Tante Seksi Itu Istriku

Kebahagiaan Yang Terlambat



Kebahagiaan Yang Terlambat

"Kamu mandi, gih! Ini badan kamu sudah kecut begini!" celetuk Farisha karena Usman tidak kunjung melirik ke arahnya. Ia harus mengatakan hal lain untuk mengalihkan pembicaraan.     

"Iya sudah, Tante. Mau mandi saja dulu, yah." Ketika ia menengok ke arah Farisha, tentu pemandangan pertamanya adalah seorang wanita cantik dengan pakaian super minim dan jelas terlihat lekuk tubuhnya. Pakaian itu seakan-akan menjerit ketika dipakai oleh Farisha.     

Lama Usman melihat Farisha yang hanya memakai bikini itu. Ia tidak menyadari kalau ia sudah melihatnya tanpa berkedip. Bahkan jantungnya seakan mau copot. Kalau ini adalah mimpi, mungkin ia sudah langsung menyerobot. Tapi ia bisa mengendalikan dirinya. Setelah melihat hampir satu menit, ia kembali melengos. Melihat ke arah lain dengan masih dengan jantung yang lebih cepat berdetak. Nafasnya memburu, membuat dirinya malu sekaligus nafsu.     

"Ayo, kamu mandi duluan, Man. Setelah ini kita makan, yah! Ini aku juga nggak mau pakai ini dulu. Nanti kalau pak Lukman lihat dan minta, kamu pasti nggak akan rela, kan? Kalau kamu yang mau, aku juga mau, lah."     

Dengan buru-buru, Usman keluar dari kamar tanpa membawa handuk terlebih dahulu. Ia berlari menuju ke kamar mandi. Membuat Farisha menggelinjang kepalanya. Setelah sang suami pergi, ia menutup pintu kembali dan kembali melepas bikini itu. Ia mengganti dengan pakaian dalam terlebih dahulu. Kemudian ia memakai rok panjang dan baju dengan lengan panjang.     

"Ternyata menggoda Usman malah menyenangkan begini. Kapan lagi punya suami yang begitu polosnya. Hemm ... andaikan kita nikah beneran, Usman. Ahh, mikir apa aku ini? Apa mungkin kamu mau sama aku yang sudah tua ini?"     

***     

Setelah puas ke pantai, Lukman kembali ke rumah. Ia akan menginap di rumah itu walau ini adalah harinya Farisha dan Usman untuk bulan madu. Ia juga ingin pulang saja setelah melepas lelah di pantai. Walau hanya melihat-lihat saja sambil duduk menikmati sepoi angin.     

"Lebih baik pulang saja daripada mengganggu. Setidaknya sampai di sini, sudah membuatku puas melihat pemandangan pantai. Hemm, apakah aku boleh suatu hari nanti? Hehh, ibu Azhari kan baik, pasti boleh dong, suatu hari nanti ajak istri dan anak-anak ke sini, hehehe."     

Saat sampai di rumah, ia tidak lupa mengetuk pintu. Ia tidak ingin ikut campur kalau ternyata mereka di dalam sudah melakukan aktifitas mencampur aduk. Kalaupun iya, dia harus menunggu mereka selesai. Ia bisa istirahat di mobil sejenak.     

"Masuk saja, Pak. Ngapain ketuk-ketuk pintu lagi? Kami lagi makan di sini! Itu wanita itu sudah masak ternyata. Oh, ini masakannya cukup enak. Eh, ternyata ini rasanya kayak masakan ibuku kalau lagi memasak ikan. Ayo makan bareng, Pak!" sahut Farisha dari dalam. Karena rumahnya kecil, hanya dengan berkata lebih keras sedikit, bisa terdengar sampai luar. Jadi tidak perlu beranjak dari tempat makan.     

Tanpa disuruh dua kali, Lukman langsung masuk ke dalam rumah itu. Hari ini sudah hampir petang dan matahari sesaat lagi akan tenggelam. Pria paruh baya itu berniat pamitan saat ini juga. Ia mendekati Farisha dan Usman yang sedang makan.     

"Begini, Non. Bapak mau pulang sekarang saja, yah! Kalau Non mau pulang, tinggal telpon saya. Kalau butuh ibu Kasmiyah, bisa datangi rumahnya. Karena beliau tidak punya hape. Yang punya tetangganya. Dan ibu Azhari kalau menghubungi orang sini, itu pakai nomor tetangga yang kaya. Jadi bisa saling memberi kabar. Kalau tidak, bisa bilang saja kepada beliau, kapan beliau harus bekerja. Tapi tidak bisa bekerja di sini dua puluh empat jam setiap hatinya. Ibu itu juga harus mengurus anak-anaknya yang masih sekolah dan sudah ditinggal suaminya."     

