Tante Seksi Itu Istriku

Ajakan Lukman



Ajakan Lukman

Usman tidak menjawab ucapan dari Farisha karena merasa malu. Bagaimana mungkin wanita itu mengatakan secara blak-blakan seperti itu? Dan Usman hanya bisa terdiam dan memilih untuk keluar dari kamar, tidak ingin bertemu dengan sang istri untuk beberapa waktu.     

"Heh, kenapa dia malah keluar? Aduh, apa aku salah berbicara? Ya ampun, Usman ... kenapa jadi seperti ini, sih?" Farisha mendesah, menyayangkan sikap Usman. Tapi ia juga yang mengatakan secara terang-terangan. Jelas tidak tahu apa yang ada di pikiran Usman.     

Sementara Usman yang keluar dari kamar. Ia takut kalau dirinya tidak bisa menahan. Selain itu, dirinya sangat malu karena merasa banyak kekurangannya. Ia bersembunyi di balik tirai yang menutupi kaca di ruang depan.     

"Uhhh ... kenapa tante Farisha ngomong begitu? Nggak mungkin dia beneran ingin hamil dariku, kan? Ya Tuhan, semoga aku bisa menghadapi semua ini. Aku jujur belum siap untuk itu ...." Dengan badan gemetar, ia berharap tidak ketahuan sedang bersembunyi. Ia sesekali melihat ke luar rumah, ada beberapa orang yang lewat dan melihat mobil milik Farisha.     

Di luar, beberapa orang yang lewat, sejenak melihat mobil itu. Sebagian dari mereka ada yang bekerja sebagai nelayan. Mereka tidak lama, hanya sesaat setelah puas, mereka segera pergi. Ada juga anak yang bermain melewati tempat itu dengan membawa mainan dari tempurung kelapa.     

Farisha tidak lagi menuntut Usman karena ia menyangka kalau pemuda itu belum siap. Tapi apapun itu, ia harus bersabar sambil berpikir bagaimana ia harus menyelesaikan semuanya tanpa ada pertengkaran dengan kekasihnya, Vania. Ia memutuskan untuk keluar ingin pergi mandi. Masih terdengar suara gemercik air di dalam kamar mandi. Itu sudah pasti sopir mereka yang bangun lebih pagi darinya.     

"Ahhh ..." hembus nafas Farisha, menikmati udara di pagi hari. Ia berdiri dengan menenangkan diri karena perkataannya berusan. Ia rasa terlalu cepat dan terburu-buru.     

Lukman keluar dari kamar mandi dan melihat Farisha yang sedang bersandar di tembok, dekat kamar mandi. "Eh Non, maafkan aku yang tidak tahu kalau Non Farisha juga akan mandi. Kalau begitu, saya permisi, Non."     

"Iya sudah, Pak. Kalau bisa, panggilkan itu ibu siapa kemarin? Aku lupa namanya, biar beliau ke sini memasak. Aku tidak bisa memasak soalnya." Farisha melewati pria paruh baya itu dan masuk ke dalam kamar mandi.     

Lukman juga tahu kalau nona mudanya tidak bisa memasak. Pernah beberapa kali ia mencicipi masakan wanita itu dan hasilnya pun tidak enak. Walau masih bisa dimakan, tetap tidak pantas kalau orang-orang kaya atau orang lain memakannya. Pria itu menggelengkan kepalanya dan kembali ke dalam kamarnya.     

"Sepertinya memang harus mengandalkan bu Kasmiyah. Hehhh, sepertinya memang lebih sulit dari perkiraan. Mungkin bu Azhari sudah tahu kalau anaknya masih tidak bisa memasak. Dan mungkin akan membutuhkan orang lain. Tapi yang namanya anak, tidak selalu seperti ibunya." Kembali Lukman menggelengkan kepalanya.     

Selesai mengambil ponsel yang ada di kamarnya, ia keluar dan langsung menuju ke pintu keluar. Tanpa diduga, ia melihat seperti ada yang aneh dengan tirai penutup jendela di ruang depan.     

"Heh, kenapa orang-orang ini seperti sedang bermain-main? Mas Usman, kenapa sembunyi di balik tirai? Ayo keluar dan ikut denganku saja!" ajak Lukman. Ia tidak ada pilihan lain, selain mengajak pria itu.     

