Tante Seksi Itu Istriku

Sopir Wanita



Sopir Wanita

Waktu sudah lama mereka menunggu. Usman juga sudah siap-siap untuk berangkat. Entah ke mana itu, yang jelas akan berangkat untuk liburan. Rasanya tidak sabar tuk menantikan hal itu. Sayangnya seorang pemuda yang masuk untuk belanja, tidak bisa ditolak oleh Farisha.     

Farisha mengambil sandal yang berada di bagian samping. Di sana ada sandal dan berbagai kebutuhan alas kaki lainnya. Ada juga kaos kaki dan sepatu. Yang tadinya ia hanya berjalan tanpa mengenakan alas kaki, kini ia memakainya. Tentu ia juga mencatat barang-barang itu di buku catatan. Karena setiap barang yang keluar dan masuk harus dicatat terlebih dahulu di pembukuan.     

Usman menatap sinis ke arah pemuda yang masuk ke swalayan. Ia sudah lama menunggu waktu ini. Tapi hharus kembali menungu. Hanya saja ia harus bersabar. Karena Farisha sendiri pun diam saja. Tapi tetap saja itu membuat dirinya lama menanti.     

"Mbak, ini aku beli ini saja, yah. Hehehe, maaf kalau mengganggu waktunya. Aku karena terpaksa begini. Di sini yang harga barang-barangnya murah. Aku di sini ngekost dan uangku tidak banyak, jadi harus hemat-hemat." Pemuda itu tahu Usman yang terlihat tidak suka padanya karena saat mereka mau pergi, malah ada dirinya.     

"Iya, sudah berapa kali kamu katakan? Mana saja, sini!" Farisha menerima barang yang berupa kecap manis, mie instan, garam dan saos.     

Usman melihat dari kejauhan, tidak ingin mendekat ke arah pemuda yang telah menundanya. Setelah melayani pemuda itu, barulah Farisha mengajak Usman keluar dari swalayan. Di luar tidak ada mobil Farisha. Padahal tadi Farisha juga berniat ingin membawa mobilnya pulang.     

"Usman, hari ini kita nggak bisa pakai mobil. Nggak apa-apa, yah? Soalnya mobilnya mogok tadi di jalan. Naik taksi saja, nggak apa-apa, kan?" tanya Farisha. Ia juga tidak mau seperti ini tapi karena keadaan, ia menerima semua.     

Bagi Usman, mau naik apa saja pun tidak mengapa. Yang penting ia sudah bisa liburan. Tidak perduli harus naik mobil, taksi atau naik ojek berdua dengan Farisha juga tidak apa-apa.     

"Iya, Tante ... naik apa saja, nggak apa-apa, lah. Yang penting kan kita bisa sampai. Kita ke mana dulu memang? Mau ke rumah atau langsung ke tempat kita liburan?" tanya Usman penasaran. Dengan tas yang berisi beberapa pakaian, untuk menginap juga ia sudah siap.     

"Ke rumah saja dulu, Man. Ibu sudah pesan berkali-kali untuk pulang. Nggak tahu kita akan dibawa ke mana lagi. Itu katanya ibu sudah menyiapkan tempat. Enggak tahu, mungkin ibu sudah menyewa tempat. Nanti sopirnya ibu yang akan membawa kita ke sana."     

Tak seberapa lama mereka menunggu, mobil putih mendekat dan parkir di depan mereka. Seorang wanita muda yang bekerja sebagai seorang sopir. Ia lalu keluar dari mobilnya.     

"Dengan Kak Farisha Angelina? " tanya wanita itu, yang melihat seorang wanita dan seorang pemuda yang sudah berdiri. Seperti sedang menanti jemputan darinya.     

"Iya, itu saya," balas Farisha. "Ayo Usman, kita segera naik ke dalam!" ajak Farisha, menarik tangan pemuda di sampingnya.     

Keduanya masuk ke dalam mobil itu. Maka sang sopir wanita itu juga turut masuk ke dalam. Setelah melihat dia orang yang masuk di jok belakang, wanita itu mengangguk dan mulai menjalankan mobilnya. Ia tidak perlu lagi bertanya tujuannya karena sudah mendapatkan pesan lokasi, ke mana harus pergi. Jadi dengan diam, berarti mereka tahu kalau ia sudah paham.     

