Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Biarkan Dia Berlutut



Biarkan Dia Berlutut

Maria juga terlihat kebingungan. Ia sudah memberitahu Aiden bahwa ayahnya masuk rumah sakit, tetapi hingga saat ini Aiden tidak datang juga. Ditambah lagi, Aiden memintanya untuk tidak memberitahu Anya.     

Dengan kata lain, Aiden tidak berniat datang ke rumah sakit dan ia tidak mau Anya mengunjungi Bima untuknya.     

Sebenarnya Maria juga merasakan hal yang sama. Tidak mungkin ia tidak merasa marah.     

Setelah Ardan berselingkuh, Maria tetap menerima Nadine dan membesarkannya seperti anaknya sendiri.     

Kejadian itu menjadi titik balik keluarga mereka. Selama bertahun-tahun, keluarga mereka telah kembali harmonis dan bahagia. Tetapi tidak disangka-sangka, Ardan tiba-tiba saja meninggal.     

Sekarang Maria tahu bahwa Ardan bukan meninggal karena sakit jantung, melainkan karena perbuatan Imel dan Heru.     

Bagaimana mungkin ia tidak merasa sedih?     

Bima merasa sangat emosi hingga jatuh sakit. Maria pun merasa sangat sedih mengetahui semua ini.     

Ketika tiba di rumah sakit, Ivan melihat hanya ada Maria menemani ayahnya. Nico masih berada di perusahaan, sementara Aiden sama sekali tidak terlihat.     

"Ayah, aku minta maaf!" Ivan berlutut di samping tempat tidur.     

"Ivan, apa yang kamu lakukan? Cepat bangun!" Maria langsung menarik Ivan, agar ia bangkit berdiri dari lantai, tetapi Ivan menolak.     

"Ayah, ini semua salahku. Aku yang membunuh kakak dan ibu Aiden. Aiden juga hampir saja mati karena aku. Semua ini karena aku. Kalau saja aku tidak ada, semua ini tidak akan terjadi. Aku minta maaf. Aku minta maaf, ayah …" Ivan menundukkan kepalanya dengan penuh penyesalan.     

"Ivan, dokter bilang jangan membuat ayah emosi atau pun sedih. Cepat bangun," Maria takut Bima tidak akan sanggup menerima semua perasaan yang bercampur aduk ini.     

"Ayah, aku bersedia untuk melakukan apa pun dan menebus semua kesalahan ibu. Aku tidak menginginkan saham perusahaan. Aku bisa mengembalikan semua rumah dan mobil yang kamu berikan padaku. Meski aku harus bekerja di perusahaan tanpa dibayar pun, aku bersedia," kata Ivan.     

Imel telah melakukan semua ini untuknya dan hanya Ivan saja yang bisa menebus semua kesalahan Imel.     

Ia bersedia untuk mengabdikan dirinya agar dosa-dosa ibunya dimaafkan oleh Keluarga Atmajaya.     

"Ivan, bangunlah," kata Bima dengan air mata yang menetes di wajahnya.     

"Ayah …"     

"Aku tahu kamu anak baik. Tidak seharusnya kamu menanggung kesalahan ibumu," Bima mengulurkan tangannya ke arah Ivan.     

Ivan berlutut di samping tempat tidur sambil memegang tangan ayahnya. "Ayah, keberadaanku saja sudah merupakan kesalahan besar. Kalau tidak ada aku …"     

"Ayah tidak pernah menganggap kamu adalah sebuah kesalahan. Kamu adalah anak ayah yang paling baik hati dan hangat," kata Bima dengan sedih.     

Maria menepuk pundak Ivan. "Ivan, bangunlah. Ayah tidak menyalahkanmu. Kami semua tidak menyalahkanmu."     

"Biarkan dia berlutut," saat Ivan hendak bangkit berdiri, ia mendengar suara Aiden. Ia menoleh ke arah pintu dan melihat Aiden sedang memegang tangan Anya, muncul di depan pintu kamar bersamaan.     

Maria memandang ke arah Aiden dengan perasaan bersalah. Karena Aiden tidak mau datang ke rumah sakit, pada akhirnya Maria harus menghubungi Anya.     

Ketika Anya mengetahui bahwa Bima jatuh sakit, ia langsung menelepon Aiden. Kalau tidak Aiden tidak akan pernah mau mengunjungi Bima di rumah sakit meski ayahnya itu sedang kritis sekali pun.     

Setelah masuk ke dalam ruangan, Aiden langsung mengambilkan kursi untuk Anya dan menyuruhnya duduk, khawatir Anya akan kelelahan dan pingsan lagi.     

"Anya kenapa?" Maria bisa melihat Anya terlihat tidak sehat. Wajahnya terlihat pucat dan matanya kuyu. Meski ia sedang mengenakan masker untuk menutupi mulutnya, Maria masih bisa melihat Anya terlihat kelelahan. Ditambah lagi, begitu masuk ke dalam ruangan, Aiden langsung menyuruh Anya untuk duduk.     

"Tadi Anya pingsan. Awalnya aku tidak mau ia datang ke sini. Tetapi setelah kakak menelepon, Anya bersikeras ingin mengunjungi ayah," kata Aiden.     

