Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Hanya Seorang Asisten



Hanya Seorang Asisten

"Bukankah kita sudah berjanji, kalau ada sesuatu kita harus menghadapinya bersama-sama?" kata Anya.     

Aiden mengangguk dengan tatapan sedikit bersalah sambil mengelus kepala Anya dengan lembut.     

"Hasil pemeriksaanmu menunjukkan bahwa kamu menderita Twin Transfusion Syndrome dan harus segera dirawat di rumah sakit," Aiden berusaha sekuat tenaga untuk membuat suaranya terdengar tenang. Ia khawatir Anya akan shock mendengar berita ini.     

Anya terperangah sejenak saat mendengarnya. Kemudian, ia memandang ke arah perutnya yang semakin membesar. "Apa yang akan terjadi pada anak-anak kita? Bagaimana cara menyembuhkannya?"     

Aiden mengecup pipi Anya dan mengelus punggungnya untuk menenangkan Anya. "Anak-anak kita baik-baik saja. Jangan panik. Karena kamu sedang mengandung dua anak, salah satunya mendapatkan asupan lebih, sementara yang satunya kekurangan. Dokter harus menjalankan operasi kecil untuk membantu menyeimbangkan nutrisi mereka. Operasinya ringan dan tidak akan ada efek samping."     

"Bagaimana prosedur operasinya? Apakah itu akan melukai anak-anak kita?" Anya tidak memedulikan apakah operasi itu akan menyakitinya atau tidak. Yang ia khawatirkan adalah anak-anaknya.     

Akhir-akhir ini, ia merasakan perutnya yang tegang dan sakit. Tidak disangka-sangka, ternyata ada sesuatu yang terjadi pada anak-anaknya.     

"Aku sudah mengatur dokter terbaik untuk melakukan operasinya. Jangan khawatir, operasinya tidak akan membahayakan anak-anak kita," kata Aiden dengan tenang.     

Tangannya terus mengelus punggung Anya, sementara tangannya yang lain menggenggam tangan Anya dengan erat.     

"Apakah ini salahku? Apakah aku yang membuat anak-anakku sakit?" mata Anya memerah saat mengetahui bahwa anak-anaknya tidak baik-baik saja.     

Aiden menggenggam tangan Anya dengan erat. "Tidak, ini bukan salahmu. Twin Transfusion Syndrome ini terjadi karena anak kita kembar identik, berbagi satu plasenta."     

"Kembar identik?"     

"Benar, kembar identik. Dua anak laki-laki dan mereka akan sama kuatnya dan sama beraninya dengan ayahnya," kata Aiden dengan tegas.     

Air mata mengalir di wajah Anya, tetapi kali ini air mata bahagia. "Kalau begitu anak-anak ini harus sekuat ayahnya. Suatu hari nanti, kalian bertiga harus bisa melindungiku bersama-sama."     

"Sekarang, kita pergi ke rumah sakit ya?" bujuk Aiden dengan lembut.     

Anya merasa sedikit kecewa karena sebenarnya ia menginginkan anak perempuan yang bisa menemaninya, seperti ia dan ibunya. Tetapi sekarang yang lebih penting adalah kesehatan anak-anaknya.     

Ia tidak keberatan memiliki anak perempuan atau laki-laki, asalkan anaknya lahir dengan selamat.     

Malam itu, Aiden mengabarkan kepada keluarganya bahwa Anya dirawat di rumah sakit karena Twin Transfusion Syndrome dan harus segera menjalani operasi.     

Begitu mendengar berita itu, Tara langsung bergegas pergi ke rumah sakit. "Anya, kamu mengandung dua anak laki-laki? Lalu bagaimana dengan anak peremuan?"     

"Tidak ada. Kamu saja yang melahirkan anak perempuan nanti," canda Anya. "Aku hanya ingin anak-anakku lahir dengan sehat, tidak peduli apa jenis kelamin mereka."     

Anya terlihat santai saat mengatakannya, bahkan bisa bercanda di hadapan Tara. Tetapi sebenarnya dalam hati ia merasa sangat khawatir.     

Tara juga seorang dokter, tetapi ia bukan dokter kandungan sehingga ia tidak terlalu mengerti. "Ini semua salahku. Aku kurang pintar dan tidak bisa menemukan gejalanya," kata Tara dengan sedih.     

"Tiga bulan pertama, tidak ada gejala yang terlihat. Twin Transfusion Syndrome ini biasanya terjadi di bulan keempat hingga keenam. Ini bukan salahmu, Tara," kata Anya sambil tersenyum. "Kamu sudah menemaniku dan menjagaku selama ini, membuatku bisa menjaga anak-anak hingga saat ini."     

Mata Tara memerah mendengar kata-kata Anya. ia berjalan menuju ke arah jendela dengan marah dan membuka jendela itu sambil berteriak ke arah langit. "Tuhan, mengapa kamu sekejam ini? Hidup Anya sudah sangat sulit, tetapi kamu masih memperlakukannya seperti ini. Pastikan bahwa kedua anak ini baik-baik saja." Setelah mengeluarkan semua uneg-unegnya, ia bergumam dengan pelan, "Aku akan berpuasa makan daging selama tiga bulan. Aku benar-benar menyukai daging."'     

