menjadi. Atau persiapan untuk memulai hidup baru bersama sang suami yang baru dinikahinya. Kerutan di wajahnya, menandakan dirinya sudah tidak muda lagi. Masa-masa penuaan yang semakin dekat, dan mungkin itu akan lebih sulit juga untuk mendapatkan keturunan. Kata orang, seperti itu. Dan kini pikiran Farisha terbuka ketika ia menikmati kopi yang disediakan oleh Lukman.     

Lukman melihat Farisha dan Usman bergantian. "Kenapa sepertinya ada yang sedang kalian tutupi? Tapi ya sudahlah ...." Lalu pria paruh baya itu duduk di sofa yang bersebrangan dengan sepasang suami-istri itu. "Tapi kalau kalian ingin berlibur, di sini ada banyak tempat yang menarik untuk dikunjungi. Sebaiknya kalian dengarkan saya bercerita. Semoga tempatnya masih seperti dulu. Soalnya sudah lima tahun tidak ke sini. Dan sepuluh tahun lalu, kami, saya dan bu Azhari baru sampai di tempat ini dan sudah merencanakan untuk tempat kalian berbulan madu karena tempatnya sangat indah."     

"Kalau begitu, jelaskan pada kami, Pak. Soalnya hari ini sudah penasaran dengan tempat-tempat di sini. Ya, paling tidak kita ada gambaran terlebih dahulu, bagaimana kondisi dan bagaimana kita harus ke sana?" tanya Farisha yang sudah tidak sabar untuk segera berlibur. Entah itu ke hutan atau ke laut. Pasti akan seru jika ia bisa lalui bersama sang suami. Mengingat sang suami, ia duduk masih agak jauh. Tapi ia berinisiatif untuk lebih dekat dengan Usman.     

Lukman mengambil nafas sejenak lalu melanjutkan, "Non Farisha dan Mas Usman bisa ke arah belakang itu sudah pasti ke arah pantai. Dan kurasa tidak perlu diberitahu lagi, kan? Dan kalau ke depan, kalian bisa menemui rumah-rumah warga. Tenang saja, mereka kadang baik dan mau menunjukkan jalan ke pasar atau ke kota. Dan seperti kita lihat di perjalanan kemarin, jalannya seperti itu. Tidak terlalu bagus tapi bisa dilalui motor, lah. Walau harus hati-hati karena banyak kerikil berserakan."     

Usman dan Farisha mendengar sambil mengangguk. Menatap pria paruh baya itu dengan serius. Namun Usman tidak terlalu paham dengan penjelasan. Ia lebih suka kalau harus pergi sendiri tanpa harus diberitahu oleh orang lain. Berbeda dengan Farisha yang ingin tahu gambarannya.     

Lukman menjelaskan hal lainnya seperti danau air asin dan air terjun yang tidak jauh dari laut. Walau ini langka karena ada air terjun yang letaknya berada di dekat pantai. Farisha memperhatikan setiap penjelasan dari Lukman. Sementara Usman seperti biasanya, hanya bisa mendengar dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Bukan hal yang mudah untuk mengingat apa yang dikatakan oleh Lukman. Usman hanya menangkap hal-hal yang ada saja. Tanpa ingat detailnya.     

"Dan kalau penjelasan dariku masih belum jelas, bisa mencari orang untuk menemani kalian. Hemm, ini aku sudah bercerita panjang lebar. Dan kopi juga sudah hampir habis. Setelah bu Kasmiyah datang, yang mungkin sebentar lagi, saya akan segera berangkat ke kota kembali."     

"Iya sudah, Pak. Kalau begitu, ini aku kasih sedikit untuk tambahan uang jajan anak Bapak. Jadi jangan ditolak!" kata Farisha, menyerahkan uang yang sudah disiapkan oleh Farisha dari tadi.     

"Waduh ... ini tidak seharusnya, sebenarnya. Tapi kalau untuk anak-anak, ya sudah ... saya tidak bisa menolak, hehehe. Terima kasih, Non. Alhamdulillah ... rezeki anak memang tidak ke mana."     

Kalau soal anak, itu lain ceritanya. Lukman memiliki beberapa anak yang sudah kuliah dan ada yang masih kecil. Membuatnya harus bekerja lebih keras untuk bisa membiayai kehidupan mereka. Ia juga memiliki seorang istri yang mungkin saja meminta uang lebih karena bekerja sampai tidak pulang. Karena biasanya juga Azhari yang memberi uang lebih padanya. Dan ia sudah mendapat uang lebih banyak hari ini.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.