Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Negatif



Negatif

"Kamu yang terluka, tetapi malah kamu yang menghiburku. Aku benar-benar egois. Seharusnya, aku tidak membahayakan diriku dan orang-orang di sekitarku hanya karena ingin menangkap Keara." Anya menoleh dan memeluk Aiden dengan sedikit kesulitan karena perutnya yang sudah membesar. "Aiden, maafkan aku. Aku tidak menyangka Keara akan sekejam ini. Aku bukan saudaranya. Bagaimana bisa aku punya saudara sekejam itu?" Karena terus menangis, Anya merasa napasnya tersengal-sengal dan lebih pendek.     

Aiden tidak bisa marah pada Anya saat melihatnya seperti ini. Istri kecilnya ini sudah jauh lebih dewasa dari sebelumnya, tetapi hatinya terlalu baik. Ia tidak menyangka bahwa seseorang bisa berbuat sekejam Keara.     

Kalau begini caranya, bagaimana ia bisa melawan Keara?     

Keara benar-benar sudah gila. Rasa bencinya pada Anya begitu besar hingga ia datang sendiri ke rumah sakit untuk menyakiti Anya.     

Meski ada sesuatu pada pisau itu sekali pun, tidak ada bukti yang bisa menunjukkan bahwa Keara lah yang meletakkan pisau itu.     

"Lebih dari dua puluh tahun yang lalu, Fany Srijaya membakar sebuah panti asuhan untuk membunuh semua anak di sana. Apakah kamu tahu mengapa? Dua tahun lalu Tony mengubah hasil tes DNA-mu, membuat Galih dan Indah salah mengira bahwa kamu telah mati. Apakah kamu tahu mengapa? Bagi Keara, kamu bukan saudaranya. Kamu adalah penghalang yang telah merebut apa yang menjadi miliknya. Jangan anggap bahwa ia adalah saudaramu," kata Aiden dengan tegas.     

"Aku minta maaf, aku benar-benar minta maaf…" Anya terus menerus meminta maaf dan menangis dengan sedih. Hatinya dipenuhi dengan rasa bersalah dan penyesalan.     

Dokter dan para perawat yang berada di ruangan itu langsung dibawa oleh polisi untuk penyelidikan lebih lanjut. Namun, karena tidak ada CCTV di dalam ruangan itu, tidak ada yang tahu siapa yang meletakkan pisau tersebut.     

Salah satu perawat itu yang mengganti alas tempat tidur di dalam kamar tersebut. Saat diselidiki lebih lanjut, polisi menemukan bahwa perawat tersebut menerima uang sebesar 100 juta rupiah beberapa jam yang lalu, yang ditransfer melalui bank.     

Bisa dipastikan bahwa perawat tersebut melakukan hal ini untuk seseorang. Tetapi perawat itu sendiri sama sekali tidak tahu dari mana uang itu dan siapa yang mengirimnya.     

Selain dokter dan para perawat, Keara juga diselidiki lebih lanjut karena ia sempat masuk ke dalam ruangan itu sebelum Anya.     

Keara bilang bahwa saat ia menjalani pemeriksaan, ia juga berbaring di ranjang yang sama dan tidak ada yang terjadi. Mengenai apa yang terjadi setelah ia keluar dari kamar itu, ia sama sekali tidak tahu.     

Berita penyelidikan itu terdengar di telinga Anya pada saat siang hari.     

Ia benar-benar ingin menghajar dirinya sendiri saat merenungkan semua ini.     

Ia merasa sangat bodoh!     

Seharusnya ia tahu bahwa Keara adalah wanita yang licik. Meski ia melakukan kejahatan sekali pun, ia akan menggunakan seribu satu cara untuk menutupinya dan menghindari kecurigaan.     

Tetapi Anya dengan bodohnya membiarkan dirinya dan anaknya berada dalam bahaya. Dengan kebodohannya ini, Anya tidak akan mampu melawan Keara.     

