Ciuman Pertama Aruna

III-19. Penyuka Om-Om



III-19. Penyuka Om-Om

"Hendra ayo ikut aku," Surya membuka pintu ruang kerja CEO DM grup, lelaki tersebut menarik tangan Hendra.     

"Hai jangan menarikku sembarangan, Aku masih sibuk," Mahendra melepaskan diri dari tarikan Surya.     

"Kita harus cepat menjemput mereka," Surya berjalan lebih gesit dan tertangkap memencet tombol lift berulang, aksinya yang begitu terburu-buru menyulut rasa penasaran Hendra. Walau lelaki bermata biru kurang berkenan dengan ajakan Surya akan tetapi dia masih bertahan membuntutinya.     

"Mereka? Siapa?" tanya Mahendra.     

"Nona Aruna dan istrimu," Mahendra hanya mengerutkan dahi ketika Surya sudah memasuki lift, sahabat itu terpaksa menarik tangan Hendra supaya ikut serta masuk ke dalam lift yang sama.     

"Kamu belum di hubungi Herry?" kembali Surya bertanya.     

"Soal apa?" Hendra meraba sakunya, "Oh handphoneku ketinggalan," dia berniat kembali apa daya lift sudah berjalan.     

"Istri kita, maksudku nona Aruna dan Dea, mereka tetap saja masih anak-anak," Surya kadang memosisikan Dea seperti anak kecil. "Mereka baru bertengkar dengan teman di kampusnya,"     

Hendra malah terkekeh mendengar kalimat Surya, "kita juga sering bertengkar dengan rekan kerja, jangan terlalu khawatir,"     

"gimana nggak khawatir!" tampaknya gaya bahasa formal khas Surya perlahan tergerus oleh kebiasaan berbahasa Dea, "Lihat ini!" foto se-kenanya Herry membuat mata biru terbelalak.     

"Ya Tuhan.. berikan kunci mobilnya, biar aku yang mengemudi," pinta Hendra, lelaki bermata biru lebih lihai dalam melaju di jalanan.     

.     

.     

"Hendra??" seorang sekretaris mencari atasannya, ada meeting yang harus dihadiri bosnya tersebut.     

Namun, ketika di hubungi berkali-kali tidak juga ada jawaban. Nana memasuki ruang kerja Mahendra. Dan menekuk mulutnya ketika tidak ada apa pun yang dia dapati.     

Hanya sebuah layar handphone yang menyala-nyala disebabkan oleh panggilannya sendiri.     

_ke mana dia?_ gumaman ini terbit sembari meraih handphone pria yang dia cari.     

Sesaat berikutnya, ada mata yang fokus ke layar handphone terkunci, layar dengan foto perempuan.     

Ada foto Aruna pada benda berbentuk persegi panjang tersebut. Perempuan yang bagi Nana telah menjadi mantan istri Mahendra. Nana hanya tidak menyadari putusan hakim belum di ketuk dan mungkin saja gugatannya sudah di tarik kembali.     

"Kenapa kamu masih saja menyita perhatian Hendra," Nana menggenggam kuat handphone tersebut.     

Perempuan ini melalak[1] ingin mencari tahu seperti apa keadaan mantan istri Mahendra.     

***     

"Nona," panggil Herry, menghentikan langkah lesu dua perempuan ingin pergi ke kamar mandi.     

Baru saja berbalik badan, dua laki-laki dengan pakaian rapi menuruni mobil mewah dan jalan bersungut-sungut menuju ke arah dua perempuan yang kini membatu saling melirik satu sama lain. Layaknya anak nakal yang baru di laporkan kepada guru kelas mereka.     

"Dea, bagaimana ini," Aruna di terkam rasa khawatirnya.     

