Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Belahan Jiwanya



Belahan Jiwanya

"Harris, diamlah. Kepalaku sakit," tiba-tiba saja, kata-kata itu terucap dari bibir Aiden yang selama ini tidak pernah bergerak. Ia mengerang dengan kesal, merasa bahwa celotehan yang tidak henti dari Harris mengganggu tidurnya.     

Semua orang yang ada di dalam ruangan itu langsung menoleh pada saat yang bersamaan.     

"Paman, kamu sudah bangun!" Nadine langsung berseru dengan gembira. Maria menutup bibirnya dengan air mata yang mengalir di wajahnya. Ia bahkan tidak sanggup berkata-kata.     

Nico juga bergegas menghampiri pamannya dan bertanya, "Paman, apakah kamu tahu siapa aku?"     

"Tidak. Harris cepat usir orang ini," jawab Aiden dengan dingin.     

Nico langsung cemberut mendengar pamannya. "Paman, mengapa kamu mengenali Harris, tetapi tidak mengenaliku?"     

Ia sudah bekerja keras selama pamannya tidak ada di kantor, tetapi mengapa pamannya tetap saja kejam padanya?     

Aiden berusaha untuk memandang ke arah sekitarnya, tetapi ruangan itu begitu terang. Tirai di jendela ruangan itu terbuka lebar-lebar, membuat ruangan itu terang benderang tanpa perlu disinari lampu. Kening Aiden berkerut dan matanya menyipit, berusaha untuk mengatur pandangannya. Ia baru saja bangun sehingga matanya masih belum terbiasa dengan cahaya yang berlebihan.     

Melihat reaksi Aiden, Tara yang merupakan seorang dokter langsung paham terhadap reaksi pasien tersebut. Ia segera menutup tirai jendela tersebut, menyisakan setengah sehingga membuat ruangan itu menjadi sedikit lebih redup.     

Begitu ruangan itu sedikit lebih gelap, Aiden bisa melihat sekelilingnya dengan lebih jelas. Namun, ia tidak menemukan Anya di sana.     

Di mana Anya? Apakah ia baik-baik saja?     

Jantung Aiden berdegup lebih kencang, membuat mesin yang berada di sampingnya ikut meraung dengan keras.     

Ia hendak bangkit berdiri tetapi tubuhnya terlalu kaku.     

"Di mana Anya?" tanyanya dengan panik.     

Maria langsung menahan tubuh Aiden agar ia kembali berbaring di tempat tidur dan berusaha menenangkannya. "Aiden, tenanglah. Anya baik-baik saja. Ia juga sedang berada di rumah sakit ini, tetapi sekarang ia sedang tidur. Tadi pagi badannya demam."     

Tetapi Aiden tetap tidak bisa tenang kalau ia belum melihat Anya baik-baik saja dengan mata kepalanya sendiri. Sayangnya, karena sudah terlalu lama tertidur, ia tidak bisa bangun sendiri tanpa bantuan orang lain.     

Harris langsung memanggilkan dokter untuk memeriksa kondisi Aiden.     

Pemeriksaan itu berlangsung cukup cepat. Dokter mengatakan bahwa kondisi Aiden baik-baik saja, tetapi ia meminta Aiden untuk tetap tinggal di rumah sakit selama beberapa hari untuk memantau kondisinya. Kalau tidak ada keluhan lain, Aiden bisa segera pulang dari rumah sakit.     

Setelah tahu bahwa Aiden sudah bangun, Ivan dan Bima langsung menuju ke rumah sakit bersama-sama.     

Bima merasa sedikit khawatir sebelum bertemu dengan Aiden karena ia masih merasa bersalah mengenai permasalahan Imel. Selain itu, ia juga memberi persetujuan untuk melakukan operasi tanpa sepengetahuan Aiden.     

Berdasarkan pendapat Bima mengenai putranya, Aiden pasti akan sangat marah karena telah melakukan sesuatu tanpa seijinnya, apalagi sesuatu yang cukup beresiko.     

