Tante Seksi Itu Istriku

Pembicaraan Sebelum Makan



Pembicaraan Sebelum Makan

Usman memegang pakaian yang disiapkan oleh Farisha. Lalu ia menengok ke kanan dan ke kiri untuk memastikan kalau selama ia ke kamar mandi Farisha tidak memasukan orang ke kamar itu. Setelah pasti aman, ia membuka celana pendek itu dan mengganti dengan celana panjang. Ia lalu melepas kaos yang longgar itu dan memakai kemeja.     

Setelah selesai berganti pakaian, ia ke meja rias dan melihat dirinya dalam pantulan cermin. Ia lupa kalau sabuknya berada di kamar mandi. Jadi celana itu juga terasa cukup longgar.     

"Ohh, kenapa semua celananya longgar saat dipakai olehku? Sebenarnya karena sudah lama tidak dipakai atau ukuran bokong tante yang memang berukuran gede?" lirih Usman sambil cengengesan. Ia membayangkan seberapa besarnya. Walau ia pernah melihatnya. Tapi sekarang ia bisa mengukurnya.     

Alhasil Usman hanya berdiam diri di depan cermin. Ia menunggu Farisha dengan duduk di kursi. Sampai akhirnya Farisha keluar dengan hanya memakai handuk saja. Tentunya dengan kondisi rambut yang masih basah.     

"Tante sudah selesai mandinya? Aku mau ambil sabuk dulu, Tante. Aku meletakannya di dalam kamar mandi soalnya, hehehe," kekeh Usman, berlari kecil sambil mengangkat celana ke kamar mandi.     

"Oalah, Usman ... Usman ... kenapa malah bikin lucu? Pagi-pagi kamu ini, iihhh, pengen aku cubit anunya." Farisha lalu mengambil pakaian yang ada di lemari. Ia melepas handuknya dan lemparkan ke kursi.     

Farisha memakai pakaiannya dan saat sedang mengenakan celana dalamnya, Usman keluar dari kamar mandi. Ia melihat tubuh Farisha yang membelakangi dirinya. Tapi ia tidak bisa lagi kembali ke kamar mandi karena sudah di kamar, sudah dekat dengan Farisha.     

"Kamu kalau mau makan duluan, minta sama Erni, Man. Atau ibu mungkin hari ini tidak memasak. Aku belum ganti pakaian. Kamu mau keluar atau melihat aku ganti baju, hemm?" gumam Farisha menggoda suaminya. Ia membalikan badan dan terlihat semuanya.     

"Eh, maafkan aku, Tante. Aku akan keluar sekarang juga, kok." Ia mengalihkan pandangannya. Lalu segera menuju ke pintu kamar. Ia keluar dari kamar dan menyenderkan punggungnya di tembok depan kamar. Ia mengatur nafasnya yang tidak beraturan.     

Melihat sekali saja, tentu itu membuat dirinya terbayang-bayang selamanya. Setelah lama beranda di sana, Usman berjalan menuju ke dapur. Ia tidak melihat siapapun di sana. Mengambil air minum dan menegaknya dengan cepat. Membasahi tenggorokan yang terasa sangat kering itu.     

Karena tidak ada siapapun di dapur, ia kembali ke ruang tengah. Di ruang tengah ada jam besar. Usman melihat waktu menunjukkan pukul sembilan pagi. Ia tidak menyangka akan kembali kesiangan. Tapi tidak seberapa lama ia duduk untuk mengontrol detak jantungnya yang berdebar kencang, Erni mengagetkan Usman.     

"Hei, Tuan! Kamu lagi ngapain?" tanya Erni yang merasa tidak perlu terlalu sopan tapi ia memanggil tuan pada Usman. "Mau makan? Itu Erni sudah siapkan makan di bawah tudung saji. Erni tinggal lagi, kalau perlu apa, panggil saja yang keras, 'Erni!' gitu."     

"Eh, iya Erni. Ehh ... anu ... mmm ... enggak jadi, deh. Kalau begitu, terima kasih." Usman bangkit dari tempat duduknya lalu bangkit menuju ke tempat makan. Ia membuka tudung saji dan melihat makanan yang terlihat enak. Tapi ia harus menunggu Farisha sampai ke ruang makan. Ingin ia makan bersama dengan Farisha pagi ini. Walau sudah tidak cukup pagi.     

