Tante Seksi Itu Istriku

Malam Bersama



Malam Bersama

Farisha selesai mandi dan keluar hanya memakai handuk untuk menutupi tubuhnya. Ia melihat Usman yang sedang berbicara dengan Lukman, sopir dari Azhari. Lebih tepatnya merupakan sopir dari mendiang orang tua Azhari.     

"Dia umurnya masih dua puluh tahun, Pak. Kan aku dapat brondong, hihihi," kikik Farisha, melontarkan jawaban dari pertanyaan yang sebenarnya bukan untuknya. Tapi ia merasa bangga memiliki seorang suami yang masih brondong.     

"Beneran Masnya masih dua puluh tahun? Wah, ternyata Masnya suka tante-tante?" tanya Lukman, berbisik pada Usman. Ia lalu menambahkan, "Kalau beneran suka dan semoga kalian langgeng sampai menua. Dan kamu harus ingat, jangan sakiti non Farisha. Jangan seperti ayahnya, yang memanfaatkan harta untuk kesenangan sendiri."     

"Iya, Pak. Aku pasti akan menjaganya." Entah mengapa saat mengatakan itu, ada rasa bersalah dalam hati Usman. Bagaimana tidak, dirinya juga tidak mungkin akan hidup lama dengan Farisha. Setelah Farisha menginginkan perceraian, ia akan pergi dari kehidupan sang istri.     

Farisha tidak mendengarkan mereka yang berbicara dengan berbisik. Membuatnya menghampiri dua lelaki berbeda generasi itu. Ia penasaran dengan apa yang dikatakan oleh Usman dan Lukman, sehingga dirinya tidak mendengarnya.     

"Oh iya, Pak. Kalau begitu, aku mau mandi duluan, yah! Karena Farisha sudah selesai mandi, giliranku sekarang," kata Usman, berdiri dari duduknya.     

"Hei, tunggu dulu! Tadi kalian bilang apa? Aku tidak begitu mendengarnya. Jadi tolong untuk katakan saja padaku secara langsung. Jangan kalian sembunyikan apapun dariku, yah!" kecam Farisha.     

"Eh, Non ... enggak ... ini bukan apa-apa, kok," jawab Lukman yang menengok ke arah Farisha. Melihat Farisha yang memakai handuk yang tidak menutupi semua bagian tubuhnya.     

"Jangan menyembunyikan sesuatu padaku, yah! Usman, kamu jangan mandi dulu! Katakan apa yang kalian bicarakan tadi!" perintah Farisha dengan tegas.     

"Eng-enggak, kok. Ini pak Lukman bilang, aku harus menjagamu. Ya sudah, aku akan berusaha untuk menjagamu dengan segenap kemampuanku."     

"Oh ... gitu ... ya sudah, kamu orang baik. Aku percaya kamu akan menjadi orang yang baik." Farisha meninggalkan mereka begitu berkata seperti itu. 'Mungkin aku yang terlalu berharap padamu, Usman. Mengapa aku senang saat kamu mengatakannya? Ah, sudahlah ... sekarang jalanin saja seperti ini. Mungkin esok akan ada solusi terbaik antara kita.'     

"Kenapa aku bicara seperti itu? Padahal aku dan tante Farisha tidak mungkin bersama, kan?" Di dalam kamar mandi, Usman hanya bisa menyesal berkata seperti tadi. Walau ia tahu kalau Farisha menganggap itu hanya perkataan yang tidak semestinya, ia tidak harus berkata seperti tadi. Karena perkataan itu adalah sebuah janji.     

Lukman menggelengkan kepalanya pelan. Saat ini dirinya sedang sendirian. Tidak ada yang menemaninya berbicara. Tidak mungkin dirinya datang ke kamar Farisha untuk menemui wanita itu. Ia hanya duduk sendiri, dengan mata yang sudah tidak mengantuk lagi.     

"Sekarang mereka malah pergi. Seperti biasa, hanya bisa sendirian di tempat yang sepi. Ah, sudahlah ... sekarang saatnya untuk tidur kembali. Sebaiknya jangan ganggu mereka untuk bikin anak, hehehe," kekeh Lukman. Ia lalu meninggalkan ruangan itu, menuju ke kamarnya yang luas.     

Farisha berdiri di depan cermin yang menempel di lemari. Ia melihat wajahnya yang ia rasa sudah tua. Walau ia belum sepenuhnya tua sekali. Mungkin ia akan ditinggalkan Usman cepat atau lambat. Setelah memakai pakaian tebal, ia bercermin. Ia ingin mengatakan pada dirinya sendiri kalau ia harus kuat. Ia lalu duduk di tempat tidur. Nyamuk-nyamuk berdatangan. Walaupun saat di pantai tidak ada nyamuk-nyamuk itu.     

