Tante Seksi Itu Istriku

Pakaian Farisha



Pakaian Farisha

Mereka sampai di depan gerbang, saat gerbang dibuka dari dalam, Farisha memasukan mobilnya. Hari ini Farisha memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Ia malas kalau harus ke swalayan. Apalagi kalau dia meninggalkan Usman sendirian, Azhari bisa curiga terhadapnya. Ia tidak ingin itu terjadi. Pernikahan dengan Usman yang didasari karena kepura-puraan itu, hanya Usman dan dirinya yang tahu.     

Farisha juga telah menyinggung Vania karena pernikahan itu. Walaupun ia sudah mengatakan berkali-kali kalau pernikahan itu hanya sebagai kedok belaka. Tapi katena sikap wanita itu yang terlihat berang, membuat Farisha terus menghindar.     

"Kamu tidur di rumah saja, Man! Nanti biar ibu tidak curiga. Dan kamu saat di depan ibuku, jangan panggil aku tante. Kalau hanya kita berdua, kamu bisa panggil tante. Tapi di depan orang lain, kamu panggil nama saja!" titah Farisha saat ia memasukan mobilnya ke dalam bagasi.     

"Ohh, maafkan aku, Farisha. Aku malah kelupaan. Emm ... aku sekarang panggil nama saja, yah?" ujar Usman, berhati-hati agar tidak membuat marah. Ia tidak tahu bagaimana harus bersopan santun pada wanita yang lebih tua darinya.     

"Nah, begitu saja sudah bagus. Itu lebih baik kalau kamu selalu memanggilku begitu. Karena bisa saja kamu keceplosan memanggilku tante terus." Farisha memarkir mobil lalu keluar. Ia meninggalkan garasi, diikuti oleh suaminya di belakang.     

Di rumah sudah terlihat lampu yang terang. Di sana ada dua mobil yang pemiliknya adalah Farisha dan yang satunya milik Azhari. Mereka memiliki seorang sopir yang mengantar Azhari ke mana dia mau. Sementara Farisha sendiri tidak memiliki sopir yang mengantar ke mana ia mau. Itulah yang membuatnya kerepotan saat seorang diri. Apalagi kalau harus mengangkat barang.     

Mereka masuk ke dalam rumah tanpa permisi. Keduanya masuk ke ruang dapur untuk mengambil air minum. Setelah perjalanan yang menegangkan itu, mereka merasa haus. Apalagi saat orang-orang gang itu melempari mobil Farisha dengan batu. Dimana mobil itu mengalami lecet. Maka Farisha harus menyuruh orang untuk memperbaiki catnya dengan yang baru. Ia bisa memanggil orang untuk melakukan pekerjaan itu dan dibawa mobil itu. Selama mobil diperbaiki, Farisha bisa memakai mobil milik orang itu untuk sementara.     

"Kita bahas kerjaan besok lagi saja, Usman!" ujar Farisha. "Uh, bagaimana aku menjelaskan pada Vania nanti? Aku tidak ingin Vania marah padaku karena hal ini. Oh, maafkan aku , Vania," lirihnya, berucap membelakangi sang suami.     

Usman tidak mendengar perkataan terakhir istrinya itu. Tapi ia juga tidak mau ambil pusing. Yang penting ia mendengar kalau memikirkan swalayan itu esok pagi saja. Karena Usman sendiri juga tidak ingin berpikir banyak. Hidup di kota besar, malah membuat Usman semakin malas. Bahkan merasa berat badannya juga lebih berbobot dari sebelumnya. Kulit yang dulunya hitam, kini lebih terang. Karena sudah tidak selalu berada di tempat panas, menjajakan dagangannya. Ia bekerja di ruangan yang memiliki pendingin ruangan.     

"Eh, Non Farisha, sudah pulang? Syukurlah kalau sudah pulang. Apa mau kumasakkan sesuatu, Non? Dan Tuan Usman juga. Apa mau dimasakkan sesuatu juga?" tawar Erni, melirik ke arah Farisha dan Usman bergantian.     

"Aku nggak usah, Er. Nggak tahu kalau Usman. Usman, kalau kamu lapar, kamu bilang saja sama Erni," cetus Farisha. "Aku mau ke kamar dulu, kamu nanti tidurnya di kamar denganku!" pungkasnya.     