Bima berusaha untuk bangkit berdiri dari tidurnya, ingin melihat Anya. Maria langsung menghentikannya. "Ayah, dokter bilang kamu tidak boleh banyak bergerak."     

"Apakah Anya baik-baik saja?" tanya Bima.     

"Jangan khawatir, ayah. Aku baik-baik saja. Tadi Dokter Tirta sudah datang dan memeriksaku. Ia juga sudah memberiku obat dan memintaku untuk banyak istirahat," kata Anya.     

"Apakah kamu kelelahan karena mempersiapkan kompetisimu? Kamu masih muda. Kamu harus mementingkan kesehatanmu terlebih dahulu," kata Bima.     

"Baik, ayah," jawab Anya.     

"Ivan …"     

"Ayah, aku di sini," jawab Ivan. Maria langsung menariknya dari lantai.     

"Aiden, kemarilah …" Bima memanggil nama Aiden kali ini.     

Aiden berjalan menuju ke sisi tempat tidur dan memandang ayahnya tanpa ekspresi.     

Bima mengulurkan tangannya ke arah Aiden. Ketika Aiden melihat ada selang infus di punggung tangan Bima, tanpa sadar ia langsung memegang tangan ayahnya dan menggenggam tangan yang sudah keriput itu.     

"Jangan bergerak. Ada selang infus," kata Aiden.     

Ketika mendengar hal ini, air mata kembali mengalir dari sudut mata Bima. "Kamu masih peduli pada ayah. Hanya mulutmu saja yang tajam, tetapi sebenarnya hatimu hangat …"     

"Kamu adalah ayahku, tidak peduli seberapa bodohnya kamu. Kematian ibu dan kakak adalah kesalahanmu. Aku juga hampir saja kehilangan nyawaku. Kamu harus hidup untuk membayar semua hutang itu padaku. Kalau tidak, bagaimana bisa kamu berhadapan dengan ibu dan kakak?" kata Aiden.     

Ketika melihat Aiden seperti ini, Anya benar-benar ingin tertawa. Suaminya itu sangat mirip dengan Nico. Memang benar mereka adalah paman dan keponakan.     

Nada Aiden saat berbicara pada Bima sama seperti saat Nico berbicara dengan Aiden.     

Kata-katanya terdengar jauh lebih kaku, tetapi di baliknya, Aiden ingin menunjukkan bahwa ia masih peduli pada ayahnya.     

"Kalian kakak beradik harus baik-baik. Semua ini salahku. Biar aku yang membayar semua kesalahanku. Jangan sampai kejadian ini mempengaruhi hubungan kalian," Bima menyatukan tangan kedua putranya.     

Maria menyadari bahwa ekspresi di wajah Bima terlihat kesakitan, "Ayah, ada apa denganmu?"     

"Sakit kepala," jawab Bima sambil menahan rasa sakitnya.     

Harris langsung memanggil dokter.     

Begitu dokter datang, ia melihat ada begitu banyak orang di dalam kamar dan melihat air mata di wajah Bima.     

"Mengapa ada banyak sekali orang di sini? Pasiennya butuh istirahat. Kalian semua pulanglah. Jangan mengganggu istirahat pasien," kata dokter itu, langsung mengusir mereka semua.     

"Berjanjilah pada ayah kalian akan baik-baik saja," kata Bima sekali lagi.     

"Ayah, pikirkan mengenai kesehatanmu. Dengan adanya aku dan Aiden, perusahaan akan baik-baik saja. Nico juga sedang bekerja keras. Sebentar lagi, ia bisa berdiri sendiri tanpa perlu bimbingan kami," kata Ivan.     

"Aiden …" Bima masih belum mendengar jawaban dari Aiden sehingga ia memandangnya sekali lagi.     

"Aku tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. Kak Ivan tidak bersalah dan aku tidak akan menyalahkannya," kata Aiden.     

Bima menganggukkan kepalanya dengan lega dan melepaskan tangan mereka berdua. "Kalian pulanglah. Aku akan beristirahat."     

"Cepat kalian semua pulanglah. Biar saya yang mengurus Tuan Bima," dokter tersebut segera mengusir mereka sekali lagi, khawatir terjadi sesuatu pada pasiennya.     

"Ayah, cepat sembuh. Kami akan pulang dulu," Anya bangkit berdiri dan berpamitan. Setelah itu, ia pergi bersama dengan Aiden.     

Ivan juga meninggalkan ruangan tersebut, meninggalkan Maria sendirian.     

Ketika Anya dan Aiden menunggu lift, Ivan menyusul mereka. "Aiden, aku minta maaf. Aku tidak menyangka bahwa ternyata kenyataannya seperti ini."     

"Kalau kamu ingin meminta maaf untuk ibumu, lebih baik jangan katakan apa pun," kata Aiden dengan dingin.     

"Aku sama sekali tidak berniat untuk bersaing denganmu. Kita adalah saudara. Aku mohon percayalah padaku, aku tidak pernah berniat untuk menyakitimu dan kakak. Aku benar-benar minta maaf. Aku sama sekali tidak tahu," kata Ivan, terus mengungkapkan penyesalannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.