Tante Seksi Itu Istriku

Repotnya Makan Mie Ayam



Repotnya Makan Mie Ayam

Usman berada di kamar seorang diri. Ia sadar kalau bukan suami yang sebenarnya dari Farisha. Harus terima jika ia sendirian tanpa ada yang menemani. Seperti hidupnya yang sepi tanpa ada orang yang bisa diajak berbicara. Setiap malam memang ia hanya seorang diri di kamar itu.     

"Emm ... nonton tivi, acaranya apa, malam ini, yah?" Di kamarnya disediakan televisi dan DVD player. Usman tidak pernah mengotak-atik DVD player itu. Karena ia tidak bisa menyetelnya.     

Sebenarnya ada banyak yang bisa ia lakukan. Bisa menonton film, dari tontonan untuk anak-anak, untuk remaja percintaan atau pahlawan. Seperti power rangers atau serial animasi. Usman hanya bisa melihat gambar yang ada di sampul kasetnya. Tapi bingung nyalainnya bagaimana. Alhasil, ia hanya menyetel televisi dan kadang menggonta-ganti chanelnya karena bosan.     

"Dulu aku tidak bisa mengganti saluran tivinya. Tapi sekarang kenapa malah bosan, nonton apa ini? Ceritanya hampir setiap malam sama semua." Ia mematikan televisi karena rasa bosannya.     

Pemuda itu mengamati di sekitar kamar yang berukuran empat kali lima meter itu. Ia tidak kekurangan apapun sekarang. Bahkan ia bisa membeli makanan untuknya sendiri. Karena malas memasak, ia sudah membeli mie ayam yang keliling ke sekitar ruko. Karena sekali-sekali makan yang ia inginkan, membuat jiwa penasarannya reda.     

Dari dulu ia ingin gaya-gayaan makan mie ayam menggunakan sumpit. Kebetulan di dapur ada sumpit dan ia tertawa senang ketika ia mengambil sumpit ke dapur. Tapi ia tetap membawa sendok karena takut gagal.     

"Yah, siap! Ah ah ah ... apakah setelah makan mie ini, akan seperti orang jepang? Hahaha! Selamat makan, arigatau ..." ucap Usman dengan mengangkat kedua tangan kanan yang memegang sumpit itu.     

Terlebih dahulu, ia menyiapkan mangkok yang sudah bersih. Lalu ia membuka kantong plastik wadah mie ayam itu. Dengan perasaan senang, ia menuangkan mie ayam yang isinya tidak ada satu mangkok penuh.     

"Ahh, kenapa nggak ada satu mangkok pun? Padahal aku belinya mahal, lima belas ribu tapi tidak ada satu mangkok. Dan bumbunya juga nggak ada. Beda kalau di desa, yang enam ribu sudah penuh satu mangkok."     

Kecewa memang kecewa. Bagaimana ia bisa kenyang kalau hanya setengah mangkuk saja? Sungguh tidak bisa dibandingkan dengan yang ia bayangkan sebelumnya. Tapi ia akan menerima hal itu. Ia menerima kalau dirinya harus makan tapi tidak kenyang.     

"Oh, perut ... maafkan aku, hari ini tidak bisa makan banyak. Tapi karena mie ayam kota, mungkin rasanya lebih enak. Walau bumbunya bening. Tidak seperti di desa yang bumbunya kental dan isinya banyak banget."     

Yang harus dimiliki oleh seseorang tentang nikmat adalah berpikir positif. Ia merasa wajar karena ada di kota. Dan makanan di kota harus berkualitas dan rasanya harus nikmat. Lebih-lebih penjualnya sudah mengatakan tentang makanan yang dijual adalah sesuatu yang nikmat dan pernah dibeli oleh artis yang Usman sendiri lupa, siapa nama artis yang dikatakan oleh penjual mie ayam keliling itu.     

"Oke, rasanya pasti akan lebih enak. Tapi kok nggak ada saosnya, yah? Alah ... makan saja, lah," pungkas Usman yang harus menerima semuanya dengan hati yang lapang.     

