Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Bertemu untuk Pertama Kalinya



Bertemu untuk Pertama Kalinya

"Bibi, aku baik-baik saja. Aku senang bibi juga baik-baik saja. Daripada mengkhawatirkan diriku, aku lebih khawatir bagaimana kalau saat itu aku tidak memeriksa tempat tidur itu dan kamu terluka. Dua tahun lalu, dengan bodohnya aku memisahkan kamu dan paman, membuatmu kehilangan anak kalian. Kali ini, aku menemukan pisau itu dan menyelamatkanmu. Anggap saja kita sudah impas. Jangan merasa bersalah. Aku tidak mau bertemu denganmu kalau suasananya tidak enak seperti ini," kata Nadine sambil mengelus punggung Anya.     

Aiden juga bangkit berdiri, berjongkok di samping kursi Anya dan menghapus air matanya. "Sudah, sudah. Semuanya baik-baik saja. Kita berenam masih bisa berkumpul bersama-sama."     

Anya mengangkat kepalanya dan menatap Nadine. Ia berkata dengan air mata yang masih membasahi wajahnya. "Nadine, aku dan pamanmu tidak menyalahkanmu atas apa yang terjadi dua tahun lalu."     

"Aku tahu. Tetapi aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Tetapi setelah ini, mungkin aku bisa melupakan kesalahanku itu. Bibi, kamu harus tetap sehat dan aku juga akan baik-baik saja." Nadine memegang tangan Anya dengan erat. "Besok aku akan kembali ke Iris dan menjadi manajer toko yang hebat."     

"Jangan sampai kamu membuat Iris bangkrut," kata Nico dengan sengaja.     

"Lihat saja! Aku kan tidak bodoh seperti kakak!" Nadine menoleh dan menjulurkan lidahnya ke arah Nico.     

Tetapi Nico malah tersenyum, merasa lega karena adiknya baik-baik saja. "Coba buktikan padaku!"     

Setelah makan malam, semua orang pulang ke rumah mereka masing-masing. Aiden memberitahu Anya bahwa kondisi Indah semakin memburuk dan ia terus menolak operasi. Ia menyarankan pada Anya untuk segera menemui Indah.     

"Baiklah. Bagaimana pun juga ia adalah ibuku. Keara benar, mungkin penyakitnya ini juga karena kesalahanku. Ia pikir aku sudah tidak ada sehingga ia menolak untuk operasi," kata Anya.     

"Kapan kamu mau menemuinya?" tanya Aiden.     

"Besok. Aku sudah cerita pada ibu dan ibu menyarankan agar aku segera menemuinya," ketika membicarakan mengenai Diana, senyum terlihat di bibir Anya. "Aku rasa, ibu adalah ibu terbaik di dunia!"     

"Ibu sangat mencintaimu. Bahkan mungkin ibu kandung tidak akan bisa memberikan hal yang sama dengan apa yang ibu berikan untukmu," Aiden juga sangat menghormati Diana. Menurutnya, Diana adalah sosok ibu yang sempurna.     

"Iya. Ibu adalah ibu terbaik di dunia. Tuhan memang sangat baik padaku. Ia memberiku ibu dan suami yang baik," gumam Anya sambil bersandar di pelukan Aiden. Matanya terasa semakin berat.     

Sudah beberapa hari ini ia tidak bisa tidur dengan nyenyak.     

Malam itu, ia bisa tidur dengan tenang di pelukan Aiden.     

…     

Keesokan harinya, Aiden dan Anya pergi ke rumah sakit tempat Indah dirawat.     

Di pagi hari, Hana membantu Anya untuk memotong beberapa bunga lily yang tumbuh di taman dan mengikatnya menjadi sebuah buket yang indah.     

Aiden tidak mau membiarkan Anya pergi sendirian tetapi ia juga tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Pada akhirnya, ia harus melakukan konferensi video di mobil.     

Setelah ia sadar dari koma, Ivan perlahan melepaskan tanggung jawabnya di perusahaan.     

Ivan tidak mau ikut campur dalam Atmajaya Group dan ingin segera lepas tangan. Sementara itu, Nico masih belum mampu untuk memimpin Atmajaya Group seorang diri.     

Itu sebabnya, Aiden masih harus memimpin Atmajaya Group.     

Rapat Aiden selesai tepat saat mobil mereka berhenti di depan rumah sakit.     

Anya duduk di mobil cukup lama sambil memandang ke arah luar jendela.     

Rumah sakit yang dipilih oleh Indah dan Galih memiliki suasana yang tenang, cocok sebagai tempat untuk pemulihan.     

Semua orang yang bisa masuk ke rumah sakit ini adalah orang-orang kaya.     

"Aku sudah menghubungi Paman Galih. Ia sudah tahu kamu anaknya. Setelah bertemu hari ini, kalau kamu tidak ingin bertemu dengan mereka lagi, mereka akan menghormati keputusanmu," Aiden menggenggam tangan Anya dengan erat. "Jangan takut. Aku akan menemanimu."     

"Aku tidak takut. Mereka bukan orang jahat," Anya menarik napas dalam-dalam. Ia hanya gugup untuk bertemu dengan orang tua yang tidak pernah ia kenal selama ini. "Ayo kita keluar."     

