CINTA SEORANG PANGERAN

Apa Yang Kau Tangisi, Arani.



Apa Yang Kau Tangisi, Arani.

Tanpa sadar Arani mencekal tepian pintu dengan erat, buku - buku jarinya tampak memutih. Nizam melihat Arani hanya terpaku sambil memegang daun pintu dengan keras. Nizam jadi penasaran, Ia memanjangkan lehernya agar bisa melihat ke dalam kamar. Dan seketika matanya ikut berair melihat pemandangan di dalam.     

Di hadapan mereka terlihat Amar sedang berbaring di sofa sambil meringkuk. Ia tampak tertidur sambil memeluk pakaian wanita yang berwarna merah dengan penuh sulaman emas dan hiasan kaca. Di depannya ada meja dengan piring yang bersisi setumpuk ladu yang kelihatannya sudah berjamur. Wajah Amar terlihat letih dengan air mata masih meleleh di pipinya.     

Arani menjadi tidak tahan, Ia tidak jadi masuk dan malah terjatuh duduk dengan lunglai di atas lantai lalu mulai menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan menangis lirih. Nizam menjadi gemetar dan segera menutup pintu ruangan Amar kembali. Ia berdiri menyender di dinding di samping Arani sambil menahan tangisnya yang akan hampir pecah.     

Melihat Amar seperti itu, Nizam malah teringat Alena. Ia hampIR saja bernasib sama dengan Amar yaitu kehilangan istrinya. Mungkin Ia akan lebih sedih dari Amar mengingat Alena sudah memberikannya dua orang anak. Nizam mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang besar.     

Ali dan Fuad tidak melihat apa yang dilihat Nizam dan Arani tetapi melihat roman kedua majikan mereka, mereka jadi bersyukur tidak ikut melihat kejadian yang membuat kedua majikannya itu terguncang.     

Mereka semakin tertekan oleh kesedihan ketika di dengarnya Amar mengigau dari dalam ruangan itu.     

"Zarina.. Zarina. Mana pakaianku ? Aku mau pergi menghadap Yang Mulia.. Zarina mengapa kau malah memelukku. Jangan lakukan ini. Aku sedang ditunggu Yang Mulia. Iya..Aku tahu kalau Kau mencintaiku. Aku juga mencintaimu.     

Zarina.. jangan tinggalkan Aku.. Aku ingin bersamamu selamanya.. Aku kedinginan. Peluk Aku dengan erat.. jangan lepaskan.. Zarina bawa Aku bersamamu. Mengapa Kau meninggalkan Aku. Kemana Aku harus mencarimu.." Amar merintih sambil terisak. Ia tidak tahu kalau di luar ada Nizam dan Arani.     

Arani semakin terisak, air matanya mengalir deras. Seandainya mereka bukan orang yang beriman tentu mereka sudah menyalahkan takdir yang kejam. Tetapi segala sesuatu sudah ada yang mengatur dan manusia hanya sekedar hamba yang menjalani semua takdirnya dengan hati yang ikhlas.     

Arani menggigit bibirnya agar tangisannya tidak terdengar. Nizam sendiri menahan sekuat tenaga agar Ia tidak ikut menangis. Ia memalingkan wajahnya ke luar ruangan dan menatap para penjaga dari kejauhan yang sedang berlatih. Suara pelatih mereka terdengar sayup - sayup.     

Nizam ingin sekali berteriak kepada para penjaga itu agar mereka mengeraskan suaranya sehingga suara ratapan Amar tidak terdengar olehnya tapi apa daya jarak dari ruangan ini ke tempat pelatihan cukup jauh sehingga suara yang sedang berlatih itu hanya terdengar sayup - sayup.     

Setelah beberapa saat suara Amar tidak terdengar, Sehingga kemudian Nizam segera melihat ke arah pintu yang tadi sudah ditutup lagi. Nizam tadinya ingin pergi dan tidak jadi menemui Amar tetapi kemudian Ia berubah pikiran karena tidak mau membiarkan Amar berlarut - larut dalam kesedihannya.     

Sehingga kemudian Ia memerintahkan penjaga yang berdiri di depan Pintu Amar untuk memberitahukan kedatangannya kepada Amar. Penjaga - penjaga yang ikut larut dalam kesedihan itu segera berdiri dengan tegak dan berteriak,     

"Yang Mulia Pangeran Nizam datang untuk menemui Jendral Amar" Teriaknya dengan lantang. Amar yang memang sudah terlelap kemudian terbangun karena bermimpi tentang istrinya tersentak kaget. Ia segera meloncat dari sofanya dan dengan panik Ia mengambil pakaian pengantin yang dikenakan Zarina pada saat pernikahan mereka lalu menyimpannya di dalam lemari.      