Usman mencoba mengambil mie dengan sumpit. Ia mencoba dengan satu tangan tapi gagal. Ia tidak bisa menyumpit mie yang kecil dan bau apek itu. Ia mencoba menyumpit dengan dua tangan dan berhasil mengangkat mie. Baru hampir masuk ke mulut, mie itu malah jatuh kembali, membuat mie itu berantakan di lantai.     

"Belum juga nyicipin bagaimana rasanya. Tapi kok malah bikin berantakan?" ujar Usman yang mengambil mie itu dengan tangan dan merasakannya. "Uhh, kok kayak tai cicak?"     

Usman berada di kamar dan merasa mie itu rasanya aneh, seperti kotoran cicak. Ia tahu itu rasa tai cicak karena pernah makan dulu di rumah pamannya. Ketika merasa makanan yang ia curi di dapur rasanya aneh. Saat ia memuntahkan, ia menyadari kalau ada kotoran cicak. Semenjak saat itu, ia mengingat semuanya.     

"Ah, asssemm! Ini beneran tai cicak! Huekk! Huekk!" Ia melihat di lantai memang ada kotoran cicak. Karena sebelumnya tidak fokus, jadi tidak tahu kalau sudah memakannya. Lampu di kamar tidak terlalu terang.     

Akhirnya ia memuntahkan semuanya. Lalu ia keluar dari dapur. Ingin mengambil air minum yang ada di dapur. Tapi saat ia sudah di dapur, air minum di galon sudah habis. Maka ia menuju ke kamar mandi untuk berkumur.     

Usman merasa kesialannya hari ini tidak bisa dihindari. Dengan kesal, ia keluar dari kamar mandi lalu mengambil galon yang ada di gudang samping dapur. Ia mengambil galon yang berada di samping gas elpiji warna hijau dan biru. Mengangkat dengan malas dan dibawa ke dapur.     

"Entah baru berapa lama, sudah harus diganti. Oh, kenapa harus begini? Harus repot-repot bawa galon karena lupa untuk mengganti galon." Dengan masih mengeluh, ia mengganti galon yang ada di dispenser tanpa ia gunakan tisu untuk membersihkannya. "Ah, kenapa aku tidak pakai tisu untuk membersihkannya? Aduh, gara-gara mie ayam ini."     

Tidak pikir panjang, ia membiarkan saja seperti itu. Setelah mengganti galon, ia mengambil botol dan mengisi dengan air. Setelah itu ia kembali ke lantai atas untuk menikmati mie ayam.     

Di kamar, ia segera menuju ke ke tempat di mana ia menaruh mie ayamnya. Mengambil sumpit yang belum ia kuasai. Ia mencoba dengan dua tangan untuk mencapit ayam. Tapi selalu jatuh saat ia berhasil mengangkat setengah perjalanan ke mulut. Karena kesal, pemuda itu menggunakan cara lain. Ia menurunkan kepalanya sampai dekat dengan mangkuk. Lalu ia memakai sumpit lagi dengan dua tangan.     

"Ahh, akhirnya aku bisa makan pakai sumpit, hahaha! Ini sangat sulit tapi akhirnya aku bisa, hehehe. Lihat saja kalau aku ketemu sama paman dan bibi di desa. Aku akan tunjukan pada mereka kalau aku bisa makan kayak orang jepang."     

Tanpa disadari, ia mengingat paman dan bibinya yang ada di desa. Sudah sebulan lebih ia meninggalkan mereka. Tidak tahu bagaimana kabar dari pria penjudi dan wanita galak itu. Tapi ia malah kepikiran dengan dua orang itu. Ia mengingat kebaikan mereka yang telah merawat dirinya dari bayi. Atau dari usia berapa, yang jelas, saat bersama dengan Kardi dan istrinya, ia tidak mengingat apapun tentang orang tuanya.     

Usman meletakan sumpit itu karena merasa sulit menggunakannya. Bagaimana mungkin dirinya bisa dibandingkan dengan orang-orang kaya yang bisa makan pakai sumpit, ia pakai sendok saja sudah untung. Ia menggunakan sendok dengan cepat. Dan tidak sampai lima menit, semua mie itu habis. Walau ia masih merasa kurang banyak.     

"Ah, mienya tidak terlalu enak tapi belum kenyang. Kenapa pedagang itu mengambil untung banyak banget? Udah nggak ada rasanya, isinya sedikit banget, lagi."     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.