Tetapi saat itu, Bima tidak punya pilihan lain. Ia tidak mau putranya terus koma dan tidak berdaya.     

Untung saja, kondisi Aiden sekarang baik-baik saja sekarang. Kalau sampai ia tidak bisa bertemu dengan Aiden lagi selamanya, ia tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri …     

"Aiden, maafkan ayah karena menyetujui operasi itu tanpa seijinmu. Semua ini keputusan ayah, bukan salah Ivan," kata Bima dengan suara pelan.     

Sebelumnya, saat Aiden sedang koma, Bima sempat menggenggam tangan Aiden. Tetapi di saat seperti ini, ia terlalu malu untuk melakukannya.     

Hubungannya dengan Aiden tidak sedekat itu. Mereka adalah ayah dan anak yang terlalu canggung untuk mengungkapkan kasih sayang mereka, walaupun sebenarnya mereka mengasihi satu sama lain.     

Sejak Aiden masih kecil, hubungan Bima dengan Aiden sudah sangat renggang karena kekeras kepalaan mereka berdua. Mereka tidak bisa jujur pada satu sama lain dan selalu bersitegang.     

Namun, saat tahu bahwa Aiden tertembak dan koma, Bima merasa khawatir akan kehilangan Aiden dengan hubungan mereka yang tidak akur.     

Sekarang, di usia tuanya, satu-satunya hal yang ia inginkan bukan lagi kekuasaan atau kekayaan seperti dulu. Ia hanya ingin memiliki hubungan yang baik dengan keluarganya, terutama dengan putra-putranya.     

Aiden memandang ke arah ayahnya, bukan dengan pandangan yang dingin dan angkuh seperti biasanya. Tatapannya terlihat hangat dan sedikit canggung. Semua ini terasa baru untuknya.     

Kemudian ia mengalihkan pandangannya ke arah Ivan. "Kak, terima kasih. Aku sudah merepotkanmu selama ini," kata Aiden. Ia mengucapkannya dengan sangat tulus.     

Selama Aiden sakit, Ivan lah yang telah mengurus Atmajaya Group untuknya.     

Selama Aiden koma, Ivan tidak memanfaatkan kesempatan untuk mengambil alih Atmajaya Group.     

Meski mereka adalah ibu dan anak, Aiden tahu bahwa Ivan dan Imel tidak sama. Ivan benar-benar tulus, menganggapnya sebagai saudara, tidak seperti yang ia pikirkan selama ini.     

Ivan merasa tersentuh mendengar ucapan terima kasih dari adiknya. Tidak pernah Aiden setulus itu padanya. Rasanya seperti mendapatkan tempat di keluarga Atmajaya, tempat yang sulit untuk ia raih selama ini. "Kita kan saudara. Tidak usah sungkan seperti itu."     

"Sekarang, bisakah aku menemui Anya?" tanya Aiden.     

Harris meminta persetujuan pada dokter terlebih dahulu, memastikan bahwa Aiden bisa keluar dari kamarnya untuk sebentar. Meski sedikit khawatir, akhirnya dokter mengijinkan karena Aiden memaksa.     

Harris membawakan sebuah kursi roda untuk Aiden dan mendorongnya menuju ke kamar Anya.     

Di dalam kamar, Anya sedang tidur dengan lelap.     

Karena badannya sedikit demam, dokter memberinya obat penurun panas yang membuatnya mengantuk. Dengan begitu, ia bisa beristirahat.     

Harris mendorong kursi roda Aiden hingga menuju ke samping tempat tidur Anya, setelah itu, ia meninggalkan Anya dan Aiden sendiri.     

Aiden menggenggam tangan Anya dengan lembut, merasa sangat bersyukur karena ia berhasil melindungi orang yang paling dicintainya.     

Anya baik-baik saja …     

Anak mereka juga baik-baik saja …     

Ia menundukkan kepalanya dan mengecup punggung tangan Anya dengan lembut. Tanpa sadar, air matanya menitik dan jatuh di atas punggung tangan Anya.     