Walau Usman juga termasuk majikannya sekarang, ia masih biasa saja dan hanya bisa berharap pemuda itu bersikap sopan kepada orang tua. Walau selama ini ia melihat sikap sopan santun dari Usman. Tapi ia belum tahu keseluruhannya. Dengan tahu yang sebenarnya, ia bisa memberikan penjelasan pada Azhari nantinya, akankah Farisha memilih lelaki yang benar atau tidak.     

Usman yang mendengar ajakan Lukman, perlahan melongokan kepalanya. Tidak terlihat sang istri tapi ia tidak yakin akan ditemukan. "Eh, Pak. Nggak ada Farisha, kan?" tanyanya dengan hati-hati. Masih takut kalau wanita itu meminta yang sebenarnya belum siap. Walau tidak rela jika Farisha hamil dengan orang lain. Tapi untuk bisa membuat Farisha sampai hamil adalah sebuah rencana yang tidak sederhana dan membutuhkan sesuatu yang perlu disiapkan sebelumnya.     

"Aneh, kenapa malah takut sama istri sendiri? Tenang saja, Mas, non Farisha sekarang lagi mandi. Jadi tidak akan tahu kalau kita pergi sebenttar. Oh iya, hari ini saya akan menunjukkan di mana rumah bu Kasmiyah. Apakah Masnya mau tahu dan bisa datang ke rumahnya? Karena beliau sekeluarga tidak pakai hape. Mereka tidak bisa membaca juga soalnya."     

"Ya sudah, Pak. Kalau gitu, kita pergi sekarang saja, yah! Jauh atau tidak dari sini? Kalau bisa jalan kaki, kita jalan kaki saja, yah."     

"Nggak perlu jalan kaki, Mas. Kan di depan ada motor. Dan itu bisa kita gunakan walau jalan kaki pun tidak terlalu jauh. Tapi Mas Usman bisa bawa motor, kan? Besok kalau butuh bu Kasmiyah, bisa pakai motor ke sana."     

Keduanya keluar dan telah menutup pintunya. Terlihat sepeda motor yang kemarin lihat di depan rumah. Dan saat ini mereka akan gunakan sebagai kendaraan ke tempat-tempat yang kalau jalan kaki bisa lama. Sekedar membeli barang atau belanjaan. Itu adalah sepeda motor yang sudah disiapkan orang-orang suruhan Azhari yang membawa sepeda motor dan membereskan rumah. Dan rumah itu juga sudah dicat ulang beberapa minggu lalu, sebelum Usman dan Farisha menikah. Karena wanita itu tahu, anaknya tidak akan memikirkan ke mana mereka akan bulan madu. Dan harus mengandalkan sang ibu. Dari dulu pun kalau berlibur selalu bersama Azhari. Atau dengan sang kekasih wanitanya dan tidak pernah sendiri yang memutuskan.     

"Aku nggak bisa naik motor, Pak. Bapak saja yang bawa! Aku yang membonceng saja, yah!" ujar Usman dengan jujur. Jangankan naik motor. Naik sepeda saja seperti tidak pernah sama sekali.     

Usman memang berbeda dari orang lain dan hampir mirip dengan Farisha yang tidak bisa melakukan apa yang biasa dilakukan orang-orang. Bedanya kalau Farisha tidak bisa memasak dan Usman tidak bisa sepeda motoran. Lukman juga tidak menyangka keadaannya seperti itu.     

"Ya sudah ... lain kali belajar saja, yah. Kalau ada waktu, mungkin saya bisa ajarkan. Tapi kalau jalan kaki seratus meter, tidak apalah, yah?"     

"Iya nggak apa-apa, Pak. Orang sudah biasa jualan makanan di bis-bis. Jadi sudah makanan sehari-hari di terminal. Kadang juga jualan di lampu merah yang jauhnya kebangetan. Beda kecamatan saja aku jalan kaki, Pak."     

Lukman naik ke sepeda motor dan menghidupkannya. Ia sudah membawa kunci motor semenjak berada di kota. Tidak sulit bagi Lukman untuk mendapatkan kunci kontak karena sudah direncanakan sebelumnya oleh Azhari. Juga Lukman sendiri yang bersemangat untuk mengantar keduanya.     

"Ayo naik, Mas. Kita tidak bisa lama-lama di sini karena saya harus pulang untuk bekerja lagi, mengantar Bu Azhari lagi untuk menjalankan bisnis. Sebelum siang saya harus kembali."     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.