Hari sudah semakin mendekati siang. Rupanya Usman tidak sabar ingin sampai. Dan ia mendengar kalau akan pergi ke pantai. Karena tidak pernah ke tempat seperti itu, ia sangat antusias untuk menunggu. Hingga pada akhirnya mereka tiba di rumah Azhari, ibunya Farisha. Sepanjang perjalanan pun, lelaki itu hanya bisa melihat ke arah samping. Tidak tahu kalau melihat Farisha terus, ia tidak sanggup.     

"Kamu kenapa lihatnya ke luar terus? Apa kamu tidak mau melihatku?" tanya Farisha yang melihat gelagat Usman. Ia tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran sang suami yang duduk di sampingnya. Tapi karena terus-terusan melihat ke samping, ia merasa Usman senang.     

"Eh, enggak kok, Tante. Aku ... mmm ... anu, gimana ngomongnya, yah?" Tidak tahu apa yang ia bisa katakan. Nyatanya ia gugup. Yah, walau sudah setiap hari ia berdekatan dengan Farisha, tetap perasaan gugup tidak bisa terhindarkan. Sebagai seorang lelaki yang hanya menjadi bawahan wanita, ia hanya bisa berkhayal tanpa berani berharap bisa memiliki. Ia takut kalau nantinya ia tidak kuat menghadapi kenyataan. Dirinya adalah seorang pria yang tidak punya apapun untuk dibanggakan. Hanya yang ia punya sekarang adalah raganya. Yang sekali lagi itu hanya titipan yang akan diambil kembali.     

Sementara wanita yang ada di kemudi, melirik ke belakang dengan melihat ke kaca di depannya. Entah mengapa ia merasa kalau mereka itu lucu. Pikirannya pun ke mana-mana sambil membayangkan bagaimana kalau mereka adalah pasangan suami-istri. Bakalan menjadi sesuatu yang memggemparkan. Tapi memang ia curiga dengan hubungan keduanya. Seperti wanita itu yang selalu mencuri perhatian sang pemuda. Tapi pemuda itu acuh tak acuh. Seperti sebuah lagu dangdut saja, kan?     

"Kak, ini ke arah mana lagi? Di perumahan ini tidak tahu aku, soalnya." Wanita itu bertanya karena pada dasarnya ia tidak tahu. Walau ia sudah tahu tujuannya, untuk jalannya ia masih bingung.     

"Oh, ini ke arah kiri di persimpangan di depan. Sekarang masih jalan lurus saja, Mbak. Oh, iya ... nanti ada perempatan juga belok ke kanan, yah! Rumah nomor empat dari kiri."     

"Ohh ... yang itu toh, Mbak? Iya-iya ... kayaknya aku tahu di mana. Kalau begitu, Kakak ada hubungan apa dengan tante Azhari?" tanya wanita itu. Ia mengingat wanita paruh baya itu. Tentu ia tidak akan lupa padanya.     

"Loh, Mbak kenal sama ibuku? Iya, ibuku bernama Azhari. Wah, mbaknya bisa, tahu ibuku ternyata." Farisha tidak menyangka kalau ada yang kenal dengan ibunya. Sudah pasti ia adalah kenalan atau siapa itu.     

"Bukan hanya kenal, Mbak. Dia itu wanita yang begitu naif. Sudah tua begitu, masih saja nggak tahu diri. Tidak tahu juga, katanya punya anak yang menjadi perawan tua, eh ternyata suka yang berondong juga? Alahh, biar berondong begitu, nggak punya apa-apa. Beda sama mas Benny yang sudah ngasih aku mobil ini. Dan aku juga katanya akan dinikahi si bandot tua itu. Hehh, ternyata dunia ini sempit juga yah?"     

"Apa katamu? Coba katakan sekali lagi, apa yang sebenarnya kamu katakan itu? Apa benar kau wanita simpanan si keparat itu? Kalau iya, berati kalian sama saja! Berhentikan mobilnya! Tidak rela jika diantar sama wanita tidak tahu diri!"     

Farisha emosi. Benar-benar emosi karena mengetahui bahwa wanita yang menjadi sopir itu adalah salah satu simpanan Benny. Ayah yang ia tidak pernah akui sampai kapanpun.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.