Anya merasa sangat terhibur dengan tingkah unik sahabatnya itu dan sengaja berkata, "Apakah kamu benar-benar mau berpuasa demi anak-anakku?"     

"Tentu saja. Aku akan melakukan apa yang aku katakan. Mulai hari ini aku tidak akan makan daging yang benar-benar aku sukai. Lagi pula aku juga harus menyiapkan diri untuk punya anak," wajah Tara memerah saat menyadari apa yang ia katakan.     

"Ahhhh … Mempersiapkan kehamilan? Katanya kamu ingin menunda pernikahanmu?" goda Anya sekali lagi.     

"Siapa yang mau hamil? Apakah Tara?" Nico masuk dengan senang sambil membawa buah-buahan dan bunga.     

Tara langsung memelototinya dengan kesal. "Aku mempersiapkan diriku untuk hamil. Tetapi dengan siapa masih belum tahu."     

"Aku sudah mengubah gaya rambutku dan cara pakaianku. Akhir-akhir ini, aku selalu bekerja keras, mengurus masalah yang besar hingga terkecil sekali pun di kantor. Aku benar-benar rajin bekerja dan berjuang …" kata Nico dengan sedih."     

"Kalau Aiden yang mengatakannya, aku mungkin akan percaya …"     

"Seminggu ini, Harris kepikiran masalah Nadine. Nico memang benar-benar bekerja keras dan sangat rajin. Teruskan kerjamu yang bagus!" kata Aiden.     

"Paman, kamu memujiku?" Nico hampir saja melompat karena begitu senangnya.     

"Tenanglah. Lihat dirimu. Sudah sebesar ini tetapi kamu masih terlihat seperti anak TK. Hanya karena dipuji, kamu hampir saja melompat seperti monyet," kata Tara.     

"Jarang-jarang aku mendengar pujian dari pamanku. Ia selalu mengolok dan menghinaku selama ini. Tentu saja aku merasa sangat senang," Nico merasa dirinya akan menggila karena begitu senang.     

Anya memandang ke arah Nico dengan senyum. "Menurutku sifat Nico sangat baik. Lihat saja, tidak sulit untuk menyenangkannya. Hanya perlu memujinya saja."     

"Aku khawatir anakku akan bodoh sepertinya nanti. Kalau sampai itu terjadi, apa yang harus aku lakukan?" kata Tara dengan cemas.     

"Tentu saja anakmu akan seperti aku. Kan aku ayahnya! Jangan sampai anak kita mirip orang lain," Nico bergegas menghampiri Tara, memeluknya dan menciumnya.     

Tepat pada saat yang bersamaan, Nadine dan Harris tiba di depan pintu.     

Saat mereka membuka pintu kamar Anya, mereka melihat Nico sedang mencium Tara di hadapan semua orang.     

Wajah Tara sangat merah, melebihi tomat yang sudah matang. Ia memukul Nico berulang kali, tetapi dengan tidak tahu malunya, Nico malah tertawa.     

"Ugh, tolong buat aku lupa ingatan sekarang juga! Aku ingin melupakan apa yang baru saja aku lihat!" gerutu Nadine dengan kesal.     

Harris hanya tersenyum dan mengelus kepala Nadine.     

"Apa yang membuat kakak sesenang itu?" akhirnya Nadine menyadari senyum lebar di wajah Nico.     

"Nico dipuji oleh pamanmu," jawab Anya sambil tersenyum.     

Nadine mencibir saat mendengarnya. Kakaknya yang bodoh itu bisa mendapatkan pujian dari pamannya. Tetapi bukan berarti ia akan mengakui kemampuan kakaknya.     

"Benarkah? Aku pikir ia akan membuat Atmajaya Group bangkrut."     

"Mana mungkin? Aku sudah bekerja keras. Atmajaya Group tidak akan pernah bangkrut dengan pimpinanku," kata Nico dengan bangga.     

"Harris jauh lebih hebat dari pada kamu," balas Nadine.     

"Kamu …" Nico menatap ke arah Harris, tetapi tidak bisa membalas apa-apa.     

Memang benar apa yang Nadine katakan, kemampuan Harris memang jauh di atasnya.     

Harris sangat pekerja keras, ia bisa melakukan segalanya dengan cepat dan tepat. Tetapi satu yang tidak ia punyai yaitu latar belakang keluarga yang baik.     

"Memangnya kenapa kalau ia lebih hebat? Tetap saja Harris hanyalah seorang asisten!" kata Nico dengan tidak tahu malu.     

Wajah Harris sedikit berubah ketika mendengar hal ini.     

Ia sudah terbiasa mendengar orang-orang menghina latar belakang keluarganya.     

Tidak peduli apa pun yang ia lakukan dengan usahanya sendiri, tidak peduli apa pun yang ia lakukan dengan tangannya sendiri, tidak peduli seberapa hebatnya ia, semua orang akan tetap membahas mengenai latar belakang keluarganya yang tidak mampu mengimbangi Keluarga Atmajaya.     

"Nico, tutup mulutmu," tegur Aiden.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.