Ia juga segera mengamankan ladu - ladu itu ke dalam kulkas dan kemudian mengusap air mata yang masih berjejak di pipinya yang semakin tirus. Amar ini memang tidak memiliki tubuh yang terlalu besar. Untuk ukuran orang Azura Ia termasuk bertubuh ramping walaupun tetap berbadan kekar.      

Kematian Zarina membuat badannya semakin kurus dan berwajah semakin tirus. Ia kehilangan gairah hidupnya walaupun Ia masih melaksanakan kewajibannya melatih dan memimpin serta bertanggung jawab terhadap seluruh keamanan istana. Seharusnya peristiwa keracunan Putri Kumari bisa dicegah kalau seandainya Amar dalam keadaan normal tetapi memang tidak adanya Arani, Imran dan Amar membuat keamanan istana menjadi sedikit longgar.     

Walaupun Amar ada tetapi kondisinya yang sedang terpuruk membuat kerjanya tidak maksimal. Dan Nizam tidak bisa menyalahkan itu. Mungkin kalau seandainya Ia belum menikah Ia bisa bertindak kejam kepada Amar dan mengatainya sebagai orang yang tidak profesional. Tetapi karena Ia sekarang sudah menikah dan memiliki Alena yang sangat Ia cintai membuat Nizam bisa merasakan kepedihan yang dirasakan Amar.     

Amar tidak tahu kalau Nizam sudah melihat kondisinya sehingga Ia malah berpura - pura tidak ada kejadian apa - apa. Amar menghela nafas dan mencoba mengubah raut wajahnya menjadi datar dan sedikit riang. Ia kemudian membuka pintu lalu memberikan salam kepada Nizam sambil membungkukkan badannya dengan hormat.     

"Assalmualaikum Yang Mulia. Silahkan masuk. Hamba sungguh tidak mengira jika Yang Mulia datang berkunjung kemari. Padahal Hamba siap dipanggil kapanpun juga" Kata Amar sambil tersenyum.      

Nizam melihat wajah Amar yang sedang bersandiwara itu. Sungguh Amar tidak mengetahui kalau Nizam dan Arani tahu kalau tadi Ia meratap dalam kesedihan. Nizam melangkah masuk sambil menepuk bahu Amar berkali - kali.     

"Tidak apa - apa Amar, Aku hanya ingin kau menemui seseorang.." Kata Nizam. Amar tertegun sambil bertanya hati - hati. " Menemui seseorang ? Siapa Yang Mulia?" kata Amar sambil melihat keluar dari dalam ruangannya tetapi Ia tidak melihat siapapun kecuali penjaganya dan penjaga Nizam, Ali dan Fuad.      

Arani tidak terlihat karena masih terduduk di lantai. Dan ketika Arani bangkit berdiri kemudian memperlihatkan badannya ke Amar barulah Amar tahu siapa yang hendak menemuinya.     

Sesaat Ia menatap Arani yang berwajah sembab. Mereka berdua kemudian saling berpandangan. Muka Arani yang teramat sedih itu membuat Amar menjadi muram. Dan ketika kemudian Ia melihat bulir - bulir air mata meluncur membasahi pipi Arani, Amar semakin muram. Ia tahu Arani sedang bersedih dan Amar tahu kalau Arani sedang menangisi nasibnya.     

Amar tidak ingin bersedih di hadapan kedua orang yang sangat Ia hormati itu.     

"Ada apa denganmu Arani ? Apakah Kau sedang bersedih. Kau sedih karena rindu kepadaku? " Kata Amar mencoba bercanda tetapi Ia tidak melihat Arani marah seperti biasanya kalau Ia mengajak Arani bercanda. Arani hanya menatap Amar dengan sedih dan tanpa bisa ditahan lagi Arani berlari dan memeluk Amar.     

"Aku ikut berduka atas kematian istrimu" Kata Arani sambil terisak lagi dan kali ini Amar tidak ingin menutupi kesedihannya lagi. Ia balas memeluk Arani dan menangis dengan suara keras. Nizam tidak ingin mencegah kedua bawahannya itu. Ia hanya duduk di atas sofa sambil memperhatikan Amar dan Arani dengan perasaan yang membeku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.