"Kenapa di sini banyak nyamuknya? Padahal tadi di luar tidak ada. Ah, mungkin ini karena angin di luar cukup besar? Atau memang nyamuknya pilih-pilih?"     

Dalam kesendiriannya, wanita itu hanya memikirkan dirinya. Mengingat kembali apa yang dikatakan oleh Vania yang tidak ingin keperawanannya direnggut oleh lekaki. Tentu ia tidak bisa memiliki anak dari Usman. Tentu akan membuat Vania membencinya. Tidak banyak teman yang ia miliki. Sementara Vania adalah penolong baginya di masa lalu. Ia tidak mungkin bisa mengkhianati wanita yang menjadi kekasihnya itu.     

"Kenapa hidupku jadi seperti ini? Mungkin aku tidak bisa melupakan kebaikan Vania. Dia juga yang menjadi tempat untuk memuaskan keinginanku selama ini. Dan tidak mungkin aku mengkhianati dirinya. Dilain sisi, aku harus berbuat apa? Aku tidak mau selalu menjadi olok-olokan pria bajingan itu. Aku harus bisa membuat Usman memberiku anak."     

Yang ia lakukan saat ini adalah berpikir cara untuk mengatasi semua masalahnya. Perkataannya yang arogan di waktu lalu, membuatnya terjebak sendiri. Ia bingung harus melakukan apa. Di saat ia tengah memikirkan hal itu, pintu kamar diketuk dari luar. Sudah pasti itu adalah Usman.     

"Masuk saja, Man. Kenapa harus mengetuk pintunya? Aku sudah pakai baju!" Ia tahu pikiran lelaki itu. Pasti karena alasan itu, jadi sungkan mau masuk saja. Ia tersenyum kecut ketika menyadari ia tidak bisa memutuskan yang terbaik untuk dirinya sendiri.     

Tak lama kemudian, Usman membuka pintunya, ia juga hanya memakai handuk untuk menutupi tubuhnya. Melihat sang istri yang sudah berpakaian rapih, duduk di tepi tempat tidur. Yang memakai pakaian sopan dan longgar. Tentu itu dilakukan karena tidak ingin digigit nyamuk-nyamuk nakal.     

'Aku pun tidak rela jika tubuhmu digigit nyamuk-nyamuk nakal itu. Lebih baik aku saja yang digigit, kamu jangan, Tante. Kasihan tubuhmu yang bagus itu. Tapi bagaimana caranya agar ia tidak digigit nyamuk kurang ajar itu?' pikir Usman yang bertanya entah kepada siapa.     

"Kamu, Man? Ternyata di sini ada banyak nyamuknya. Jadi kita harus menghalaunya. Oh iya, kamu bisa pasang kelambu, kan? Kalau bisa, mungkin besok saja kita pasangnya. Ini sudah malam, kita pakai ini dulu!" ungkap Farisha, mengeluarkan krim anti nyamuk. Ia memakainya di wajah dan tangannya. Ia memiliki banyak di tasnya karena berjaga-jaga. Dan memang ada gunanya ia membawa barang itu.     

"Kelambu itu apa, Tante? Oh iya, aku akan mencobanya sekarang kalau bisa! Tapi aku harus pakai baju dulu, yah. Sebentar!" pungkas Usman. Ia membuka lemari dan mengambil pakaiannya. Sebuah celana kolor yang panjang. Ia sempat membelinya di dekat swalayan milik istri pura-puranya.     

"Hemm ... kayaknya nggak bisa, deh. Soalnya kita butuh bambu atau kayu yang panjang. Ya sudah, kamu ganti saja di sini. Eh, kamu mau ke mana? Ganti pakaian di sini saja, lah. Masa sama istri sendiri malu? Kamu juga sudah lihat aku nggak pakai baju. Ayo, aku ingin lihat burung kamu segede apa? Hehehe," kekeh Farisha. Walau itu hanya candaan, kalau Usman memperlihatkannya, ia tidak mengapa. Ia tidak pernah melihat secara langsung tapi ia sering melihatnya di situs dewasa yang sering ia tonton bersama Vania.     

Perkataan Farisha malah membuat Usman malu sendiri. Tidak mungkin baginya untuk memperlihatkan barang kecilnya. Ia malu bukan karena ukurannya tapi ia merasa tidak pantas untuk melakukan itu. Ia mengangguk dan tidak jadi keluar dari kamar.     

"Malam ini kita sudah bersama, Usman. Jadi tidak mungkin aku tidak akan melihat semuanya. Entah itu sengaja atau tidak, suatu saat nanti juga akan tahu."     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.