"Oh, iya Pak. Tapi kenapa harus pulang sekarang? Lagian ini sudah mau malam. Besok saja pulangnya, Pak. Nanti aku akan hubungi ibu untuk meminta izin agar bapak temani kami malam ini."     

"Gini, Non. Kan Non Farisha dan Mas Usman, lagi bulan madu. Jadi saya gak bisa ganggu. Biar kalian bisa lebih santai karena kalau saya di sini, bagaimana kalian–"     

"Apa, Pak? Sudahlah," potong Farisha. Lalu ia melanjutkan, "Kan kita bulan madunya bukan sehari atau dua hari. Meskipun Bapak mau tinggal dua hari juga tidak akan menggangu. Kita berdua nggak perlu buru-buru, ya kan Sayang?" ujar Farisha, melirik Usman.     

"Iya, iya Sayang. Jadi pak Lukman tenang saja di sini. Nggak perlu terburu-buru seperti itu, Pak. Ayo kita makan bareng-bareng di sini. Ada kursi kosong di sampingku," imbuh Usman.     

Benar-benar Farisha memilih orang yang tepat. Ia juga setuju dengan pilihan nona mudanya yang memilih Usman sebagai suaminya. Usman nyatanya bukan orang ganteng. Tapi dia orang yang mau menghargai orang lain. Juga mau mengajak orang lain duduk untuk makan bersama. Ia tidak khawatir lagi suami dari Farisha akan seperti Benny. Karena itu tidak mungkin.     

"Apa kalian tidak apa-apa kalau saya tinggal semalam? Oh, kalau begitu, saya akan mandi terlebih dahulu. Terima kasih kalau memang saya harus tinggal semalam. Semoga besok akan menjad benar-benar menjadi hari bulan madu kalian berdua. Aamiiin ...."     

"Iya sudah kalau begitu. Bapak bisa makan begitu selesai mandi," pungkas Farisha.     

Pasangan suami-istri itu melanjutkan makannya. Usman sesekali mencuri pandang pada istrinya yang cantik. Selalu tak bisan dirinya. Walau ia yakin kalau wanita di depannya tidak sadar kalau sedang diperhatikan terus. Walau sambil makan, lirikan matanya terus mengarah.     

Bukan Farisha tidak tahu, dirinya sengaja diam saja untuk menyikapinya. Malahan senang bisa menjadi pusat perhatian pemuda tidak tampan secara wajah tapi tampan hati. Mereka menghabiskan makanan dengan diam. Setelah selesai, Usman tidak lupa membereskan piringnya dan Farisha. Ia membawanya ke tempat pencucian piring. Sementara Farisha diam-diam memperhatikan.     

Di hari yang semakin petang, hingga malam menjelang. Tiga orang itu tidak bisa melihat matahari tenggelam. Maka mereka hanya bisa melihat pantai di malam hari. Meskipun orang-orang itu di dekat pantai, mata pencaharian utama mereka bukan nelayan. Mereka banyak yang bekerja di luar desa dan ada juga yang menanam sayuran dan buah atau palawija. Seperti jagung, padi atau yang lainnya. Ada pula yang memanfaatkan buah kelapa untuk dijadikan minyak atau diambil air niranya.     

"Pokoknya malam ini kita harus senang-senang. Tidak menyangka kalau di sini banyak kayu bakar. Kita jadi bisa bikin api unggun di sini! Wahh ... rasanya aku sangat senang!" teriak Farisha ke arah laut. Semilir angin meniup rambut panjangnya. Langit tampak bintang yang menyinari. Hanya saja itu tidak cukup untuk membuat terang.     

Dengan api unggun yang mereka buat, ada ikan yang sedang dibakar oleh Lukman. Ia melihat Farisha senang juga sudah senang. Rasanya Farisha seperti seorang gadis muda lagi. Tidak seperti wanita yang sudah berumur tiga puluh tahun.     

"Rasanya ini sudah terlambat bagimu, Non. Tapi itu tidak mengapa, karena hidupmu yang dari dulu menderita karena ayah kandungmu, kini baru terobati dengan kehadiran Usman. Semoga kau bahagia, non Farisha. Aku akan turut senang untukmu malam ini," lirih Lukman.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.