Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Operasi



Operasi

Anya terbangun dengan air mata membasahi seluruh wajahnya. Ia menggerakkan tangannya dan menyadari bahwa tangan Aiden dan tangannya masih bertautan sejak kemarin malam.     

Tangan itu seperti memberi kehangatan untuk Anya dan meyakinkan Anya bahwa semua itu hanyalah mimpi.     

Aiden berada di sampingnya. Aiden baik-baik saja …     

Lalu, apa arti dari mimpi yang baru saja ia alami?     

Tetapi mengapa mimpi itu terasa benar-benar nyata? Seolah ia pernah mengalaminya sendiri sebelumnya.     

Apakah itu hanya mimpi? Atau kenangan masa lalu yang ia lupakan?     

Apakah ia pernah bertemu dengan Aiden sebelumnya?     

Tetapi mengapa ia sama sekali tidak bisa mengingatnya?     

Anya ingat sejak pertama kali bertemu dengan Aiden, Aiden sudah mengenalnya. Sementara Anya sama sekali tidak ingat padanya.     

Apakah benar ia kehilangan ingatan?     

Anya mengubah posisinya ke arah samping agar ia bisa melihat wajah Aiden dengan jelas.     

Mata Aiden masih terpejam, wajahnya terlihat tenang.     

"Aiden, apakah selama ini kamu menungguku? Apakah kamu menunggu aku kembali ingat padamu?" kata Anya sambil memandang wajah Aiden.     

Namun sayangnya, tidak ada jawaban yang ia dapatkan. Hanya ada suara mesin, suara yang menunjukkan bahwa Aiden baik-baik saja.     

Suara yang menunjukkan bahwa Aiden masih berada di sampingnya.     

Berbicara pada Aiden seperti ini membuat Anya ingat saat ia menanti ibunya bangun dari koma. Meski tidak ada jawaban, Anya terus mengajak Aiden bicara. Ia tahu bahwa Aiden bisa mendengarnya.     

"Aiden, selama ini kamu selalu menantiku dengan sabar. Sekarang giliran aku yang menunggumu. Aku akan menunggumu sampai kamu bangun. Sampai kamu kembali ke sisiku …" bisik Anya dengan lembut. Ia ingin mengulurkan tangannya untuk membelai wajah Aiden, tetapi jarak mereka cukup jauh.     

Saat ini, Anya harus berpuas diri memandang wajah Aiden seperti ini.     

Meski tidak ada suara hangat dan lembut Aiden saat berbicara padanya, meski hanya keheningan yang menyelimuti ruangan itu, Anya sudah cukup bahagia.     

Setidaknya, Aiden ada di sana.     

Setidaknya, Aiden tidak terlalap lautan api seperti di dalam mimpinya.     

Setidaknya, mereka masih bersama, meski Aiden masih tertidur lelap.     

Sekarang, ia hanya perlu menanti.     

Ribuan hari pun akan ia lewati tanpa mengeluh hingga Aiden kembali ke sisinya.     

Selama ini, Aiden sudah mengorbankan segalanya untuk Anya. Sekarang, biarkan ia yang berkorban.     

Biar Anya yang menanti Aiden, menyambut kedatangannya kembali dengan senyum yang paling bahagia.     

…     

Beberapa hari kemudian, Anya sudah cukup sehat dan bisa pulang dari rumah sakit. Sebenarnya Anya tidak ingin berpisah dari Aiden, tetapi ia tidak mungkin bisa terus tinggal di rumah sakit.     

Ia juga harus menjaga kesehatannya, demi anaknya dan Aiden.     

Anya memegang tangan Aiden dan bersandar di sisi tempat tidur. "Aiden, hari ini aku akan pulang. Aku akan menunggumu di rumah. Seperti biasanya aku menunggumu pulang kerja. Cepatlah pulang."     

Anya mengecup punggung tangan Aiden dan pergi dengan berat hati.     

Setiap hari, ia terus kembali ke rumah sakit.     

Meski hanya satu atau dua jam saja, Anya selalu menyempatkan waktu untuk mengunjungi Aiden.     

Ia menceritakan pada Aiden mengenai mimpi kebakaran saat itu …     

Ia menceritakan pada Aiden mengenai apa yang ia lakukan setiap hari sambil menunggu kepulangannya …     

Ia juga menceritakan mengenai pemeriksaannya ke dokter kandungan …     

"Aiden, aku baru saja memeriksakan kandunganku. Kita akan memiliki anak kembar, seperti yang kamu inginkan dulu. Aku tidak percaya kata-katamu benar-benar menjadi kenyataan," bisik Anya sambil tertawa kecil.     

Sama seperti biasanya, ia duduk di samping tempat tidur sambil memegang tangan Aiden. Ia sudah terbiasa berbicara tanpa ada jawaban.     

"Sekarang, ada tiga orang yang menanti kepulanganmu ke rumah. Cepat bangunlah."     

"Tidak peduli berapa lama pun kamu tertidur, aku akan tetap menunggumu. Aku akan menunggumu meski beribu-ribu malam harus aku habiskan sendiri, sama seperti kamu yang selalu menungguku."     

Sebelum pulang, Anya selalu mengecup kening Aiden dengan lembut. Setelah menciumnya, ia selalu berharap Aiden akan tiba-tiba membuka mata dan memandangnya dengan lembut.     

