Bos Mafia Playboy

Kehilangan Rasa Malu



Kehilangan Rasa Malu

Martin baru saja keluar dari mobilnya saat Adi Prayoga keluar dari villa itu. Dia pun langsung berjalan ke arah atasannya itu sambil tersenyum penuh semangat. "Bos ada di sini juga?" sapanya dengan cukup sopan.     

"Aku baru saja berbicara dengan Imelda, kenapa kamu tak mengatakan jika Davin Mahendra telah membakar bukti utama yang kita miliki?" tanya Adi Prayoga sambil menatap tajam orang kepercayaannya.     

"Maaf, Bos. Kupikir itu tidak terlalu penting sekarang. Lagipula semuanya juga sudah lenyap." Martin mencoba menjelaskan keadaan yang sedang mereka hadapi.     

Adi Prayoga pun menatap sebuah paper bag di tangan sosok pria di depannya. Dia pun menjadi cukup penasaran dengan apa yang dibawa oleh Martin. "Apa yang kamu bawa itu?" tanyanya sambil terus memeluk paper bag di tangan pria di depannya itu.     

Dengan sekali gerakan saja, Martin sudah mengangkat sebuah paper bag di tangannya. "Ini, Bos?" Adi Prayoga hanya menganggukkan kepalanya tanpa memberikan jawaban apapun. "Ini ponsel untuk Imelda. Beberapa menit yang lalu, Vincent mengirimkan sebuah pesan padaku. Dia ingin aku membelikan sebuah ponsel baru untuk adik kesayangannya itu," jelas Martin pada bos-nya.     

"Ada apa dengan ponselnya?" Adi Prayoga menjadi sangat penasaran dengan ponsel milik menantunya.     

"Vincent berkata jika ponsel Imelda hancur. Oleh karena itu, dia memintaku membelikan sebuah ponsel terbaru dan terbaik di kelasnya," jawab Martin sbim memperlihatkan ponsel baru yang terlihat cukup mahal.     

Tanpa menunggu lama, Adi Prayoga kembali masuk ke dalam rumah. Dia khawatir jika Brian telah melakukan KDRT pada istrinya. Untuk memastikan hal itu, Adi Prayoga ingin bertanya langsung pada menantunya. "Aku harus kembali menemui mereka berdua," ucapnya sambil melangkahkan kakinya kembali masuk ke dalam rumah.     

Martin langsung mempercepat langkahnya untuk mengikuti sang bos yang lebih dulu masuk. Namun setelah melewati ruang tamu, Adi Prayoga tiba-tiba saja menghentikan langkahnya. Sontak saja, Martin juga menghentikan langkahnya dan memandang ke arah yang sama di mana bos-nya itu menatap.     

Sebuah pemandangan yang cukup mencengangkan, membuat Martin terbatuk-batuk karena ulah pasangan itu. Terlihat Brian sedang sangat menikmati bibir Imelda yang terlalu menggoda dan menggugah gairah. Martin memperkeras suara batuk-batuk itu agar pasangan itu menyadari keberadaan mereka.     

Dengan cepat, Imelda menjauhkan wajahnya dari Brian. Dia lalu membalikkan badannya dan menatap ke arah suara itu berasal. "Papa! Martin!" Rasanya ia sangat malu pada dirinya sendiri. Wajah merah padam yang sedikit pucat terlukis di wajah wanita hamil itu.     

"Papa, kenapa kembali lagi?" Brian bangkit dan berdiri lalu berjalan ke arah dua pria yang baru saja datang itu. "Apa yang kamu bawa, Martin?" Brian menanyakan itu dengan ekspresi yang seolah tak terjadi apa-apa. Sedikit pun dia tak malu saat ayahnya dan juga Martin memergoki dirinya sedang berciuman dengan sang istri.     

Martin memandang heran suami dari Imelda itu. Dia tak mengerti, mengapa Brian bisa bersikap sesantai itu? Ingin rasanya ia mengelus dadanya sendiri karena kelakuan anak dari bos-nya itu. "Apakah urat malumu sudah hilang?" tanya Martin dengan wajah kesal.     

"Mengapa aku harus malu? Bukankah Imelda adalah istriku? Jadi aku bebas untuk menciumnya, termasuk di hadapanmu," balas Brian dengan senyuman penuh kemenangan.     

Adi Prayoga masih menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Brian yang terlihat sangat gila. Anaknya itu seolah tak memiliki rasa malu lagi di hadapan orang tuanya. Dia pun memilih untuk menghampiri Imelda yang masih duduk di kursi sambil menyembunyikan wajahnya dengan sebuah bantal. "Sayang ... tak perlu malu seperti itu. Seharusnya suamimu itu yang seharusnya malu telah melakukan hal yang memalukan," bujuk Adi Prayoga sambil menarik bantal yang dipegang oleh menantunya.     