"Mana aku tahu, kau yang lebih lama menikah. Tunjukkan padaku cara merayu suami dengan benar,"     

"Aku tidak pernah merayu suamiku,"     

"Apa lagi aku, baru juga menikah lima hari," dua perempuan ini saling melempar kekhawatiran. Pria di depan, berjalan dengan langkah lebar sudah mulai mendekat.     

Bukan hanya Aruna dan Dea, Lily kedapatan memukul lengan kiri Herry sembarangan, "Kau itu, tukang laporan kayak anak SD tahu," hinanya pada Herry.     

"Saya di gaji untuk itu nona," ucap Herry dengan nada formal, bikin Lily nyegir sendiri.     

"Matilah kita," ucap Aruna. Sedangkan Dea tertangkap menerbitkan kalimat doa, doa untuk meluluhkan hati seseorang[2]. Mulut Dea tak henti bermunajat, dia menunduk dan ingin menangis. Bagaimana bisa baru menikah lima hari menikah sudah terkesan beringas macam begini. Gadis ini menangis karena saking malunya.     

"Dea jangan menangis, ikuti aku dan lihat caraku," entah apa yang ada di otak Aruna, perempuan ini merapikan dirinya sekali lagi. Berjalan lebih percaya diri dan malah menghampiri Mahendra.     

Tiga pasang mata tampak terkejut dengan keberanian perempuan bermata coklat yang tadinya terlihat paling khawatir menghadapi kedatangan suaminya. Mereka yang tertegun tidak memahami akan Aruna yang tahu kelemahan lelaki bermata biru.     

Perempuan ini melompat meraih leher Mahendra dan dengan berani mengecup bibirnya. Lily melongo, seketika tertangkap mata tangan Herry menutupi kaca mata retak Lily.     

Dea yang berjalan mengikuti cara Aruna malah canggung sendiri, Dea tak punya nyali. Akan tetapi pak Surya konsisten lebih penyabar, mengusap kerudung istrinya yang terlihat sudah mau menumpahkan air mata. Sayangnya pria ini tidak mau memeluk Dea, baju Dea terkena tumpahan saos.     

.     

Bukan Hendra kalau dia tidak luluh dengan keberanian Aruna.     

"Melakukan ini supaya aku tidak marah? tidak bertanya-tanya?" dia yang di ajak bicara mengangguk.     

Puluhan kata tanya yang telah di susun neuron Mahendra sepanjang jalan menuju kampus istrinya lenyap seketika. Hanya sampai di tenggorokan dan terteguk lagi, sebab ampuhnya kokain yang di susupkan putri Lesmana.     

.     

.     

"Yah semua pada di jemput, nasibku gini amat," Lily bangkit dari duduknya dan malah di datangi ibu kantin minta ganti rugi.     

Buru-buru Herry mengambil alih kegiatan hitung menghitung total kerusakan yang terjadi.     

Lily sudah berjalan sendiri meninggalkan kantin ketika Herry berlari mengejarnya, "Aku bisa mengantarmu,"     

"Tidak perlu, nanti aku kena sial," belum usai gadis ini menutup mulutnya, dia sudah tersandung batu.     

"Haha, itu bukan kesialan, kaca matamu yang retak perlu di perbaiki," Herry mendahului langkah gadis yang hampir tersungkur, "Kalau mau pulang sendiri tidak masalah sebenarnya. Tapi, jangan salahkan aku ketika kamu menerjang lampu lalulintas."     

.     

.     

"Kenapa aku harus dibungkus kayak gini?" Dea menggerutu.     

"Nanti mobilnya kotor," jawab Surya, "Ayuk masuk," pria dewasa ini membuka pintu mobil sembari menerbitkan senyum ramahnya.     

"Sudah kuduga," lirih kalimat itu di celetukan Dea. Surya yang mendengarnya konsisten tersenyum. Pria formal ini malah lupa yang di belakang kursi pengemudi ada Aruna yang sama kotornya, duduk nyaman tanpa konfrontasi dari siapa pun.     

