THE RICHMAN

The Richman - Leah\'s Rebellion



The Richman - Leah\'s Rebellion

"Beri aku satu alasan mengapa anda membatalkan ijinku ke Nevada." Leah menatap Ben dengan berani.     

"Tidak perlu ada alasan, tidak berarti tidak. Aku akan mentransfer seratus kali lipat dari harga tiketmu, diam dan tetap bekerja." Ben bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke ruang kerjanya. Sementara Leah masih tak percaya untuk apa yang baru saja dia dengar.     

"Dasar otoriter!" Gumamnya kesal, sebelum akhirnya melanjutkan pekerjannya. Sementara itu tak berapa lama Adrianna datang ke rumah itu sendiri, tak bersama suaminya. Tujuan utamanya langsung ke kamar ibunya.     

"Hi . . ." Sapanya, kali ini Adrianna terlihat lebih ceria.     

"Hai sayang . . ." Richard memeluknya sekilas. "Bagaimana keadaanmu?"     

"Aku baik-baik saja dad. Hari ini Aldric sangat sibuk dan pulang larut, jadi aku memutuskan untuk menginap di sini saja malam ini." Ujarnya.     

"Apa semua baik-baik saja?" Alis Richard berkerut matap mata puterinya itu. "Ya. semua baik-baik saja Dad." Adrianna segera menghampiri Christabell dan wanita itu membuka matanya saat Adrianna menyentuh tangannya.     

"Hai . . ." Sapa Adrianna dan Christabell tersenyum lemah menatap puteriya itu. Adrianna tidak mengatakan apapun, dia hanya meletakkan tangan ibunya itu di atas perutnya yang mulai membuncit. Christabell menatapnya dengan mata berkaca-kaca meski tak bicara, tangan lemah dan keriputitu mengusap-usap perut buncit Adrianna dengan lembut lalu tersenyum.     

Tangan keriput Christabell bergetar berusaha menyentuh wajah Adrianna, hingga akhirnya Adrianna merunduk agar ibunya lebih mudah menyentuhnya.     

Christabell tua tersenyum lemah sekali lagi, dengan suara yang hampir tak terdengar dia berbisik, "Dia akan menjadi pria yang gagah dan tampan." Ucapnya, seketika mata Adrianna berkaca-kaca, dia mengangguk berkali-kali lalu mengecup kening ibunya itu.     

"Istirahatlah." Bisik Adrianna, sejurus kemudian christabell kembali memejamkan matanya. Setelah menemui ibunya, Adrianna berniat untuk membawa tasnya ke kamarnya. Kamar yang dia gunakan sampai dia tumbuh remaja dan sampai sekarang hampir tak pernah dia gunakan lagi. Saat Adrianna masuk ke kamar itu, Leah tampak berada di situ bersama Mala untuk membenahi kamarnya.     

"Hai. . ." sapa Adrianna ramah, hampir dua bulan terakhir dia tidak datang langsung kerumah ini hingga Adrianna tak tahu bahwa ada dua orang baru yang di pekerjakan di rumah ayahnya itu.     

"Selamat sore nyonya." Sapa Mala ramah, sementara Leah tersenyum ke arah Adrianna dengan ramah.     

"Aku baru melihat kalian." Ujar Adrianna.     

"Ya, kami baru di di rumah ini. Aku Mala dan ini Leah, perawat nyonya Anthony." Ujar Mala dan Leah sembari bergantian menyodorkan tangan pada Adrianna untuk berjabat. Adrianna menjabat tangan mereka bergantian lalu memilih untuk keluar lagi dari kamar itu.     

"Tolong di rapikan ya." Ucap Adrianna dan kedua wanita itu tersenyum sembari mengangguk.     

"Thanks, aku akan menemui Ben, ada yang tahu Ben di mana?" Tanya Adrianna kembali.     

Mala diam, dia tampak menahan senyum sementara Leah terpaksa menjawab, "Dia ada di ruang kerjanya." Jawab Leah.     

"Ok. Thank you." Adrianna meninggalkan kamarnya dan berjalan menuju ruang kerja Ben, sementara Adiknya itu tampak sibuk bekerja di dalam ruangan terlihat dari pintu yang setengah terbuka.     

Tok Tok, Adrianna mengetuk, kepalanya menyembul dari balik pintu saat Ben menoleh ke arah datangnya suara.     

"Apa yang kau lakuka di situ, masuklah." Ujar Ben, dan Adrianna masuk lalu mendekat ke arah Ben, hingga akhirnya kakak adik itu berpelukan.     

