CINTA SEORANG PANGERAN

Kau Harus Menikah Lagi, Amar !



Kau Harus Menikah Lagi, Amar !

Amar seperti mendapatkan tempat untuk mencurahkan tangisannya yang Ia tahan selama ini. Ini adalah barak para penjaga tempat orang berbadan kuat dan bermental baja. Jadi Amar tidak mungkin mendengarkan ratapan tangisannya ke luar. Tapi kali ini Ia sudah tidak tahan lagi. Ia tidak tahan dengan kesedihannya. Ketika Ia bersama yang lain, Amar masih bisa menahannya tetapi kalau sendirian Ia jadi teringat terus dengan Zarina. Semakin lama bukannya semakin lupa malah semakin ingat.      

Apalagi melihat Arani, mereka biasanya bersama - sama berempat. Amar, Arani, Imran dan Pangeran Rasyid tetapi dengan Pangeran Rasyid mereka ada jarak karena Pangeran Rasyid adalah jendral dari kalangan Pangeran. Jadi mereka bertiga lebih akrab dan dekat. Mereka selalu berlatih bersama dan terkadang saling adu ketangkasan sebagai bentuk latihan yang dapat mengasah keterampilan ilmu bela diri mereka. Jadi melihat Arani Ia jadi ingin menumpahkan kesedihannya kepada Arani     

"Aku kehilangan istri yang sangat Aku sayangi. Aku mencintainya dan kami baru saja menikah. Aku masih ingin bersamanya. Arani.. Aku sangat ingin ikut dengannya. Arani Ia sekarang tidak ada disisiku. Zarinaku sudah pergi meninggalkan Aku dan Aku tidak bisa menemuinya lagi. Kemana Aku harus mencarinya Arani.     

Dan yang paling menyakitkan, kematian istriku karena dibunuh oleh sahabatku sendiri. Sahabat yang sudah Aku anggap sebagai saudara sendiri. Sahabat tempat berbagi suka dan duka. Bagaimana bisa Ia mengkhianati kita dan membunuh istriku. Ya Tuhan.." Amar semakin erat memeluk Arani. Arani mengusap punggungnya dengan sedih.     

"Menangislah Amar.. sepuas hatimu. Tapi berjanjilah kalau ini akan jadi tangisanmu yang terakhir " kata Arani sambil ikut meneteskan air mata.     

"Tetapi mengapa Arani ? Aku ingin puas menangisinya bahkan bila perlu sampai Aku bisa menyusulnya maka Aku akan terus menangis" Kata Amar sambi membenamkan mukanya ke bahu Arani.      

"Jangan Amar, Kalau kau terus menerus menangis maka kau akan membuat Zarina tersiksa di alam baka. Kuatkanlah.. Kami sudah kehilangan Imran dan jika kami harus kehilanganmu juga walaupun secara fisik kau ada disamping kami tetapi kalau kau seperti ini, Itu sama saja kami kehilanganmu" Kata Arani sambil merenggangkan pelukannya. Amar menghapus air matanya yang masih menetes.     

Amar menyadari kebenaran perkataan Arani sehingga kemudian Ia langsung berlutut dihadapan Nizam dan menempelkan keningnya ke lantai.     

"Hamba mohon ampun Yang Mulia. Sungguh hamba bukan prajurit gagah yang tabah dengan penderitaan pribadi. Tetapi ternyata hamba begitu rapuh. Hamba bersedia menerima hukuman dari Yang Mulia " kata Amar masih sambil terisak.     

Nizam hanya menghela nafas dan kemudian berkata dengan nada berat,     

"Kalau kau masih ingin menangis, menangislah ! Aku sama sekali tidak ingin melarangmu untuk bersedih tetapi apa yang dikatakan oleh Arani adalah benar. Kalau kau memang mencintai istrimu itu, bukan dengan menangis sepanjang hari. Yang mati sudah takdirnya dan tidak akan bisa bangkit lagi.     

Tetapi bagi yang masih hidup, kehidupan akan berlangsung terus. Menangis terus menerus hanya memperlihatkan kalau kau seakan tidak menerimakan takdirmu. Amar bangkitlah dan buat Zarina tenang di alam sana. " Kata Nizam sambil memegang bahu Amar dan menyuruhnya untuk bangun.     

Amar bangun kemudian duduk di atas kursi sambil menundukkan kepalanya. Nizam sudah berulang kali memberitahukan dan menasehatinya untuk tabah tetapi Ia masih tidak bisa melupakan Zarina.     

"Terus terang, tadinya Aku mengira kalau kau sudah bisa menerimakan kehilangan Zarina tetapi ketika melihat kondisimu saat ini Aku ternyata salah. Kau masih belum bisa melupakan Zarina" Nizam menghela nafasnya.     