"Usman, apa sudah makan banyak hari ini, yah? Pasti lapar lagi tuh. Aku juga merasa lapar sekarang." Farisha sudah selesai berganti pakaian dan sudah berdandan cantik. Lalu datang ke ruang makan yang di sana ada Usman.     

Usman merasakan jantungnya berdebar melihat Farisha datang menemuinya. Ia menjadi salah tingkah dan hanya bisa melongo. Namun berbeda dengan Farisha yang tersenyum meledek. Ia jelas tahu kalau suaminya itu sedang memikirkan kejadian yang di kamar. Tapi ia malah senang kalau Usman merespon hal itu. Ini jelas Usman memang terpesona dengan hadirnya.     

"Ayo lanjutkan makannya, Man. Aku hari ini ada janji sama teman. Jadi kamu beresin saja swalayannya! Kalau perlu kamu bersihkan, buat sebersih mungkin. Juga jangan lupa tata dengan rapih, barang-barangnya!" titah Farisha. Hanya dengan itu, ia harap Usman akan memiliki waktu untuk bekerja. Karena ia tahu kalau Usman hanyalah butuh bekerja.     

"Eh, kok kamu malah menyuruh suami kamu kerja, sih? Ini kalian sudah suami-istri, loh. Seharusnya kalian sudah bulan madu," celetuk Azhari yang tiba-tiba muncul di belakang Farisha sambil memegang pundak anaknya.     

Farisha terkejut dan terlonjak kaget saat kedatangan ibunya. "Eh, Ibu ngagetin saja. Oh, bulan madu, yah? Emm ... aku juga bingung mau memutuskan yang bagaimana. Emm ... Ibu apa ada yang ibu rekomendasikan?" tanya Farisha. Ia juga tidak ingin berpikir jauh-jauh. Yang ia harus lakukan adalah melakukan yang terbaik untuk orang tuanya.     

"Ohh, masalah ini, ibu juga yang harus mengurus? Lah, seharusnya kamu sudah pikirkan jauh-jauh hari. Ini kalian bukannya hari ini harus bulan madu? Ini malah mau bekerja. Pokonya ibu nggak mau tahu, kalian harus buatkan ibu cucu!"     

Farisha dan Usman saling menatap. Tidak tahu harus menjawab apa karena mereka sama-sama tidak ada yang ingin memulai. Di dalam hati Usman, ia jelas mau jika ia diizinkan untuk membuat Farisha hamil. Tapi ia tidak berani melakukannya tanpa persetujuan dari Farisha. Sementara wanita itu belum tahu apa yang harus ia lakukan. Sebagai seorang wanita, ia juga ingin hamil dan melahirkan. Juga ingin merawat anak-anak yang ia lahirkan itu.     

Melihat Farisha yang hanya tersenyum padanya, Azhari menggelengkan kepala. Lantas mengatakan, "Ya sudah ... besok pagi kalian sudah harus siap-siap karena ibu akan mencari tempat untuk kalian berbulan madu. Jadi jangan kalian sia-siakan bulan madu kalian, yah! Kalian fokus bikin anak saja, yah! Kalau untuk biaya sehari-hari, kamu tidak usah khawatir. Biar urusan mencari uang, ibu juga bisa."     

Selain sebagai seorang ibu yang sering berada di rumah, Azhari merupakan pengusaha di bidang properti. Ia memiliki banyak apartment dan rumah yang siap disewakan. Azhari tidak perlu repot-repot mendatangi tempat langsung karena memiliki team sendiri-sendiri. Wanita itu hanya mengawasi dan menerima pemasukan saja. Tapi bukan berarti ia hanya pasrah saja. Ia juga pernah beberapa kali harus turun lapangan. Kadang sampai larut malam dalam bekerja. Sementara Benny hanya menghabiskan uang milik orang tua Azhari. Dan perusahaan milik orang tua Azhari juga kadang berantakan dan tidak menentu.     

"Bu, hari ini aku ada janji sama teman. Jadi aku harus pergi. Kalau Usman kalau mau tinggal di sini, nggak apa-apa. Tapi kalau mau ke swalayan, bukankah itu bagus, Bu? Jadi Usman bisa membereskan swalayan."     

"Sudahlah, Farisha ... kamu ajak saja suami kamu untuk menemui teman kamu itu. Sekaligus biar kalian saling kenal. Punya suami, jangan ditutup-tutupi dari teman-teman kamu. Bahkan hanya ada satu teman kamu yang datang ke acara pernikahan kalian," ungkap Azhari yang membuat anaknya bungkam.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.