Tante Seksi Itu Istriku

Untuk Besok



Untuk Besok

Selesai mandi, Farisha mencari Usman dengan masih memakai handuk. Ia sudah mencarinya di kamar tapi tidak bertemu. Ia juga mencari ke setiap ruangan rumah. Dan tentu tidak ada juga. Akhirnya kembali ke kamar untuk mengganti pakaiannya.     

"Kenapa Usman nggak ada? Apakah sudah diajak sama pak Lukman? Biarkan sajalah ... palingan lagi ke rumahnya orang itu," kata Farisha, memakai pakaiannya kembali. Ia berganti pakaian kembali hari ini.     

Sebenarnya ia ingin mencuci tapi tidak ada mesin cucinya. Di kamar mandi ada beberapa ember dan bak plastik. Dirinya tidak pernah mencuci tanpa mesin cuci. Tapi ia sudah menaruh pakaiannya ke dalam ember. Usman juga telah mencuci entah kapan dan melihat cucian itu masih di kamar mandi.     

Farisha keluar dari kamarnya dengan mengenakan kaos santai dengan rok selutut. Walau sudah tidak terlalu muda lagi, akan terlihat seperti berumur dua puluh lima tahunan. Saat hendak keluar rumah, mendengar sepeda motor dari luar. Lalu ia menengok ke luar jendela dan terlihat Usman yang sedang membonceng pada sopirnya.     

"Untungnya mereka sudah pulang. Nanti biar orang itu saja yang cuciin bajuku. Kalau dibayar, nggak apa-apalah, yah?" ujarnya lirih. Lalu ia membuka pintu depan, menyambut kedatangan Usman dan Lukman kembali. Tak seberapa lama, motor itu sudah berada di depan rumah itu. Yang membuat Farisha merasa tenang. Hanya saja ia tidak melihat wanita yang akan membantu mereka untuk mengurus dan memasak di rumah. Untuk mencari tahu, wanita itu keluar dari dalam rumah.     

"Itu kemarin, orang yang membersihkan rumah di sini, di mana? Kok nggak kelihatan di belakang? Katanya jaraknya seratus meter dari sini?" tanya Farisha kepada kedua lelaki yang baru sampai.     

Usman dan Lukman turun dari sepeda motor itu. Dilihatnya Farisha lalu Lukman menyahut, "Begini Non. Sebenarnya ibu Kasmiyah lagi memasak di rumahnya. Jadi belum datang ke sini. Sebenarnya tadi mau ke sini tapi kasihan sama anak-anaknya dan suaminya juga belum makan. Jadi kami biarkan saja memasak di rumahnya terlebih dahulu. Nanti setelah selesai memasak pasti akan segera datang ke sini, kok. Non Farisha tidak usah khawatir akan hal itu."     

"Oh, ya sudah kalau begitu. Tapi pagi ini belum ada makanan di sini. Jadinya pak Lukman belum bisa pulang dulu sebelum makan." Farisha ingin seperti Azhari yang memperhatikan setiap bawahannya. Kalau Azhari ikut bersama mereka, juga tidak akan membiarkan bawahannya kelaparan. Apalagi Lukman harus menyetir jauh sampai ke rumah.     

"Nggak apa-apa, Non. Tapi sekarang saya harus pulang ke Jakarta. Tidak bisa menemani Non Farisha sama Mas Usman lagi. Kalau menunggu bu Kasmiyah, takutnya akan lebih lama lagi. Jadi sekarang juga saya harus segera berangkat."     

"Ya sudah kalau begitu, Bapak makan di jalan saja, yah. Sekarang masuk saja dulu. Nanti aku akan ambilkan yang untuk Bapak makan sama buat beli bensin." Farisha berharap di perjalanan nanti kekurangan bensin. Jadi ia harus menjamin sopirnya sampai ke rumah dengan lancar.     

"Eh, aku sudah dibawakan uang sama ibu, Non. Nah, coba saya periksa di dompetku!" Lukman mengambil uang di dompetnya lalu memperlihatkannya pada Farisha. "Nah kan? Ini ia uang yang diberikan untuk beli bensin dan untuk makan dan yang lainnya. Lebih baik uangnya buat belanja di sekitar sini saja. Kalian bisa membawa motor ini."     