"Bagaimana kabarmu?" Tanya Ben.     

"Baik, maaf aku baru sempat datang lagi setelah hari itu."     

"Aku tahu, Aldric memberitahuku jika kehamilanmu cukup rewel karena kau harus bedrest dua minggu di rumahsakit."     

"Ya, tapi semuanya sudah lebih baik sekarang." Ujar Adrianna. "Oh ya, aku baru saja bertemu dengan dua orang asisten rumahtangga yang baru, mereka sedang membereskan kamarku."     

"Oh. . . Mala dan Leah." Jawab Ben singkat, ekspresinya berubah menjadi kesal saat menyebutkan nama dua gadis itu.     

Adrianna mengangguk, "Leah tampak masih sangat muda, dia juga cantik. " Pujinya.     

Ben menghentikan aktifitasnya dan menatap pada sang kakak, "Apa kau berpikir seperti itu?" Alis Ben bertaut, dan Adrianna justru dibuat binging karenannya.     

"Ya dia memang cantik, senyumnya manis dan tampak begitu lugu."Adrianna mengulang pujiannya. "Kau tidak tertarik pada gadis itu?" Goda Adrianna, Hal itu membuat ekspresi Ben mendadak berubah menjadi serius. "She is not my type." Jawab Ben sok serius, dia segera pura-pura sibuk. Adrianna berjalan ke arah sofa lalu rebah di sana dengan posisi setengah terduduk. "Oh sofa ini nyaman sekali, kau baru membelinya hah?" Tanya Adrianna.     

"Itu salah satu produk perusahaanku." Ujar Ben.     

"Really?" Mata Adrianna membulat. "Aku baru tahu perusahaanmu sekarang merambah ke bidang Furniture." Ujar Adrianna.     

"Bukan skala besar, kami bekerjasama dengan arsitek dan para design interior untuk membuat furniture minimalis custom, made by order. Jadi bisa di bilang tidak akan ada dua produk sama dalam proses pabrikasinya." terang Ben.     

Adrianna menatap adiknya Ben yang kini memilih duduk si sisi lain sofa, mendekat padanya, "Mengapa kau bersusah payah membangun bisnismu sendiri sementara bisnis daddy sudah berkembang besar dan kau bersikeras tak ingin menjadi bagian dari itu." Tanya Adrianna, kakak beradik ini sebnarnya cukup dekat, hanya saja tak banyak waktu yang mereka habiskan untuk bicara dari hati ke hati seperti ini.     

"Biarkan Aldric mengurusnya, lagipula aku berbeda darimu. Kau perempuan, sedangkan aku laki-laki, keinginanku dan egoku untuk berdiri di kakiku sendiri lebih besar dari apapun." Jawab Ben.     

Adrianna menghela nafas dalam, dia mengusap perutnya, "Bagaimana menurutmu?" Tanya Adrianna mengambang.     

"Apanya?" Alis Ben bertaut menatap kakaknya.     

"Soal mommy?" Tatapan Adrianna jelas penuh dengan kesedihan saat mengatakan soal ibunya.     

Ben melipat tangannya di dada, sekilas rahangnya mengeras, "Kita tidak bisa berbuat banyak." Jawabnya pasrah.     

"Bagaimana soal Dad?" Tanya Adrianna lagi, dan itu membuat Ben menoleh ke arah kakaknya. "He's Richard Anthony." Ujar Ben bangga pada ayahnya, "Lover, strong, wise, don't worry about him, He know the situation." Jawab Ben, memang benar apa yang dikatakan oleh Ben. Richard seorang pecinta, kuat dan bijaksana, tidak perlu menghawatirkan Rich karena pria itu tahu betul bagaimana kondisi isterinya dan akan seperti apa akhrinya. Sekarang ini Richard justru tengah begitu menikmati setiap detik berada dekat dengan cinta sejatinya.     

"Cinta mereka begitu besar." Gumam Adrianna.     

"Ya." Jawab Ben setuju. "Jika ada ke ajaiban dunia yang ke sekian, mungkin mereka harus masuk di salah satu daftarnya." Seoroh Ben.     

Adrianna menatap jauh ke depan, tatapnnya bahkan tampak kosong. "Aku bahkan tak yakin bisa meniru mereka." Ungkapnya tersirat, sontak Ben menoleh ke arahnya. "Apa kau sedang bertengkar dengan Aldric?" Tanya Ben pada sang kakak.     

Adrianna sontak memegangi kepalanya, "Entahlah, kami sering sekali berselisih paham." Jawab Adrianna.     