Tetapi setiap hari, ia harus merasakan harapannya pupus.     

Hari ini, Aiden masih tetap tidur dengan nyenyak, seperti pangeran tidur yang menanti ciuman sejati dari sang putri.     

"Aku akan terus menunggu, sampai kamu kembali ke sisiku. Kembalilah padaku, Aiden," bisik Anya sebelum pergi.     

…     

Satu minggu berlalu … Dua minggu berlalu …     

Aiden masih belum menunjukkan tanda-tanda akan bangun.     

Dokter mengatakan bahwa mungkin ini terjadi karena penyakit Aiden. Sebelumnya, Aiden sempat memeriksakan kesehatannya di luar negeri karena ia sering sakit kepala dan sulit tidur. Namun, karena ia tidak ingin mengambil resiko, Aiden mengurungkan niatnya untuk menjalani operasi pemulihan.     

Sepertinya, kali ini operasi itu sudah tidak bisa ditunda lagi.     

Akhirnya, Ivan memutuskan untuk memberitahu Bima. Ia pergi bersama dengan Harris untuk mengunjungi Bima dan memberitahu kondisi Aiden yang sebenarnya pada ayahnya dan meminta persetujuan dari Bima agar operasi Aiden bisa dilangsungkan.     

"Ayah, aku minta maaf baru memberitahumu. Saat ini Aiden sedang koma. Ia harus menjalani operasi kraniotomi sesegera mungkin agar bisa bangun dari komanya. Tingkat kesuksesan operasi ini cukup tinggi," kata Ivan.     

"Tuan, saya sudah mengurus semuanya untuk operasi Tuan Aiden. Kami hanya membutuhkan persetujuan langsung dari Anda, selaku orang tuanya, agar operasi itu bisa dilaksanakan," lapor Harris.     

Kondisi Bima sebenarnya sudah cukup membaik. Namun, setelah mendengar kabar mengenai Aiden, tekanan darahnya naik sehingga membuat dokter cukup khawatir.     

"Bagaimana keadaan Anya sekarang?" tanya Bima dengan suara tercekat.     

"Kondisi Nyonya sudah cukup membaik. Saat ini ia sedang mengandung anak kembar. Kami takut operasi ini akan membuat Nyonya khawatir dan mempengaruhi kesehatannya sehingga kami memutuskan untuk menyembunyikannya darinya. Satu-satunya jalan adalah meminta persetujuan dari Anda, Tuan."     

Bima memejamkan matanya dengan pedih. Ia baru saja menyadari bahwa ia melakukan kesalahan besar pada putranya, terutama Aiden, hanya untuk membela seorang wanita kejam yang ingin menghancurkan keluarga mereka.     

Namun, belum sempat ia bisa menebus kesalahannya, putranya sekarang sedang dalam kondisi yang kritis.     

"Aku ingin melihat Aiden," katanya.     

Saat Bima masuk ke dalam kamar Aiden, ada Nico yang sedang berkunjung. Saat ini Anya sedang beristirahat di rumah. Tadi siang ia sudah datang untuk mengunjungi Aiden, tetapi ia tidak bisa tinggal terlalu lama di rumah sakit karena dokter menyarankan agar ia tidak terlalu kelelahan.     

"Aiden, ayah datang," Bima mengulurkan tangannya dan memegang tangan putranya.     

Kapan terakhir kali ia memegang tangan putranya seperti ini?     

"Aiden, kamu tidak akan meninggalkan ayah terlebih dahulu kan? Lihat ayah sudah tua seperti ini, tetapi ayah masih bisa bertahan. Kamu juga harus berjuang."     

Tanpa sadar, air mata mengalir dari sudut mata Aiden.     

Kapan terakhir kali ia berbicara dari hati ke hati dengan ayahnya seperti ini? Setiap kali bertemu, mereka selalu bertengkar. Sifat mereka begitu mirip, sama-sama keras kepala, sehingga mereka saling berseteru.     

Tetapi sekarang ayahnya memegang tangannya dengan lembut dan berbicara padanya tanpa perlu berdebat dan saling menyalahkan seperti biasanya.     

"Kakek, paman bisa mendengarmu," kata Nico saat melihat air mata mengalir dari sudut mata Aiden.     

"Aiden, apakah kamu bisa mendengar ayah? Ayah akan menjadwalkan operasi untukmu. Ayah sudah mendatangkan dokter dari luar negeri. Operasinya akan berjalan dengan lancar. Anya dan anak kalian sedang menanti. Kamu tidak boleh terus seperti ini," kata Bima sambil memegang tangan Aiden lebih erat. "Ayah percaya kamu akan kembali. Kamu akan baik-baik saja."     

Aiden tidak bisa bangun. Tetapi saat mendengar bahwa Anya dan anak mereka menunggunya, air matanya kembali mengalir.     

Meski sedang tidak sadarkan diri, Aiden bisa mendengar semuanya. Ia benar-benar ingin bangun, tetapi setiap kali ia berusaha untuk membuka matanya, kegelapan selalu kembali menelannya.     

Ia tidak bisa bangun, meski ia mau.     

Rasanya seperti tenggelam dalam jurang yang tidak berujung, tidak tahu di mana jalan keluar yang harus ia lalui …     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.