Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Pisau Berdarah



Pisau Berdarah

"Apa yang kamu inginkan?" Aiden memandang wajah Keara dengan dingin, berusaha melindungi Anya di balik tubuhnya.     

"Ibuku sangat merindukannya. Aku hanya ingin Anya menemui ibu. Awalnya, kesehatan ibu tidak separah ini. Tetapi karena ia mendapatkan berita bahwa putrinya telah meninggal, ia sudah menyerah dan tidak berniat untuk sembuh lagi. Kalau ibu tahu Anya masih hidup, mungkin ia akan bertahan." Setelah mengatakannya, Keara memandang ke arah Anya. "Anya, meski kamu tidak tumbuh besar bersama dengan ibu, cintanya kepadamu tidak pernah berubah. Tidak bisakah kamu menemuinya?"     

Kata-kata Keara membuat hati Anya melembut. Akhirnya ia bertanya. "Dimana Bibi Indah sekarang?"     

"Ibu masih di rumah sakit. Aiden tahu tempatnya," jawab Keara.     

Anya menatap ke arah Aiden dan melihat Aiden menganggukkan kepalanya. "Aku akan menemuinya. Kalau sudah tidak ada lagi, pergilah."     

"Kita kan saudara. Orang tua kita berharap kita bisa hidup dengan damai. Aku tahu anak di dalam kandunganku membuatmu merasa tidak senang. Tetapi tenang lah, aku tidak akan pernah mengganggu hidupmu," kata Keara sebelum ia berbalik dan pergi.     

Ia pergi dengan mengatakan hal itu, membuat Anya merasa Keara yang ada di hadapannya tidak seperti Keara yang biasa.     

Ia merasa ada yang aneh dengan Keara.     

"Nona Anya, silahkan masuk ke ruang VIP nomor 8," tepat setelah Keara pergi, suara seorang suster terdengar.     

Ruang VIP nomor 8?     

Anya merasa ragu saat mendengarnya. Ia melihat Keara baru saja keluar dari ruangan tersebut.     

"Jangan khawatir. aku akan masuk bersama denganmu," Aiden langsung menyadari kekhawatiran Anya.     

Nadine menggandeng tangan Anya, berusaha untuk menenangkannya. Dan Aiden berjalan di depan, memimpin mereka. Ketiga orang tersebut memasuki ruangan secara bersama-sama.     

Dokter yang melihat mereka bertiga langsung berkata, "Hanya anggota keluarga saja yang boleh masuk."     

"Aku hanya butuh waktu sebentar. Aku akan segera keluar," Nadine melangkah menuju ke ranjang rumah sakit dan mengeluarkan sebuah kain bersih dari tasnya. Ia membuka kain itu dan melapisi ranjang rumah sakit.     

Saat sedang merapikan kain tersebut, Nadine melihat ada sesuatu yang aneh di ranjang itu. Di bagian tengahnya terlihat sedikit mencuat keluar.     

Nadine mengulurkan tangannya dan menekan bagian tengah tempat tidur yang menonjol tersebut.     

"Ahh!" Nadine berteriak karena terkejut. Tangannya tergores oleh sesuatu yang tajam dan langsung berdarah.     

"Pengawal!" teriak Aiden. Para pengawal Aiden yang berjaga di luar langsung menerobos masuk ke dalam ruangan dan menahan dokter serta para perawat.     

Anya merasa mual melihat darah yang mengalir dari tangan Nadine. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padanya kalau ia berbaring di tempat tidur itu.     

Aiden melangkah maju dan mengangkat ranjang itu dan menemukan sebuah pisau yang tersembunyi di bawahnya.     

"Tuan, bukan saya … Saya juga tidak tahu," kata dokter tersebut dengan ketakutan.     

Orang-orang yang bisa masuk ke ruang pasien VIP bukanlah orang-orang biasa. Bagaimana bisa ada pisau yang tersembunyi di bawah ranjangnya?     

Para perawat juga ketakutan melihatnya. Ia kembali mengingat-ingat dan berkata, "Setelah Nona Keara menggunakan ranjang itu, aku mengganti alasnya dengan yang baru. Saat aku memeriksanya, tidak ada apa pun di sana."     

Aiden langsung melaporkan orang-orang tersebut kepada kepala rumah sakit dan membawa Nadine untuk mengobati lukanya. Ia juga meminta para pengawalnya untuk memeriksa pisau yang ada di balik ranjang tersebut.     

Anya tidak berani memandang luka di tangan Nadine. Ia menangis dan merasa bersalah karena Nadine terluka.     

Ketika Nadine keluar dari ruang dokter dengan tangan yang sudah diobati, Anya langsung melangkah maju dan menggenggam kedua tangan Nadine dengan erat. Tetapi ia tidak bisa mengucapkan apa pun.     

Nadine telah menyelamatkannya …     

"Bibi, jangan khawatir. Ini hanya luka kecil," kata Nadine.     

"Maafkan aku. Ini semua karena aku. Keara berniat untuk melukaiku, tetapi malah kamu yang terluka," Anya menangis sambil memegang tangan Nadine.     

Aiden merangkul pundak Anya dan mengecup puncak kepalanya dengan lembut. "Jangan khawatir. Nadine baik-baik saja. Kamu dan anak kita juga baik-baik saja."     

