Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Terbangun dari Mimpi Panjang



Terbangun dari Mimpi Panjang

Anya langsung mengambil baju Aiden yang tergeletak di lantai dengan panik dan memunggungi Aiden. Melihat punggung Anya yang mulus, tanpa sehelai pakaian pun, Aiden tersentak dan menahan napasnya.     

Aiden menarik benda yang melilit lehernya dan menyadari bahwa benda itu ternyata adalah sweater Anya. Ia tertegun sambil memegang sweater tersebut.     

Anya menunduk dengan malu. sambil tetap berusaha menutupi tubuhnya, ia menghampiri Aiden dan mengambil sweater dari tangannya. Kemudian, ia sekali lagi memunggungi Aiden dan memakainya.     

"Kamu …"     

"Kemarin kamu demam dan kedinginan. Orang-orang di luar tidak peduli kalau kamu mati sekali pun. Tetapi aku tidak bisa melihatmu mati. Kamu terluka karena aku. Jadi aku … Aku hanya menghangatkan tubuhmu. Kita tidak melakukan apa pun," Anya menggoyangkan tangannya berulang kali, takut Aiden akan salah paham.     

Aiden sama sekali tidak mengingat apa yang terjadi semalam. Walaupun ia tidak benar-benar kehilangan kesadaran, tetap saja tubuhnya sangat panas sehingga ia tidak bisa mengingat apa pun.     

"Terima kasih," kata Aiden dengan kaku.     

Anya merasa malu karena Aiden melihatnya tidak berpakaian. Ia hanya mengangguk dan menundukkan kepalanya, kembali duduk di lantai setelah mengenakan pakaiannya.     

Aiden melihat di atas meja hanya tersisa setengah botol air minum dan satu roti. Wajahnya terlihat semakin murung.     

Setelah mengurus Aiden semalaman, Anya merasa lelah dan mengantuk. Ia tidak bisa tidur dengan tenang karena mengkhawatirkan Aiden.     

Ia takut akan berakhir sendirian di sini kalau Aiden sampai meninggalkannya.     

"Makanan yang tersisa hanya segini. Kalau tidak ada yang menyelamatkan kita, kita akan mati kelaparan," setelah minum dua teguk dan mengambil setengah roti, Anya memeluk tubuhnya dan tertidur di atas kardus.     

Aiden mungkin bisa bertahan tanpa makan, tetapi ia butuh minum. Setengah botol saja tidak cukup bagi mereka untuk bertahan.     

Ia memutuskan untuk tetap bertahan.     

Ia yakin Keluarga Atmajaya akan menyelamatkannya. Meski ayahnya tidak mau menyelamatkannya pun, kakak iparnya tidak akan membiarkannya berada dalam bahaya seperti ini.     

Anya tertidur cukup lama, tetapi ia tidak kunjung bangun juga.     

Aiden mengguncangkan tubuhnya pelan, tetapi tidak ada respon sama sekali. Pada saat memegang pundaknya, Aiden baru sadar bahwa Anya sakit.     

Ia memegang dahi Anya. Dahinya terasa sangat panas.     

Aiden memberikan air terakhir di dalam botol itu untuk Anya dan mereka sudah kehabisan air minum.     

Ia menendang pintu depan dan berteriak minta tolong, tetapi tidak ada satu orang pun yang datang. ia bahkan tidak mendengar suara sama sekali dari luar.     

Orang-orang yang menjaga mereka telah pergi. Mereka telah ditinggalkan begitu saja.     

Dibiarkan untuk mati di sana …     

"Anya, bangun. Kamu tidak boleh tidur!" Aiden mengguncangkan tubuh Anya lebih keras. Berusaha untuk membangunkan Anya agar ia tidak kehilangan kesadaran.     

Setelah tidur seharian, walaupun demamnya masih belum turun, Anya merasa sedikit lebih baik.     

"Ada apa?" tanyanya.     