Di malam hari, rumah sakit menelepon, memberi kabar bahwa memang benar di dalam pisau tersebut terdapat virus HIV. Tetapi virus di dalam pisau itu sudah mati karena terlalu lama berada di luar, tanpa adanya udara.     

Dokter bilang pada Aiden bahwa virus tersebut hanya bisa bertahan di dalam tubuh manusia. Saat berada di luar tubuh, virus itu bisa mati dalam beberapa hari.     

Ia mengatakan bahwa Nadine harus menjalani tes untuk memastikan kondisinya dalam satu minggu.     

Tidak hanya sampai di situ saja. Dokter memintanya untuk menjalani tes dua kali untuk memastikan bahwa memang benar tidak ada yang terjadi.     

Kalau hasil keduanya negatif, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.     

Aiden sangat cemas saat mendengar penjelasan dari dokter tersebut. Ia tidak berani memberitahu Anya apa yang dokter katakan karena takut Anya akan merasa sangat bersalah.     

Saat masuk ke dalam kamar, ia melihat Anya sedang duduk dengan ekspresi sedih tanpa melakukan apa pun. Aiden hanya bisa merasa khawatir saat melihat kondisi Anya seperti ini.     

Ia sudah berusaha menghiburnya, tetapi Anya masih tetap tidak bisa melupakan rasa bersalah dan penyesalannya.     

"Anya, barusan rumah sakit menelponku. Dokter bilang bahwa virus itu akan mati kalau berada di luar tubuh manusia. Dokter juga menyarankan agar Nadine menjalani tes antibodi dalam satu minggu," kata Aiden dengan hati-hati.     

"Apakah setelah tes itu, Nadine akan baik-baik saja?" tanya Anya dengan penuh harap.     

Aiden mengangguk.     

Air mata langsung mengalir di wajah Anya. "Aku ingin menemaninya hingga tes itu."     

Nadine meminta ijin untuk libur dari kerjanya selama satu minggu dan menghabiskan waktunya bersama dengan Anya. Ia takut pikirannya akan kemana-mana kalau ia sendirian.     

Anya merasa sangat bersalah dan menyesal sehingga selama satu minggu itu ia tidak bisa tidur dengan tenang.     

Satu minggu kemudian, Aiden meminta dokter untuk datang dan mengambil darah Nadine dari rumah. Aiden takut sesuatu akan terjadi kalau mereka pergi ke rumah sakit lagi. Ditambah lagi kondisi Anya beberapa hari terakhir ini sedikit kurang baik sehingga Aiden tidak mau mengambil resiko. Ia tidak mau Anya tertular penyakit saat pergi ke rumah sakit.     

Karena pengambilan darah itu dilakukan di rumah, Anya dan Nadine terlihat sangat santai. Setelah darah Nadine diambil, mereka masih bisa duduk di sofa sambil menonton TV dan makan buah.     

Mereka berdua berpura-pura tenang dan baik-baik saja.     

Padahal sebenarnya, Anya merasa sangat gugup dan hendak menggila. Tetapi ia takut perasaannya akan mempengaruhi Nadine sehingga ia berusaha untuk menahan diri.     

Sama halnya dengan Nadine. Nadine tahu bibinya itu merasa bersalah sehingga ia berusaha untuk tetap tenang dan ceria seperti biasanya. Padahal sebenarnya ia takut hasil tes itu tidak sesuai dengan harapannya.     

Saat makan malam, Nico dan Harris pulang lebih awal. Tara datang lebih terlambat dari mereka, tetapi ia juga datang lebih pagi dari biasanya.     

Hana tidak tahu apa yang terjadi, tetapi ia bisa merasakan suasana aneh di meja makan. Ada sesuatu yang salah dengan hari ini.     

Semua makanan sudah tersedia di atas meja. Tetapi Tara yang paling rakus sekali pun tidak mengangkat sendoknya.     

