Tante Seksi Itu Istriku

Menghadapi Belanjaan Tanpa Farisha



Menghadapi Belanjaan Tanpa Farisha

Saat kedua wanita itu sudah selesai memilih belanjaan, mereka membawanya ke meja kasir. Keduanya menyetok banyak barang yang Usman bingung mau bagaimana mengatasinya.     

"Nih, kamu catetin semua barang-barang belanjaannya! Awas kalau salah mencatat! Akan kutuntut kamu ke meja kantor polisi!" bentak perempuan muda yang selalu ketus kepada Usman.     

"Hei, jangan begitu, lah. Dia kan baru selesai makan. Eh, itu punggungnya kenapa? Kok kayak bekas seperti dipukul?" tanya wanita paruh baya yang bersama perempuan muda itu.     

"Emmm ... anu. Aku nggak bisa gunain alat ini. Jadi aku tidak tahu gimana gunakannya. Aduh, gimana, yah? Aku bingung juga kalau harus melayani." Usman memutar otaknya untuk berpikir. Tapi ia benar-benar buntu. Maka ia mencoba mencari tombol yang ada di laptop. Tapi bingung mau memencet apa karena belum nyala.     

"Huhh, rasain kamu, hah! Kalau nggak bisa kerja di sini, lebih baik nggak usah kerja, lah! Ini bukan menguntungkan pemilik swalayan, malah ngerugiin. Sudah memberi makan, dapat gaji banyak, kan nggak bisa diandalkan."     

"Ini kenapa kamu berkata seperti itu? Kan tadi pemilik swalayan sudah mengatakan, kalau ini hanya dicatat di kertas. Kita akan membayar setelah dia kembali. Heh Mas, ini kita tulis belanjaan yang kami bawa ke kertas biar kita bisa hitung-hitungan saat pemilik swalayan ini datang. Kabarnya dia sudah menikah, yah? Apa Masnya tahu, siapa suaminya? Apa orang yang sering datang ke sini itu, heheh?"     

Usman cukup lega karena perkataan wanita yang lebih dewasa itu sudah berkata dengan jelas. Maka itu tidak akan membuat Usman bingung. Maka ia mengambil buku yang ada di meja. Lalu ia mencari pulpen.     

"Anu, Mbak ... sebenarnya tante Farisha memang sudah menikah. Tapi apa ini pantas atau tidak kalau aku katakan. Anu, tunggu saja dia yang mengatakannya, yah! Sekarang kita catat dulu belanjaannya!" ujar Usman yang mendatangi belanjaan dan sebuah kardus berukuran besar.     

"Oh, iya sudah ... kalau tidak mau katakan, aku males lihat mukamu! Mana nggak pakai baju, lagi. Kalau niat jualan ya nggak usah pakai celana sekalian! Biar pembeli pada kabur. Jadi tukang tunggu swalayan saja sudah sok-sokan luka gitu. Palingan habis maling kamu, yah!" ujar wanita muda itu.     

Tapi Usman tidak menjawabnya. Ia jongkok di depan belanjaan itu sambil melihat satu persatu belanjaan dari wanita tua itu. Ia mencatat dengan tulisan yang cukup rapih. Membuat wanita paruh baya itu tersenyum senang. Ia bahkan bisa menilai kalau tulisan dari Usman itu cukup bagus dan berkelas.     

"Ini beneran tulisannya bagus begini. Ini sih penulis yang sudah profesional. Mana ada orang desa yang seperti ini. Heh, rapi amat tulisannya. Aku saja bisa cepat membacanya walau dari jauh, ini," puji wanita paruh baya yang selalu membela Usman karena memang Usman tidak memiliki kesalahan.     

Pemuda itu terlihat baik dan suka membantu orang. Jadi menurut orang lain, Usman cukup menjadi orang yang berguna dan bisa saja menjadi orang yang sukses. Usman juga memasukan barang itu dengan rapi, satu persatu. Sambil menyebutkan barangnya yang ia perlihatkan itu.     

Setelah selesai mencatat pun Usman memberikan hasil tulisannya pada wanita paruh baya itu. Selanjutnya mereka meneruskan untuk mencatat belanjaan wanita muda yang tidak suka dengan Usman itu. Tentu saja dengan sikapnya itu, tidak mau menunggu lama. Ia sudah sangat tidak suka dan apapun kebaikan Usman akan menjadi kesalahan. Bahkan bernafas saja sudah dikomentari dengan kata bau.     