"Mengapa Keara begitu membenciku hingga melakukan hal-hal sekejam ini?" Anya gemetar hebat karena begitu marahnya.     

"Sudah, sudah. Yang penting tidak ada yang terjadi," Aiden berusaha untuk menenangkannya.     

"Aku benar-benar takut setengah mati. Untung saja bukan bibi yang terluka. Seharusnya aku tidak memberitahu Mila alasanku tidak masuk hari ini," Nadine langsung bisa menebak bahwa Mila lah yang telah memberitahu jadwal pemeriksaan Anya pada Keara.     

"Nadine, maafkan aku. Aku tidak menyangka ini akan terjadi," kata Anya dengan penuh penyesalan.     

Aiden memandang ke arah Anya, tetapi Anya tidak berani membalas pandangannya.     

"Kamu sengaja memberitahu jadwal pemeriksaanmu, membuat Keara bertindak seperti ini, kan?" suara Aiden terdengar dalam dan serak. Anya tidak bisa mendengar kemarahan di dalamnya, tetapi suara itu membuatnya seolah bisa menekan semua orang.     

"Keara sudah melakukan banyak kejahatan, tetapi ia bisa bebas dari penjara dengan sangat cepat. Aku pikir …"     

"Aku sudah bilang aku yang akan menananginya. Apa yang kamu lakukan? Kamu membahayakan anak kita hanya untuk menangkap Keara. Keara juga sedang hamil. Apakah kamu pikir ia akan datang terang-terangan sambil membawa pisau di hadapanmu?" tanya Aiden.     

"Ia yang melakukan ini. Meski tidak ada bukti. Aku tahu ia yang melakukannya," teriak Anya.     

"Tanpa adanya bukti, apa yang bisa kamu lakukan? Kalau sesuatu terjadi pada Nadine, apa yang bisa kamu katakan pada Kak Maria dan Harris?" tanya Aiden dengan wajah muram.     

"Apa maksudmu?" Anya terkejut dan mengangkat kepalanya dengan ketakutan. "Apakah Nadine terluka parah."     

"Lukanya tidak dalam, tetapi di pisau itu ada darah. Menurutmu apa darah itu?" Aiden terlihat sangat muram. Kalau Keara berani melakukan hal sekejam ini, tentu saja ia tidak akan meletakkan pisau biasa untuk menggores kulit Anya.     

Pisau itu bukan pisau sederhana sehingga selain membersihkan luka dan mengobati Nadine, Aiden langsung memeriksa pisau tersebut.     

"Nadine …" air mata Anya kembali mengalir. "Aku minta maaf. Aku minta maaf. Aku benar-benar tidak tahu. Aku minta maaf!"     

"Jangan khawatir, bibi. Saat mengobati lukaku, dokter sudah memberitahuku berbagai kemungkinan. Lukaku tidak terlalu dalam dan dokter sudah membersihkannya dengan sangat teliti. Setelah itu ia juga memberikan suntikan kepadaku. Aku akan baik-baik saja," sebenarnya Nadine juga merasa sangat takut. Tetapi melihat Anya menangis seperti ini, ia tidak tega. Ia langsung menghibur Anya dan berpura-pura kuat.     

"Keara sudah gila … Ia ingin membuat Anya terinfeksi HIV AIDS dengan pisau itu," Aiden terlihat berusaha untuk mengendalikan ekspresinya. Tetapi semua orang di sana bisa melihat bahwa ia sangat murka.     

"Ia sendiri juga akan menjadi ibu. Bagaimana bisa seorang ibu berbuat sekejam itu?" kata Nadine dengan marah.     

"Aku yang salah. Aku yang sengaja memberitahu jadwal pemeriksaanku untuk menarik Keara agar menyerangku. Aku yakin Aiden akan melindungiku. Aku pikir aku akan baik-baik saja. Aku terlalu ambisius dan gegabah ingin menangkapnya," kata Anya sambil menangis. "Semua ini salahku. Aku sudah menyakiti Nadine."     

Ia tidak bisa membayangkan kalau Nadine sampai terinfeksi HIV AIDS karena kebodohannya.     

Bagaimana ia bisa menjelaskan semuanya pada Maria dan Nico?     

Bagaimana ia bisa berhadapan dengan Harris?     

Bagaimana ia bisa bertemu dengan Bima?     

"Bibi, aku akan baik-baik saja. lukanya tidak dalam dan aku langsung diobati. Kalau lukanya dibersihkan tepat waktu, ada kemungkinan aku tidak akan terinfeksi. Jangan terlalu memikirkannya," Nadine menggenggam tangan Anya dengan lembut.     

"Kamu yang terluka, tetapi malah kamu yang menghiburku. Aku benar-benar egois. Seharusnya, aku tidak membahayakan diriku dan orang-orang di sekitarku hanya karena ingin menangkap Keara." Anya menoleh dan memeluk Aiden dengan sedikit kesulitan karena perutnya yang sudah membesar. "Aiden, maafkan aku. Aku tidak menyangka Keara akan sekejam ini. Aku bukan saudaranya. Bagaimana bisa aku punya saudara sekejam itu?" Karena terus menangis, Anya merasa napasnya tersengal-sengal dan lebih pendek.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.