"Nadine, jangan khawatir. Semuanya akan baik-baik saja. Meski kamu sakit sekali pun, pengobatan jaman sekarang sudah semakin canggih," kata Nico dengan suara pelan.     

"Nico, lebih baik kamu diam saja. Jangan berkomentar dan membuat suasananya semakin tidak enak," Tara menendang kaki Nico dengan cukup keras.     

"Aku juga khawatir pada adikku. Penyakit semacam ini kalau cepat ditemukan dan ditangani tepat waktu, tidak akan membahayakan."     

Anya yang hanya mendengarkan di samping merasa sangat khawatir saat mendengarnya. Ia hanya bisa berharap Nadine baik-baik saja.     

Aiden terus memandangi ponselnya. Kepala rumah sakit sudah berjanji akan langsung memberitahunya begitu hasilnya keluar.     

Biasanya hasil tes itu akan keluar keesokan harinya. Tetapi karena Aiden yang memintanya, kepala rumah sakit itu bersedia mengirimkannya secepat mungkin.     

Harris menggenggam tangan Nadine erat-erat. Akhir-akhir ini, Nadine selalu menolak sentuhannya.     

Nadine tidak mau dipeluk atau pun dicium olehnya. Ia bahkan tidak berani menggandeng tangan Harris, khawatir akan menularkan penyakit padanya.     

Semakin Nadine berhati-hati di dekatnya, Harris juga semakin menderita.     

Nadine tidak melakukan kesalahan apa pun, tetapi mengapa ia harus menderita seperti ini?     

Waktu terus berjalan, tetapi tidak ada satu orang pun yang menyentuh alat makan mereka. Hana meminta beberapa pelayan untuk membawa makanan di atas meja kembali ke dapur untuk dihangatkan.     

Tepat saat mereka menunggu makanan itu datang kembali, ponsel Aiden berbunyi dan sebuah pesan yang berisi hasil lab muncul bersamaan dengan sebuah pesan suara.     

Kepala rumah sakit : Tuan, jangan khawatir. Kami sudah memeriksanya tiga kali dan hasilnya negatif. Tidak ada infeksi yang terjadi. Kalau Anda masih khawatir, Anda bisa memeriksakannya ulang dalam satu bulan.     

Aiden langsung menghela napas lega. "Apakah kalian dengar? Hasilnya negatif. Satu bulan lagi, aku akan mengatur tes lagi, untuk memastikan bahwa kondisinya baik-baik saja."     

"Paman, tidak usah. Biar Harris saja yang menemaniku ke rumah sakit besok dan mengatur jadwalnya," tangan Nadine menggenggam tangan Harris lebih erat.     

"Baiklah. Ayo kita makan sekarang," kata Aiden.     

Namun, setelah mendengar kabar baik itu, Anya langsung menangis sekeras-kerasnya di meja makan.     

Seminggu ini, ia berusaha keras untuk menahan diri, tidak berani untuk menangis, tidak menunjukkan perasaannya.     

Ia takut Aiden dan Nadine akan mengkhawatirkannya. Ia selalu menyalahkan dirinya sendiri, merasa ketakutan dan merasa menyesal setengah mati. Tetapi ia tidak berani mengatakannya.     

Sekarang, setelah tahu bahwa Nadine baik-baik saja, ia tidak bisa menahan tangisnya lagi.     

Nadine bangkit berdiri dari kursinya dan menghampiri Anya. "Bibi, aku baik-baik saja. Aku senang bibi juga baik-baik saja. Daripada mengkhawatirkan diriku sendiri, aku lebih khawatir bagaimana kalau saat itu aku tidak memeriksa tempat tidur itu dan bibi terluka. Dua tahun lalu, dengan bodohnya aku memisahkan kamu dan paman, membuatmu kehilangan anak kalian. Kali ini, aku menemukan pisau itu dan menyelamatkanmu. Anggap saja kita sudah impas. Jangan merasa bersalah. Aku tidak mau bertemu denganmu kalau suasananya tidak enak seperti ini."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.