"Maaf, Pa. Aku tak tahu jika Papa dan Martin berada di sana. Rasanya aku sangat malu sekarang," sesal Imelda dengan wajah sangat malu dan berusaha untuk menghindari tatapan ayah mertuanya.     

Bukannya menyalahkan atau menghujat menantunya, Adi Prayoga justru melemparkan senyuman hangat yang penuh cinta pada Imelda. Sebuah kasih sayang tulus tersirat dari setiap sorotan matanya. "Tak masalah, Sayang. Papa dengar, ponselmu rusak. Apa kalian bertengger?" tanyanya penasaran.     

"Kami tidak bertengkar, Pa," jawab Imelda singkat.     

Adi Prayoga bisa melihat ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh menantu kesayangannya itu. Dia menjadi semakin cemas, jantungnya mendadak berdebar hebat. Sebagai orang tua, Adi Prayoga takut jika Brian telah melakukan hal buruk pada istrinya. "Katakanlah, Sayang. Jangan menutupi apapun pada Papa. Aku akan memberikan Brian pelajaran jika dia telah menyakitimu," bujuknya dengan suara lembut.     

Tak ingin memaksa menantu kesayangannya, Adi Prayoga bangkit dari tempat duduknya. Dia pun berjalan ke arah Brian yang masih mengobrol dengan Martin. "Brian!" teriak Adi Prayoga sambil menarik tangan anak semata wayangnya lalu menyeretnya mendekati Imelda.     

"Apa-apaan, Papa! Kenapa harus menyeretku?" protes Brian pada ayahnya.     

"Apa yang kamu lakukan terhadap Imelda? Apa kamu sudah menyakitinya?" Adi Prayoga sengaja meninggikan nada suaranya dan juga memberikan tekanan pada setiap kata.     

Brian terlihat bingung mendengar pertanyaan itu. Dia merasa tak melakukan apapun pada istrinya. "Aku tak mungkin menyakiti istriku, Pa! Hanya ada cinta dan juga kasih sayang yang ada di dalam hatiku," jawabnya sambil tersenyum melirik sang istri.     

"Jangan bercanda kamu, Brian! Papa bertanya serius," sahut Adi Prayoga dengan sangat kesal. Pria itu mencubit lengan Brian karena merasa dipermainkan oleh anaknya sendiri. "Bisa-bisanya kamu mempermainkan Papa!" seru Adi Prayoga dengan wajah serius.     

Semakin kalang kabut, Brian pun memikirkan sebuah cara untuk terlepas dari siksaan ayahnya. "Sayang! Tolong suamimu ini. Apa kamu tega melihat Papa terus menyiksaku," rengeknya pada Imelda yang justru senyum-senyum melihat ayah dan anak itu.     

Di sisi yang lain, Martin menghampiri Imelda dan menyerahkan sebuah paper bag yang tadi dibawanya. "Ini barang titipan dari Vincent. Dia menyuruhku memberikan ponsel ini padamu," ucapnya dengan suara lembut dan tatapan yang sulit diartikan.     

"Terima kasih, Martin. Berikan nomor rekeningmu, aku akan mentransfer uangnya," balas Imelda sambil memandang sahabat dari kakaknya itu.     

"Langsung transfer sana ke Vincent. Aku hanya membelinya saja, kakakmu yang membayarnya. Aku juga tak mungkin bisa membeli sebuah ponsel semahal itu." Martin sengaja merendah pada wanita di hadapannya. Dia sangat tahu posisi dirinya jika dibandingkan keluarga Mahendra.     

Mendengar perkataan Martin pada Imelda, sang bos mafia langsung melepaskan anaknya. Dia pun menatap tajam orang kepercayaannya itu. Adi Prayoga merasa khawatir jika selama ini dia kurang memperhatikan tangan kanannya itu. "Martin!" panggilnya.     

"Ada apa, Bos?" balas Martin sambil mendekatkan diri ke Adi Prayoga. "Ada yang bisa saya bantu, Bos?" tanyanya dengan sopan.     

"Sepertinya ... aku masih kurang memperhatikan dirimu. Aku baru sadar jika aku memberikan hak dari bayaranmu terlalu kecil. Aku akan menaikan gajimu bulan depan," terang Adi Prayoga dengan sangat jelas. Dia merasa jika Martin berhak menerima yang lebih dari biasanya.     

Happy Reading     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.