"Nah, ini sudah aku catat semua. Mbak bisa periksa kalau aku sudah mencatat semuanya, yah! Jadi aku akan menyalin ini semua. Jadi kalian bisa membawa salinannya. Kita bisa kasih tanda tangan, yah. Biar kita saling percaya."     

Kedua wanita itu saling menatap dan akhirnya setuju. Walau ketidak sukaan wanita muda itu sudah memuncak, ia sudah tidak ada waktu untuk mengerjai Usman.     

"Enggak apa-apa, loh. Lebih baik kayak gitu, jadi kita bisa saling percaya. Dan kita bisa memotretnya untuk meyakinkannya, nanti." Wanita paruh baya itu mengambil ponselnya untuk memotret tulisan itu. Walau ia yakin kalau pemuda itu tidak akan menipunya, ini agar Farisha juga percaya dan sebagai bukti. Ia juga merekam video saat Usman menulis ulang tulisannya.     

"Ini, kalian bisa lihat, aku tidak akan merubah tulisan yang ada di buku, yah. Maaf kalau ini lama. Karena aku juga sedang tidak enak badan." Ia tahu mereka tidak akan perduli. Pemuda itu hanya bisa diam saat ia menulis tanpa baju tapi malah direkam. Ia belum siap memakai baju karena lukanya perih.     

Setelah selesai mencatat, Usman juga membubuhkan tanda tangan yang tidak kalah keren. Kedua wanita itu tidak menyangka kalau seorang pemuda desa yang tidak dianggap itu memiliki bakat terpendam. Tulisan dan tanda tangannya sudah terbilang keren luar biasa.     

"Bahkan tanda tangannya kayak seorang insinyur," ujar wanita paruh baya itu memuji tanda tangan Usman. "Apakah kamu pintar gambar jiga, Mas?" tanyanya penasaran.     

"Emm, enggak terlalu, Mbak. Ini aku sudah tanda tangan di dua kertas dan di buku juga. Sekarang kalian bisa tanda tangan di samping. Yang sudah aku sediakan, yah!" pungkas Usman , memberikan pulpen itu kepada kedua wanita itu.     

"Ooh, ya sudah. Aku tanda tangan dulu, yah. Sekalian juga, akan ku bantu mengemas barangnya. Kamu lagi sakit jadi jangan banyak gerak! Nanti setelah ini, kunci pintu dan segera tidur." Walaupun wanita itu tidak mendapat jawaban dari pertanyaan yang ia tanyakan sebelumnya, ia tidak mengapa. Hanya penasaran tapi tidak mendapat jawaban.     

Kedua asisten rumah tangga harus segera pulang ke rumah majikanya untuk bersih-bersih. Walau ia sebenarnya kasihan juga, setelah melihat di punggung Usman ada luka yang sudah diberi pasta gigi. Mereka tidak bisa membayangkan kalau luka itu berada di badan mereka sendiri. Sudah pasti akan sangat sakit. Maka dari itulah, dia tidak ingin lagi membuat keributan.     

"Sini, aku bantu kamu untuk mengemas semua ini," tawar salah seorang wanita itu. Ia mulai mengerjakan apa yang seharusnya pekerjaan Usman. Yang harus memberi lakban sendiri dan menata kembali barang-barang itu.     

Setelah selesai membereskan semuanya, keduanya pamit keluar dari swalayan. Sementara Usman merasa lega dan mengikuti kedua wanita itu untuk menutup pintu. Sempat pemuda itu melihat wanita ketus itu menoleh padanya dengan pandangan yang tidak dapat dijelaskan. Seperti seorang yang mengalami kesedihan dan entah apa itu.     

"Ahhh ... akhirnya mereka sudah pergi juga. Aku bisa istirahat dengan tenang." Setelah semua telah pergi, Usman mengunci pintu swalayannya. Ia masuk ke dalam, naik ke lantai atas untuk beristirahat.     

Usman hanya bisa tidur dengan telungkup karena tidak bisa terlentang. Karena punggungnya yang mulai merasa panas dan membuatnya blingsatan. Mengerang dan menahan rasa sakit yang mulai menyerang. Usman juga menggigit kain yang ia temukan di kasur itu.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.