"Iya sudah, yang penting masuk dulu deh, Pak. Usman ... ajak pak Lukman untuk masuk. Kamu masakin air dulu untuk bikin kopi. Ya setidaknya ngopi duluan, yah! Soalnya kopinya juga kami bawa. Nggak perlu nunggu lama juga sudah siap."     

"Iya, deh. Kalau ngopi, nggak akan nolak, hehehe. Tapi biarkan saya yang masak airnya. Ambilkan saja kopinya, nanti kita bikin kopi duluan. Sepertinya saya juga akan menjelaskan beberapa spot indah di pantai ini. Jadi tunggu sebentar, yah!" pinta Lukman.     

Farisha mengangguk sementara Usman juga setuju. Ia masuk ke kamar untuk mengambil kopi yang berada di kardus kecil. Farisha duduk dengan santai di sofa di ruang depan. Rumah itu tidak terlalu luas. Hanya ada ruang depan yang digunakan sebagai ruang tamu dan ada televisi yang disediakan. Lalu ada dua ruang tidur yang letaknya di depan di arah kanan dan satunya agak ke belakang di arah kiri. Sementara ada ruang dapur di sebelah kanan. Sementara di paling belakang adalah kamar mandi.     

"Ini Pak, kopinya ada kopi hitam dan kopi susu. Mau bikin yang mana, aku tidak tahu. Tapi kalau Farisha minum teh saja. Walau kadang minum kopi putih saja. Aku minumnya kopi hitam saja," celoteh Usman pada Lukman.     

Lukman menerima kopi yang ada di kantong kresek. Ia merasa senang dan ia bisa puas minum kopi hitamnya. Yang kemarin belum sempat minum kopi karena harus mengantar Farisha dan Usman. Lidahnya pun terasa sangat kecut kalau tidak minum kopi. Untungnya ia punya rokok untuk meminimalisir rasa ingin. Tapi merokok tanpa kopi, rasanya kurang.     

"Ah, tidak apalah ... kalau begitu, tunggu saja di luar. Biar saya yang bikinkan kopi ini. Sekarang kan kalian yang sedang berbulan madu di sini. Yah, walau bukan ke luar negeri atau ke tempat yang terjenal, di sini juga tidak kalah indahnya."     

"Kalau begitu, Pak Lukman bisa ceritakan bagaimana tempat ini? Apa ada tempat yang bagus selain di pantai?" tanya Usman penasaran. Ia ingin mengajak Farisha untuk menemui tempat-tempat yang ia harapkan akan membuat Farisha suka. Membahagiakan Farisha adalah tugasnya sebagai suami. Kalau perlu ia akan buat lebih bahagia selalu dan melupakan niatnya untuk segera memiliki anak.     

"Iya, kita bisa katakan nanti saja, yah! Lagian ini sebentar lagi air panasnya siap. Mas Usman mending depan, deh. Temenin istrinya dan saya sudah katakan sebelumnya untuk tidak menyakitinya. Jadi kuharap bisa bekerja samanya untuk membuatnya bahagia. Dan kuharap kalian segera memiliki anak setelah pulang dari sini."     

"Ini untuk besok saja lah, Pak. Lagian aku belum siap hari ini. Au, ah. Ngomong sama Bapak malah seperti ini. Aku ke depan saja, yah!" pamit Usman.     

Farisha dan Lukman sama saja, membuat Usman bingung. Kalau harus segera punya anak, bukankah harus melibatkan Usman? Ini tidak bisa dipikirkan dalam sesaat. Ia jadi belum bisa memutuskan untuk menyetujuinya atau belum. Ia juga harus memberi penjelasan pada istrinya. Maka ia pun meninggalkan dapur. Ia mencari sang istri yang sedang duduk santai di sofa ruang depan.     

"Eh, kamu duduk sini, Man. Kenapa, kayaknya kamu ngehindar terus dariku? Apa karena aku yang meminta untuk punya anak denganmu? Ya sudah ... aku beri waktu untuk kamu berpikir. Kira-kira, kamu kapan mau menjawabnya?"     

"Eh, maaf Tante. Aku belum bisa berpikir. Tapi untuk besok, aku akan katakan kalau aku mau atau tidak. Maafkan aku, Tante. Aku belum siap untuk ini. Walau sebenarnya–" Usman berhenti berucap.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.