"Orang-orang di luar sudah pergi. Kita bisa mencoba untuk membuka pintunya," Aiden memandang ke arah pintu yang terkunci dan memutar otaknya.     

Ia harus mencari alat yang bisa ia gunakan untuk membuka pintu tersebut dengan paksa.     

"Apakah kamu bisa membuka pintunya dengan paksa?"     

"Bisa, tapi aku tidak punya alatnya," jawab Aiden.     

"Itu sama saja dengan tidak bisa," Anya bangkit berdiri dan menuju ke arah pintu. Ia merasa kepalanya sedikit pusing, tetapi tetap berusaha menyeret tubuhnya menuju ke arah pintu tersebut dan menendang pintunya.     

"Pintu itu terlalu kuat. Kamu tidak akan bisa mendobraknya," kata Aiden.     

"Katamu sudah tidak ada yang menjaga di luar sana. Kita harus segera mencari jalan keluar. Kamu butuh alat apa untuk membuka pintu ini?"     

"Klip kertas, kawat, atau semacam itu." Tetapi di dalam ruangan itu hanya ada kardus bekas dan tong berisi minyak     

Meski ia bisa membuka pintu itu tanpa kunci, kalau tidak ada alat yang bisa ia gunakan, sama saja ia tidak bisa melakukan apa pun.     

Anya mengambil penjepit rambut dari kepalanya dan menunjukkan pada Aiden. "Apakah kamu bisa menggunakan ini?"     

Mata Aiden langsung berbinar, "Mengapa kamu tidak bilang kalau kamu punya alat itu?"     

"Kamu tidak tanya! Aku juga tidak tahu kalau alat ini bisa digunakan untuk membuka pintu. Ditambah lagi, kamu terlihat seperti tuan muda dari keluarga kaya. Aku pikir kamu tidak bisa melakukan hal-hal seperti ini," kata Anya. "Apakah benar kamu bisa membukanya?"     

"Aku akan mencobanya," Aiden tidak tahu apakah penjepit rambut yang Anya miliki itu bisa digunakan untuk membuka pintu.     

Tetapi setidaknya mereka punya harapan sekarang.     

Daripada tidak ada sama sekali …     

"Mengapa mereka semua pergi? Apakah mereka tidak takut kita melarikan diri?" Anya bersandar di dinding dan melihat Aiden memasukkan penjepit itu ke dalam lubang kunci.     

"Mereka sudah tidak membutuhkan kita lagi," Aiden merasakan firasat buruk.     

"Apa maksudnya?" Anya sangat takut saat mendengarnya. "Aku masih sangat muda. Aku belum punya pacar dan aku belum menikah. Aku tidak mau mati!"     

"Jangan berisik!" Aiden menahan napasnya dan menempelkan telinganya ke pintu. Dengan gerakan tangannya, ia mendengar bunyi 'klik' dan pintu tersebut terbuka.     

Anya sangat gembira melihat pintu yang selama ini tertutup rapat itu akhirnya terbuka. Namun, di luar, api berkobar dengan sangat ganas dan asap berhembus di wajah mereka.     

Anya sampai tidak bisa membuka mata karena begitu perihnya.     

Aiden langsung menariknya kembali k edalam dan menutup pintu itu.     

"Mengapa ada api di luar?" kata Anya dengan panik.     

Aiden melihat tong-tong berisi minyak di dalam ruangan itu. Kalau api itu terus berkobar dan merambat ke dalam, tong minyak ini bisa meledak. Ia tidak tahu apakah ada tong berisi minyak di luar. Kalau sampai ada, bagian luar bisa meledak terlebih dahulu.     

Tetapi kebakaran ini membuat asap membumbung tinggi di langit. Pasti akan ada orang yang menyadari keberadaan mereka di sana. Mungkin akan ada orang yang melaporkan kebakaran ini …     

Tetapi apakah mereka bisa bertahan sampai ada seseorang yang menyelamatkan mereka?     

