Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Pendarahan



Pendarahan

"Apakah kehamilan ini akan mempengaruhi kesehatannya?" tanya Aiden.     

"Anya masih muda. Setelah dua tahun melakukan perawatan saja, ia bisa hamil. Ini jauh lebih baik dari yang aku perkirakan. Masih ada harapan bagi Anya untuk bisa melahirkan anak ini meski ia pasti lebih lemah dari ibu mengandung biasa. Kamu tidak usah khawatir, aku bisa meresepkan obat dan vitamin untuk Anya. Tetapi kalau kamu tidak menjaganya sejak awal, mungkin sekitar dua atau tiga bulan, tanpa vitamin dan obat, tubuh Anya tidak akan sanggup," kata Tara.     

"Ia benar-benar menginginkan anak ini …" kata Aiden dengan suara pelan.     

"Kalau begitu, aku akan meresepkan obat, terutama yang bisa mengurangi resiko keguguran," setelah mengatakan beberapa hal yang harus diwaspadai oleh Aiden, Tara mengakhiri panggilan tersebut.     

Tetapi Aiden sama sekali tidak menyangka Anya akan menstruasi tepat setelah ia mengetahui bahwa Anya hamil.     

Kalau diagnosa Tara tidak salah, berarti Anya tidak menstruasi, tetapi pendarahan.     

Aiden langsung menelepon Tara, "Tara, cepat kembalilah ke sini. Anya mengalami pendarahan."     

"Apa? Aku akan segera ke sana," Tara tidak berani menunda lebih lama dan langsung ngebut kembali ke rumah Aiden.     

Ketika keluar dari kamar mandi, Anya sangat terkejut saat melihat Aiden sedang bersandar di samping pintu.     

"Kamu … menungguku dari tadi?" Anya merasa tidak nyaman. Apakah Aiden mendengarnya menangis tadi?     

"Aku takut kamu pingsan lagi di dalam kamar mandi," kata Aiden sambil memperhatikan reaksi Anya. ia memandang wajah Anya dengan seksama, khawatir sesuatu akan terjadi pada Anya.     

Apakah Anya mengalami pendarahan?     

Atau itu hanya menstruasi?     

Apa mungkin diagnosa Tara salah?     

Sekarang, ia hanya bisa bersabar dan menanti kedatangan Tara.     

Setelah itu, Aiden menggendong Anya dari lantai. "Apakah ada yang sakit? Atau tidak nyaman?"     

"Aku sudah tidak pusing sekarang," Anya tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Sebenarnya, menstruasiku terlambat dan aku pikir aku hamil. Mungkin aku terlalu banyak berpikir."     

Suara Anya terdengar pelan dan sedikit tercekat seolah sedang berusaha menahan kesedihannya.     

Aiden membaringkannya di atas tempat tidur dengan hati-hati. "Anya, aku hanya menginginkan kamu. Tidak peduli meski kamu tidak bisa punya anak sekali pun, aku hanya butuh kamu. Aku tidak terlalu memikirkan masalah anak," kata Aiden, berusaha untuk menghibur Anya.     

"Tetapi aku ingin memiliki anak. Tidak peduli laki-laki atau perempuan, asalkan anak itu anak kita," bisik Anya.     

Saat ini, Keara sedang mengandung anak Aiden. Meski anak itu adalah hasil inseminasi buatan, tetap saja anak itu memiliki DNA Aiden.     

Anya tidak mau anak Aiden dan Keara.     

Ia ingin anaknya sendiri …     

"Sebelumnya, siapa yang bilang ingin fokus bekerja terlebih dahulu? Siapa yang bilang tidak mau menikah dan punya anak untuk sementara?" goda Aiden sambil mencubit hidung Anya.     

Anya mengedipkan matanya berulang kali. Mengapa kata-kata itu sangat familier? Apakah ia yang mengatakannya?     

"Apakah aku yang bilang begitu? Mengapa aku tidak ingat?" Anya berpura-pura bodoh.     

Aiden tertawa melihatnya.     

"Sekarang karirmu sedang menanjak dan kamu masih dalam proses pemulihan. Nanti akan datang saatnya kita memiliki anak kita sendiri. Aku tidak tahu kamu terlalu stres memikirkannya," Aiden mengecup kening Anya dengan lembut.     

"Anya! Anya …" suara Tara terdengar dari lantai bawah.     

Saat mendengar suara Tara, Anya langsung melepaskan pelukan Aiden. "Tara kembali. Aku akan menemuinya."     

"Aku yang memintanya untuk datang. Tadi kamu tiba-tiba pingsan. Aku khawatir ada sesuatu yang terjadi padamu," kata Aiden.     

"Tara pasti sangat kaget," Anya keluar dari kamarnya dan menjawab panggilan Tara dengan suara keras. "Aku di sini."     

"Apakah kamu baik-baik saja?" Tara memandangnya dengan gugup.     

Anya tertawa melihat sahabatnya yang sangat mencemaskannya. Ia langsung turun ke lantai bawah untuk menghampiri Tara. "Tadi tiba-tiba aku menstruasi. Kepalaku sedikit pusing sehingga aku terjatuh. Tidak apa-apa."     