Abdi keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk mereka.     

Aiden membantu Anya untuk keluar dari mobil, khawatir Anya akan terpeleset atau terjatuh. Pengawal Galih sudah berjaga di depan pintu rumah sakit. melihat kedatangan Aiden, ia langsung memberitahu Galih.     

"Indah, anak kita sudah datang. Aku akan membantumu keluar," kata Galih dengan senang.     

"Apakah menurutmu aku bisa melakukannya? Bagaimana penampilanku?" suara Indah gemetaran karena ia terlalu gugup.     

"Kamu cantik," Galih memakaikan syal di leher Indah, agar tidak kedinginan.     

Untuk bertemu dengan Anya hari ini, Indah sengaja bangun pagi dan merias wajahnya. Ia mengobrak-abrik lemarinya, mencari baju yang sesuai untuk bertemu dengan putrinya.     

Ia duduk di atas kursi roda, keluar dari kamarnya dengan bantuan Galih.     

Ketika bertemu di taman, Galih menatap Anya dengan penuh semangat. Sebelumnya, karena wajahnya yang begitu mirip dengan Keara, Galih pikir Anya adalah anaknya dengan Diana. Tetapi ia tidak pernah menduga bahwa Anya adalah anaknya dan Indah.     

Indah melihat Anya sedang memegang sebuah buket bunga. Senyum di wajahnya langsung melebar melihat putrinya itu.     

"Bunganya sangat cantik. Apakah itu untukku?" tanya Indah.     

"Ini bunga dari taman rumahku. Aku harap kamu menyukainya," Anya memberikan bunga itu dengan kedua tangannya.     

"Ayo kita duduk di taman sebentar," kata Galih, berusaha mencairkan suasana.     

Aiden ingin menolaknya karena hari ini cukup panas. Ia takut Anya akan kepanasan kalau terlalu lama berada di luar.     

Indah bisa merasakan keraguan Aiden. "Ada paviliun di tengah taman. Di sana udaranya cukup segar," kata Indah sambil tersenyum.     

Aiden meminta payung dari pengawalnya dan langsung memayungi kepala Anya.     

Anya melihat Indah sedikit menyipitkan matanya karena cahaya matahari yang begitu silau. Ia langsung mengambil payung yang Aiden pegang dan berjalan di belakang kursi roda Indah, berusaha untuk menutupi mataharinya.     

Indah tidak menoleh ke belakang dan berpura-pura tidak tahu, tetapi dari bayangan di bawah kakinya, ia bisa melihat semuanya. Senyum di wajahnya tidak bisa menutupi kebahagiaannya.     

"Galih, apakah putrimu datang mengunjungi?" seorang pria tua bertubuh gemuk berjalan ke arahnya. Di tangannya ada sebuah kipas yang terus bergoyang.     

"Ini adalah anak keduaku dan suaminya," kata Galih.     

"Kamu sudah menemukan anakmu? Selamat! Wajahnya sangat mirip dengan Keara, ya. Memang mereka bersaudara," kata pria tua itu sambil tersenyum. "Sepertinya aku mengenal suaminya."     

"Paman Wisnu, aku Aiden," Aiden mengambil inisiatif untuk menyapa pria tersebut.     

"Aiden Atmajaya? Putra Bima Atmajaya?" pria itu terlihat terkejut.     

Aiden hanya mengangguk.     

"Kamu adalah suami putri kedua Galih, tetapi mengapa kamu menghamili kakaknya juga? Sekarang kakak beradik ini sedang hamil. Siapa yang kamu pilih?" tanya pria itu dengan serius.     

"Sejak awal hingga akhir, aku hanya mencintai istriku. Apakah aku harus mengakui semua wanita yang datang kepadaku dan bilang bahwa ia sedang mengandung anakku? Aku tidak pernah melakukan apa pun, mengapa aku harus bertanggung jawab," suara Aiden langsung terdengar dingin.     

Ia sudah berusaha sopan dengan menyapa pria ini terlebih dahulu. Tetapi pria ini malah memarahinya tanpa tahu cerita yang sebenarnya.     

Pria itu tidak banyak berbicara lagi. Ia sendiri juga mengenal nama Atmajaya dan tidak mau berurusan lagi dengannya.     

"Wisnu, aku ingin mengobrol dengan anak dan menantuku. Kami pergi dulu," Galih lanjut berjalan menuju ke sebuah paviliun.     

Benar seperti yang dikatakan oleh Indah, tempat itu nyaman dan pemandangan di sekitarnya terlihat indah. Selain itu, angin sepoi-sepoi yang berhembus membuat paviliun itu terasa lebih menyegarkan.     

Empat orang duduk di paviliun tersebut.     

Seorang perawat langsung membawakan buah-buahan, jus dan teh untuk mereka.     

"Anya, ibumu sangat bahagia kamu datang hari ini. Ia bangun pagi sekali dan mencoba banyak baju. Tetapi akhirnya ia mengenakan gaun ini. Apakah kamu tahu mengapa?" Galih membuka obrolan di antara mereka.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.