"Kamu sudah dewasa, titelnya mahasiswa, bisa-bisanya tawuran dengan teman sendiri. Kalau masih Sekolah wajar, ini kampus, isinya para mahasiswa," sambil mengemudi suara Surya memecah kebekuan. Pria tersebut menjelma sebagai dosen pemberi kuliah umum tentang etika berperilaku berdasarkan umur.     

Berkebalikan dengan lelaki bermata biru yang sibuk merapikan istrinya di antara kalimat petuah Surya, bahkan sering kali pria itu kebablasan mengendus pipi Aruna.     

"Masalahnya Vira dan teman-temannya sudah sering membully se-enaknya, mereka sudah kelewat batas" Dea akhirnya bersuara, masih dengan ekspresi malu.     

"Jadi kamu sering di bully? Oleh temanmu?" tanya Surya.     

"Bukan aku, tapi Aruna," ada pendengar yang menghentikan aktivitasnya mencoba memahami pernyataan Dea, "Masak dia panggil Aruna dengan sebutan janda! Dan menyebutku penyuka om-om!" Dea menerbitkan kekesalan.     

"Jahat banget nggak sih, Vira itu!" kembali Dea menggerutu.     

"Kenapa juga Dea marah, kenyataannya memang penyuka Om-om," Surya menimpali.     

"Pak Surya, kok gitu sih?!" Dea merengek.     

"Yang terpenting hidup kita benar-benar bahagia, apa pun yang di ucapkan orang lain. Mereka hanya bisa berkata. Tapi, tidak bisa merasakan apa yang kita rasakan. Maka dari itu kita harus menunjukkan bahwa kita baik-baik saja dengan pilihan kita," mobil yang di kemudiankan Surya berhenti di lampu merah, "Kalau mereka memandang negatif, itu urusan mereka bukan urusan kita," pria tersebut kembali melirik ke arah Dea.     

"Lihat pipimu, sakit kan? Semoga cakarannya tidak membekas," Surya kian mengalirkan hati gadis berhijab.     

"Coba di tahan sedikit emosinya, pasti akan berlalu begitu saja. Tidak akan sampai ada bekas cakaran segala," mendengar kalimat Surya akhirnya Dea menangis.     

"Lho.. kenapa menangis.." Surya kembali mengemudi sambil memperhatikan sisi kanan jalanan. Dia sedang mencari mini market.     

.     

.     

"Kau sering di bully di kampus?" suara dengan intonasi kaku, siapa lagi kalau bukan Mahendra.     

"Nggak juga," Aruna memang begini, menganggap beberapa hal biasa saja.     

"Jangan mengelak, Dea tidak mungkin berbohong," dia yang gelisah, mendesakan pengakuan.     

"Semenjak sidang perceraianku ketahuan teman-teman, selebihnya karena sedikit salah paham," Aruna melirik takut-takut tatapan tajam yang menghunjamnya.     

"Baiklah.. mulai besok akan ada sekelompok orang yang menjagamu,"     

"Hendra! yang benar saja. Tak perlu sejauh itu," suara melengking Aruna terdengar.     

"Atau kau lebih memilih tidak perlu berangkat kuliah," Hendra akhirnya punya alasan menjaga Aruna dengan terang-terangan.     

Embusan nafas lelah Aruna terbit bersama dengan ekspresi keberatan.     

.     

.     

[1] melalak : menyala-nyala, meletup-letup ~secara tiba-tiba     

[2] Doa pelembut hati seseorang versi Dea akan saya share di Instragram story' bluehadyan     

.     

.     

Mohon Bantuannya Kakak-kakak lempar batu kuasa/power stone & review ke novel baru saya SUAMI SEMPURNA: ALTHAR     

__________     

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/     

1. Lempar Power Stone terbaik ^^     

2. Gift, beri aku banyak Semangat!     

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan     

Cinta tulus pembaca yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     

Biar makin seru bacanya follow Instagram => bluehadyan     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.