Tara menarik tangan Anya dan membawanya untuk duduk di sofa. Aiden juga menghampirinya, tetapi Tara sudah tidak punya waktu untuk memedulikan keberadaannya. Ia langsung mengeluarkan stetoskopnya dan memeriksa Anya.     

"Ada apa? Apakah aku harus meminum obat untuk melancarkan menstruasi ku? Atau mungkin …"     

"Jangan bicara," sela Tara.     

Anya langsung menutup mulutnya dan tidak berani mengganggu Tara.     

Setelah beberapa saat, Tara melepaskan stetoskop dari telinganya dan berkata pada Aiden. "Tidak ada apa-apa. Tetapi untuk jaga-jaga, aku akan meresepkan obat dan pastikan Anya banyak beristirahat selama beberapa hari."     

Setelah itu, Tara menuliskan sebuah resep untuk Anya dan memberikannya pada Aiden.     

Aiden menatap ke arah Tara dengan curiga. Resep baru yang diberikan oleh Tara mengandung tokolisis. Mengapa Anya harus meminumnya?     

Apakah Anya benar-benar hamil?     

Apakah anaknya baik-baik saja?     

Tara menatap ke arah Aiden dan kemudian mengangguk, membenarkan tebakan Aiden.     

"Tetapi sebentar lagi aku harus mengikuti kompetisi," kata Anya dengan panik.     

"Kalau kamu tidak mau mati, beristirahatlah," ancam Tara.     

"Apakah seseorang bisa mati karena menstruasi? Mengapa kamu menakutiku seperti itu?"     

"Pokoknya, banyak istirahat dulu selama satu minggu. Jangan lupa minum obat dariku agar menstruasimu cepat berakhir dan tubuhmu kembali pulih. Setelah itu, kamu bisa mulai mempersiapkan kompetisinya lagi," kata Tara dengan serius.     

"Baik, Bu Bos. Aku akan menuruti perintahmu," kata Anya dengan setengah bercanda karena nada suara Tara benar-benar seperti bos dibandingkan dokter barusan.     

Lagi pula, kalau tubuhnya tidak kuat, ia tidak akan bisa mengikuti kompetisi parfum. Mungkin ada baiknya beristirahat sementara.     

Tidak butuh waktu lama, Aiden sudah mendapatkan obat itu. Hana yang mengantarkan obat itu kepada mereka. "Anya, ini obatmu."     

"Obat apa ini?" Anya tidak menyangka ia harus minum obat secepat itu.     

"Untuk melancarkan menstruasimu. Cepat minumlah. Tidak mungkin aku memberimu obat yang salah kan," kata Tara.     

Anya menerimanya dengan pasrah kali ini. Bulan ini menstruasinya datang terlambat. Ditambah lagi, tadi tiba-tiba saja ia pusing dan pingsan. Mungkin ia memang harus meminum obat ini agar kesehatannya membaik.     

Dengan begitu, ia bisa segera hamil dan memiliki anak dengan Aiden.     

"Mulai besok, aku akan datang setiap pagi dan malam untuk memeriksamu," kata Tara sambil tersenyum saat melihat Anya meminum obatnya dengan patuh.     

"Apakah itu tidak merepotkanmu? Ini hanyalah menstruasi biasa. Mungkin tadi aku pingsan karena kurang darah. Jangan khawatir. Aku tidak akan mati karena menstruasi," kata Anya dengan tenang.     

Tetapi Aiden menyetujui Tara. "Kesehatanmu sangat penting. Mulai besok, biar Tara datang untuk memeriksamu. Sebentar lagi kamu juga akan mengikuti kompetisi. Kamu harus menjaga kesehatanmu."     

Tara mengangguk-angguk berulang kali dan berkata tanpa ragu, "Bagaimana kalau aku meminta tolong pada kakekku untuk memeriksa Anya? Mungkin ia bisa meresepkan obat yang lebih baik?"     

Sebelumnya, Aiden sempat merasa curiga pada Tirta karena masalah hasil tes DNA. Tetapi setelah itu ia baru tahu bahwa pelakunya adalah Toni.     

Sementara kecurigaannya terhadap Tirta hanyalah sebuah kesalahpahaman.     

Sekarang hubungan Tara dan Nico sudah semakin dekat dan mereka sedang membicarakan mengenai pernikahan. Demi kebahagiaan cucunya, Tirta tidak akan pernah mengkhianati Keluarga Atmajaya dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk melayani Keluarga Atmajaya.     

"Aku akan menyuruh seseorang menjemput Dokter Tirta," Aiden setuju.     

Semakin banyak dokter yang memeriksa Anya akan semakin baik. Ia harus memastikan bahwa Anya baik-baik saja.     

Ditambah lagi, Tirta jauh lebih berpengalaman dibandingkan Tara. Tidak ada salahnya berkonsultasi dengannya.     

"Aku sedang senggang. Bisakah aku menunggu kakekku dan menumpang makan siang di sini?" tanya Tara sambil tersenyum.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.