"Iya, Tantee ... eh Farisha. Aku akan ke kamarmu," jawab Usman. "Aku juga tidak lapar, Mbak. Aku mau tidur saja, lah," putus Usman. Walau ia sedikit merasa lapar. Ia malu kalau malam-malam merepotkan orang.     

"Ya sudah kalau gitu, Erni juga mau istirahat dulu, Non, Tuan Usman. Saya undur diri." Asisten rumah tangga itu pamit mundur lalu meninggalkan dapur. Meneruskan pekerjaannya di kamar.     

Usman mengikuti Farisha ke kamarnya. Karena mereka sudah menjadi pasangan suami-istri. Jadi mereka harus tidur di satu kamar. Tapi Usman merasa risih karena dari tadi pagi belum berganti pakaian. Ia tidak membawa baju ganti untuk ia pakai. Ia juga harus mandi karena ia belum mandi dari tadi pagi.     

"Kamu kenapa bingung, Man? Kalau ada sesuatu yang ingin kamu katakan, katakan saja sekarang! Jangan sampai hanya menjadi pikiran saja!" Farisha menatap Usman ketika ia akan membuka pintu kamarnya. Ia tidak tahu pemikiran orang. Membuatnya harus bertanya, apa yang membuat suami pura-puranya kepikiran.     

"Eh, enggak apa-apa kok, Tante. Anu ... aku sebenarnya belum mandi dari pagi. Aku juga belum berganti baju. Anu, aku nggak punya ganti lagi. Semuanya ada di swalayan, Tante." Usman takutnya Farisha akan merasa jijik karena dirinya belum mandi. Juga bau keringat yang bisa membuat kamar itu tercemar oleh bau keringatnya.     

"Ohh, jadi seperti itu masalahnya. Kalau begitu, kamu nggak usah khawatir! Aku punya kaos dan celana pendek yang bisa kamu pakai. Buat kamu saja nggak apa-apa, Usman. Untuk celana dalam kamu, mending dilepas saja! Dicuci saja di kamar mandi. Besok juga kering setelah ditaruh di bawah blower, hihihi," kikik Farisha. Merasa lucu saja kalau Usman akan melakukan itu.     

Usman pun mengangguk setuju. Ia merasa tidak enak dengan kebaikan Farisha kepadanya. Terlalu baik dan terlalu cantik. Jelas itu cantik wajahnya dan cantik juga sifatnya. Walaupun terkadang memaksa dan tegas, itu memang demi kebaikannya sendiri.     

Farisha mencari pakaiannya yang berada di almari. Ada celana pendek yang biasa ia kenakan saat berada di rumah. Juga kaos yang biasa ia gunakan saat tidur. Ia jarang memakai pakaian tidur karena biasanya memakai celana yang longgar atau kaos longgar. Dan sudah tidak pakai, pakaian dalam lagi.     

"Ini untuk kamu pakai malam ini. Tapi aku mau mandi duluan! Kamu mandinya nanti saja, yah! Kamu duduk dulu di kursi sana!" tunjuk Farisha ke arah kursi di depan meja rias.     

"Oh, iya, Tante. Kalau begitu, aku menunggu dulu di sana, terima kasih, Tante sangat baik padaku. Aku pasti akan bekerja keras dan akan belajar dengan baik." Setelah mengatakan itu, Usman melangkahkan kakinya, membawa pakaian yang diberikan oleh Farisha ke kursi itu. Ia pandangi pakaian itu, malah membayangkan, bagaimana ia bisa memakai pakaian yang biasa dikenakan Farisha? Itu adalah keberuntungan yang paling membahagiakan lagi.     

Farisha mengambil handuk lalu masuk ke dalam kamar mandi. Di dalam, ia melepas seluruh pakaiannya, termasuk pakaian dalamnya. Ia menuju ke shower, mengatur suhu air agar pas dan membuatnya nyaman. Dan mulai mengusap dan menyabuni seluruh tubuhnya ketika air sudah keluar dengan deras membasahi tubuhnya.     

"Hehh, kenapa malam ini aku jadi seperti ini? Usman, Usman. Kenapa kamu itu? Bagaimanapun kamu harus bekerja untukku. Harus bisa semuanya. Aku tidak tahu mengapa begini. Mungkin aku tidak membenci lelaki lagi semenjak ada Usman. Oh Vania, aku bersalah padamu. Tapi memang tidak semua lelaki itu jahat. Seperti Usman yang baik padaku. Aku tahu kamu tidak suka lelaki juga. Tapi kita sudah dasarnya salah."     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.