"But he loves you so much."     

"I know." Adrianna mengangguk. "Or . . . I don't know." Gelengnya.     

Ben menghela nafas dalam. "Mungkin kehamilanmu berpengaruh pada kondisi emosimu, aku tidak menyarankanmu untuk mengambil keputusan di saat-saat emosimu sedang labil seperti sekarang." Ujar Ben bijak.     

"Bagaimana denganmu, kau tidak mengencani seorang gadis pun?" Tanya Adrianna.     

"Aku terlalu sibuk.'' Jawab Ben cepat.     

"Atau terlalu bodoh." Sangkal Adrianna cepat, dan itu membuat Ben tersenyum.     

Adrianna menoleh ke arah adiknya itu, "Leah gadis yang manis, dia juga terlihat penurut."     

Ben tersenyum, "Itu karena kau belum mengenalnya." Ujar Ben. "Sebelum kau datang dia membentakku." Ujar Ben kesal dan itu membuat Adrianna terbahak.     

"Kau serius?" Tanyanya.     

"Pelankan suaramu atau dia akan mendengar obrolan kita." Protes Ben.     

"Dasar bodoh, mengapa dia sampai membentakmu?" Tanya Adrianna yang masih sibuk menahan tawa.     

Ben menghela nafas dalam, dia bangkit dari tempatnya duduk dan menutup pintu ruang kerjanya dengan rapat, saat berjalan kembali ke sofa dia mulai menjawab. "Aku melarangnya kembali ke Nevada dan dia memintaku membayar ganti rugi sepuluh kali harga tiket pesawat yang sudah dibelinya."     

"Wow . . ." Adrianna manggut-manggut meski dalam hatinya dia masih tertawa terbahak mendengar penuturan adiknya itu.     

"Mengapa kau melarangnya ke Nevada?" Adrianna menelisik penyelasan Ben sebelumnya.     

"Dia akan dijodohkan dengan anak teman ayahnya."     

Adrianna menyipitkan matanya ke arah sang adik, "Dan kau melarangnya pulang, apa kau gila Ben Anthony?!" Adrianna memukul lengan adiknya itu. "Kau baru saja membuat rencana pernikahan seorang gadis gagal tanpa alasan." Protes Adrianna.     

"Aku tidak punya cara lain." Keluh Ben singkat.     

Alis Adrianna terangkat sekilas, "Kau menyukainya?" Tanya Adrianna sembari mengukur ekspresi adiknya itu. Ben bukan tipe pria yang suka berganti pasangan meski dia tampan dan mempesona pada dasarnya. Tentu saja semua ketampanan dan pesonanya itu dia warisi dari ayahnya Richard Anthony, tapi sayangnya Ben tak sepandai Rich dalam menakhlukan wanita. Bahkan ketika dia benar-benar menyukai perawat ibunya sendiri Ben tak bisa tegas mengatakannya.     

"Kau barus belajar banyak dari daddy, berhenti jadi pria payah Ben!" Adrianna bangkit berdiri dan meninggalkan ruang kerja Ben, dia tampak masih tertawa sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan ruang itu.     

***     

Leah tampak berada di ruangan loundry, dia baru saja membawa pakaian kotor milik Christabell ke ruangan itu untuk di cuci. Mendadak Ben masuk, karena sejatinya Ben sudah mengikuti Leah sejak keluar dari kamar ibunya.     

Cekrek, Ben mengunci pintu ruangan loundry hingga tak ada seorangpun yang bisa masuk karena itu pintu terkunci dari dalam. Leah terlonjak saat mendengar bunyi pintu terkuncihingga keranjang pakaian kotor di tangannya ikut terjatuh. Gadis itu menelan ludah, tangannya gemetaran dan dia tampak ketakutan, apalagi saat Ben terus merangsek mendekat padanya, hingga Leah tak memiliki pilihan lain selain menarik dirinya mundur, dan terus mundur sampai tak ada lagi ruang untuknya, dia terhimpit diantara tembok dan tubuh Ben.     

Leah membuang pandangan, dia tahu betul bahwa bosnya itu sangat marah padanya, tapi rencana kepulangannya ke Nevada juga memiliki alasan yang kuat, dia ingin menjenguk ayahnya, dan Ben jelas mengada-ada soal alasan dia tak mengijinkan Leah mengambil cuti minggu depan.     

"Apa yang anda inginkan?" Desis Leah, dia berusaha mengumpulkan sisa-sisa tenaganya untuk memberontak pada bosnya itu.     