Amar tertunduk dengan hati terluka. Ia menyesal telah mengecewakan Nizam.     

"Hamba bersalah Yang Mulia. Hukumlah hamba " Kata Amar sambil semakin menciut karena sedih.     

Arani ikut duduk di samping Amar dan menatapnya dengan pandangan sama sedihnya. Seumur hidupnya Ia belum pernah merasakan kesedihan yang seperti ini. Ketika Ia melihat Nizam meratapi Alena pada saat Nizam sudah mencambuknya Ia masih tahan karena Ia masih belum yakin kalau Alena tidak bisa bangun lagi. Tetapi Amar memang benar - benar kehilangan istrinya.      

Betapa Arani sangat memahami kesedihan Amar, mengingat Ia sendiri begitu panik ketika Jonathan tertembak kemarin. Arani hanya bisa menatapnya dengan pandangan iba. Ia sama terpukulnya dengan Amar. Ia kehilangan Imran dan kehilangan kekuatan dari Amar. Bagaimana Ia tidak terluka. Ia sama terlukanya dengan Amar.     

"Amar apakah kau percaya kepadaku ?" Nizam berkata dengan hati - hati kepada Amar. Amar mengangkat wajahnya dan kemudian memandang Nizam yang sedang menatapnya dengan tajam. Arani jadi ikut memandang Nizam.     

Otak Nizam sering penuh kejutan seperti Alena tetapi kalau ide Alena sering nyeleneh dan tanpa perhitungan. Kalau ide Nizam tentu penuh dengan analisa. Amar langsung tidak enak hati, kemungkinan Nizam akan menyuruhnya melakukan sesuatu. Dan itu membuat Amar jadi takut. Ia lebih suka Nizam berkata kalau Dia akan menghukum Amar daripada mengatakan kalimat itu.     

Ketika Nizam memintanya untuk percaya kepadanya kemungkinan Nizam akan memintanya melakukan sesuatu yang tidak Ia sukai. Tetapi Amar tidak bisa berkata tidak kepada Pangeran Putra Mahkota Azura. Ia adalah bawahan Nizam. Ia adalah seorang jendral di bawah kepemimpinan Nizam langsung. Mana mungkin Ia menolak keinginan Nizam. Makanya sambil tegang, Amar menjawab,     

"Tentu saja Yang Mulia. Hamba adalah bawahan Yang Mulia" Kata Amar lagi. Nizam tersenyum dan berkata lagi.     

"Percayalah, Aku melakukan ini karena Aku sangat menghargaimu dan menyayangimu. Aku sudah kehilangan Imran dan Aku tidak ingin sampai kehilanganmu juga. Aku tahu kau sangat mencintai Zarina dan Aku yakin sampai kapanpun kau tidak akan melupakannya.      

Tetapi sekali lagi, benar - benar tidak baik terus menerus bersedih. Kau butuh seseorang bersamamu untuk mengusir kesedihanmu.." Nizam berkata peralahan. Sampai perkataan ini, Amar langsung tercekat dengan leher hampir tercekik. Ia sudah tahu kemana arah pembicaraan Nizam. Kalau Nizam sudah mengatakan Ia butuh seseorang, hanya ada satu yang harus Ia lakukan yaitu menikah lagi.     

"Yang Mulia Hamba belum siap.."      

"Aku tidak meminta kesiapanmu. Aku hanya ingin ada teman disisimu... teman yang akan membantumu melupakan Zarina."     

"Yang Mulia, hamba mohon. Hamba sungguh belum siap.." Amar memelas. Bagaimana bisa Ia menikah lagi kalau kuburan Zarina belum kering.     

"Aku mengerti apa yang kau rasakan. Aku hanya ingin membantumu untuk melupakan Zarina. Kau tahu kesendirian adalah hal yang fatal saat kita ditinggalkan oleh seseorang yang kita sayangi. Kesendirian akan mendorongmu untuk semakin mengingatnya. Jadi Kau tidak boleh sendiri. Amar demi Tuhan, kau harus bangkit.     

Menikahlah ! Dan mulai hidup baru," Kata Nizam membuat Amar jadi salah tingkah. Ia ingin sekali menolak keinginan Nizam tetapi Ia tidak berani.     

"Bagaimana bisa. Yang Mulia ?" Amar masih berusaha meyakinkan Nizam agar tidak menikahkannya. Tetapi Nizam menggelengkan kepalanya. Amar jadi menghela nafas panjang. Ia tidak bisa mengelak lagi sekarang.     

"Tetapi dengan siapa hamba harus menikah ?" Amar akhirnya berkata perlahan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.