Anya merasakan pergerakan di tangannya dan membuka matanya perlahan. Ia mengedipkan matanya berulang kali, berusaha untuk menghilangkan kantuknya.     

Saat ia melihat siapa yang memegang tangannya, ia langsung bergumam, "Apakah aku sedang bermimpi?"     

Tangannya memegang pipi Aiden dengan lembut, seperti berusaha untuk meyakinkan bahwa orang di hadapannya itu benar-benar nyata. Meyakinkan dirinya bahwa Aiden benar-benar ada di hadapannya …     

Air mata mengalir di wajahnya.     

Air mata kelegaan … Air mata bahagia …     

"Aku sedang bermimpi …" bisiknya sekali lagi.     

"Kamu tidak bermimpi. Aku sudah kembali …" bisik Aiden, menyandarkan kepalanya di tangan Anya yang menyentuh pipinya. Berusaha untuk memberitahu Anya bahwa Aiden yang ada di hadapannya itu benar-benar nyata.     

Anya mengubah posisinya, duduk di atas tempat tidur sambil mengulurkan kedua tangannya untuk memegang wajah Aiden.     

Aiden terasa sangat hangat dan nyata, tetapi ia masih tidak bisa mempercayai semua ini. Apakah benar Aiden sudah bangun? Apakah benar Aiden sudah kembali?     

Air mata mengaburkan pandangannya, membuatnya sulit untuk memandang wajah tampan suaminya. Suaminya yang ia rindukan setengah mati.     

"Apakah ini benar-benar nyata?"     

Aiden tidak bisa bangkit berdiri dari kursi rodanya, merasa sedikit frustasi karena tidak bisa mendekat ke arah Anya. Sekarang, ia hanya bisa puas dengan menggenggam tangan Anya yang bersandar di pipinya.     

"Aku kembali. Aku kembali untukmu. Dan untuk anak kita …" selama ini, Aiden dikenal sebagai pria yang berhati dingin.     

Ia tidak pernah ragu untuk menghancurkan semua orang yang berniat buruk padanya.     

Ia tidak pernah ragu untuk menyingkirkan semua orang yang tidak sejalan padanya.     

Dalam hidupnya, Aiden hampir tidak pernah meneteskan air matanya. Tetapi Anya telah melelehkan hatinya yang membeku dan membuatnya bisa merasakan kehangatan.     

Di hadapan Anya, tidak ada lagi sosok Aiden yang dingin seperti biasanya.     

Aiden yang saat ini adalah Aiden yang begitu takut kehilangan wanita yang dicintainya untuk kedua kalinya.     

Aiden yang saat ini adalah Aiden yang begitu takut kehilangan buah hatinya untuk kedua kalinya.     

Ia rela melakukan apa pun untuk melindungi orang-orang yang paling dicintainya.     

Saat melihat Anya dan anaknya baik-baik saja, ia tidak bisa mengendalikan dirinya sehingga air mata menetes dari pelupuk matanya.     

"Terima kasih sudah kembali untuk kami," bisik Anya, mendekatkan wajahnya ke arah Aiden. Ia menempelkan keningnya di kening Aiden sambil terus meneteskan air matanya.     

Entah berapa lama mereka berada di posisi seperti itu, tetapi rasanya ribuan tahun pun tidak cukup bagi mereka untuk menebus waktu yang mereka lewatkan saat mereka terpisah.     

Mereka seolah ingin merasakan kehangatan satu sama lain, meyakinkan diri mereka bahwa semua ini nyata. Bahwa mereka telah kembali bersama …     

'Aku akan selalu kembali padamu, Anya. Di kehidupan yang berikutnya sekali pun, aku akan selalu menemukanmu dan kembali ke sisimu. Karena kamu adalah belahan jiwaku …'     

Kata-kata itu hanya tersimpan di dalam hati Aiden.     

Ia terlalu canggung dan malu untuk mengatakannya. Tetapi satu hal yang pasti, ia akan menepati sumpahnya itu.     

Untuk menemukan belahan hatinya, di kehidupan berikutnya sekali pun.     

Karena Anya adalah belahan jiwanya …     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.