"Menurutmu apa?" Ben berkata diantara sela-sela giginya yang teraktup.     

Leah menghela nafas dalam tapi tak berani menghembuskannya kasar, "Aku benar-benar harus pergi ke Nevada Sir, ini sangat penting untukku." Kini tidak ada cara lain selain memohon, karena jika dia memberontak Ben mungkin saja akan bertindak kasar padanya sementara tak ada orang yang bisa mendengar karena ruangan loundry ini letaknya paling ujung dan sangat jarang didatangi. Mala hanya masuk keruangan ini seminggu tiga kali untuk mencuci pakaian dan hari ini jelas bukan jadwal Mala mencuci.     

"Apa kau sudah yakin dengan keputusanmu?!" Tanya Ben tegas.     

"Ya." Angguk Leah dengan gemetaran.     

"Apa kau yakin perjalanan ini akan berakhir baik untukmu?" Ben mendesak.     

"Ya." Leah mengangguk lagi.     

"Apa kau sudah mengenal pria itu?" Tanya Ben. Ben benar-benar berpikir bahwa kebohongan Mala soal rencana perjodohan Leah dengan sorang pria asing di Nevada itu sesuatu yang nyata.     

Leah menautkan alisnya, dalam hati dia bertanya apa maksud Ben dengan bertanya demikian. Tentu saja dia sangat mengenal pria yang akan di kunjunginya, dia adalah Marco, ayahnya sendiri. "Ya, tentu saja aku mengenalnya." Jawab Leah.     

Sorot mata Ben menjadi gelap, "Kau mencintainya?!" Katanya dengan penuh penekanan dan Leah yang ketakutan mengangguk, tak berani mengeluarkan suara.     

"KAU MENCINTAINYA?!" Bentak Ben dan Leah mengangguk lagi. "Ya . . ." Jawabnya lirih.     

"Shit!" Ben menghantam dinding di sisi Leah hingga tangannya memar, tapi Ben menahan rasa sakit itu demi gengisnya, sementara Leah berdiri dengan gemetaran di sebelah Ben, matanya mulai berkaca, tenggorokannya seolah tersumbat batu besar dan wajahnya memanas. Sejurus kemudian air matanya berjatuhan.     

"Ayahku sakit, dan aku hanya ingin menemuinya setelah bertahun-tahun kami tidak pernah bertemu." Ujar Leah di tengah isakannya, "Mengapa anda tidak berperasaan sama sekali dengan melarangku menemui ayahku sendiri?" Leah menatap Ben yang berdiri menjulang di hadapannya, sementara tubuh Leah yang tak terlalu tinggi itu tampak begitu mungil dan rapuh.     

Rahang Ben mengeras sekilas, "Apa maksudmu dengan mengunjungi ayahmu?" Tanya Ben kikuk, setelah semua emosi yang dia keluarkan sekarang dia menjadi bingung dengan pernyataan Leah. Gadis itu mengusap air matanya.     

"Jika anda percaya pada Mala bahwa kepulanganku untuk menikah dengan pria yang dijodohkan padaku, itu tidak benar. Mala bercanda soal itu, dan anda menganggapnya serius." Jawab Leah. "Aku mendapatkan kabar bahwa ayahku menjalani operasi ginjal dan di rawat di rumahsakit. Tapi aku tahu bahwa pekerjaanku tidak bisa kutinggalkan begitu saja, aku sudah menghubungi yayasan dan meminta pengganti selama aku cuti." Tutur Leah menggebu-gebu. "Aku tidak ingin meninggalkan Nyonya Anthony begitu saja, aku juga tidak tega meninggalkannya, tapi ini ayahku. Meskipun dia tidak membesarkanku tapi dia ayah kandungku." Ujar Leah dengan tatapan nanar pada Ben, sejurus kemudian gadis itu menunduk.     

"Sorry . . ." Ben tampak menyesal, dengan jari telunjuknya dia menarik dagu Leah hingga mereka bisa saling menatap karena Leah kini mendongak menatapnya. Perlahan tapi pasti Ben merunduk untuk mengecup bibir Leah dengan bibirnya dan gadis itu tidak bisa mengelak, dia hanya memejamkan matanya. Aliran darahnya berdesir saat sesuatu yang hangat dan lembuat menyentuh bibirnya. Leah bahkan tak menolak saat Ben tak hanya mengecup bibirnya tapi juga melumatnya untuk beberapa saat, sebelum akhirnya melepaskan Leah dan mereka berdiri dalam kecanggungan besar saat ciuman hangat itu berakhir.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.