"Saat ini, tempat ini adalah yang teraman. Tunggu di sini, aku akan memeriksa keadaan di luar," Aiden menepuk pundak Anya.     

"Kamu … Kamu harus kembali untuk menyelamatkanku. Aku takut di sini sendirian," suara Anya gemetaran.     

"Kamu sudah menyelamatkanku kemarin malam. Aku pasti akan kembali untuk menyelamatkanmu," Aiden menutupi mulut dan hidungnya dengan lengan bajunya dan kemudian membuka pintu dan bergegas keluar.     

Sesaat kemudian, terdengar suara yang keras dari luar. Anya bisa merasakan tanah di bawahnya bergetar.     

Ketika kembali ke dalam, baju Aiden sudah terbakar. Ia bahkan harus berguling di tanah untuk mematikan api yang masih menyala.     

Anya melihat sebagian kulit Aiden merah dan terbakar.     

Melihat keadaan yang semakin parah, Anya merasa semakin tegang dan panik. "Bagaimana di luar?"     

"Gerbangnya terkunci dengan rantai. Kita tidak bisa keluar kecuali …" saat Aiden hendak menyelesaikan kata-katanya, sebuah suara ledakan kembali terdengar, menyebabkan dinding bagian luar di ruangan mereka mulai retak.     

Melihat retakan itu, Aiden langsung mengambil apa pun yang bisa ia gunakan untuk memukulnya berulang kali.     

Ia memukulnya terus menerus dengan segenap kekuatannya, membuat dinding bagian atasnya berlubang. Cahaya bisa masuk dari lubang kecil itu.     

Aiden menggunakan sebuah tong minyak sebagai pijakan dan naik ke atas untuk memukuli lubang tersebut. Lubang itu semakin membesar, cukup untuk dilewati satu orang.     

"Ayo cepat memanjatlah lewat lubang ini," Aiden mengulurkan tangannya pada Anya.     

Begitu melihat lubang yang disinari cahaya itu, Anya seperti melihat sebuah harapan.     

Ia langsung memanjat tong minyak yang digunakan Aiden. Kemudian, Aiden menggendongnya dan membantunya untuk naik ke atas.     

Anya memegang dinding itu, tetapi dinding itu juga sangat panas karena dampak kebakaran di luar, membuatnya tanpa sadar menarik tangannya.     

"Cepatlah! Kalau tidak kita bisa mati di sini!" teriak Aiden.     

Aiden tidak memberitahu Anya kalau ada beberapa tong minyak besar di luar pintu. Kalau terkena api, mereka akan meledak satu demi satu dan bangunan itu bisa runtuh.     

Anya menggertakkan giginya dan menahan rasa panas itu. Saat ia berhasil naik dan hendak mengulurkan tangan pada Aiden, suara ledakan beruntun terdengar.     

DUAR! DUAR! DUAR!     

Suara ledakan itu diikuti dengan api yang berkobar dan asap yang tebal yang memenuhi ruangan.     

Api itu langsung menyebar ke segala arah, seolah berusaha untuk menguasai ruangan yang baru saja berhasil terbuka.     

Aiden langsung mendorong Anya keluar dari lubang itu.     

"Aiden! Aiden!"     

"Aiden, kamu tidak boleh mati. Aiden!"     

"Aiden keluarlah! Kamu tidak boleh mati!"     

Anya berteriak berulang kali, tetapi segala sesuatu yang ada di depannya sudah terlalap habis. Wajahnya penuh dengan air mata, menangis sejadi-jadinya.     

…     

Anya membuka matanya sambil berteriak. Sama seperti di dalam mimpinya, wajahnya juga bersimbah dengan air mata.     

Tetapi bedanya, kali ini Aiden berada di sampingnya.     

Aiden tidak tenggelam dalam lautan api itu.     

Aiden berada di sampingnya, masih tertidur dengan tenang, tanpa ada tanda-tanda akan bangun.     

Aiden ada di sampingnya …     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.